17

7 2 40
                                    

Senin, 16 September 2024.

Bahkan obat-obatan dan cairan infus juga tidak banyak membantu. Pada akhirnya Antonin menatap kami dengan mata yang telihat menonjol dari rongganya, tulang pipi yang mencuat seperti gunung di wajahnya, dan dada kurusnya yang bergerak naik turun ketika dia bernapas. Sungguh, hanya butuh waktu kurang dari satu minggu bagi Antonin untuk kehilangan sekitar sepuluh kilogram berat badannya, karena diare yang dialaminya tidak mau berhenti. Tak peduli seberapa banyak Carlisle meresepkan obat-obatan terbaik untuknya, atau sebanyak apa Annie membuatkan larutan oralit untuknya, Antonin tidak terlihat membaik sama sekali. Malahan, Antonin harus memakai popok dewasa untuk menampung air seni dan tinjanya, karena tidak punya cukup waktu untuk berlari ke toilet. Jangankan lari, tenaga untuk duduk saja dia tak punya.

Sonja membawa Sandor mendekat pada Antonin, memberi mereka kesempatan untuk menikmati pelukan ayah dan anak selagi sempat, sementara Carlisle memasangkan infus baru pada tangan kiri Antonin. Edmund duduk di kursi yang terletak berseberangan dengan Sonja, menuliskan seluruh wasiat Antonin. Kelihatannya Antonin sudah merasa sekarat dan kehilangan semangat hidupnya. Di belakang Edmund, Francoise bergelayut pada lengan Alexander—mereka datang berkunjung. Aku duduk di samping Sonja, tidak begitu fokus pada keadaan di sekitarku, karena kakiku sedang bengkak dan badanku terasa sangat letih.

Antonin mendekap Sandor di dadanya, membelai bayi itu dengan lembut. Dan aku bisa melihat sorot yang sangat baru di matanya. Itu sorot mata yang tak pernah dia tunjukkan kepada siapa pun, bahkan pada Sarah maupun Sonja. Sorot mata itu hanya terpancar untuk Sandor seorang. Bayi mungil yang merupakan darah dagingnya. Pewarisnya.

“Edmund,” Antonin memanggil si Pengacara dengan suara yang lirih.

“Apakah ada tambahan?” tanya Edmund, tangannya sibuk membereskan dokumen-dokumen tadi ke dalam tas kerjanya.

“Tolong, jemputlah Romo Lockart,” pinta Antonin.

“Kau ingin aku menjemput adikku?” Edmund meringis.

“Aku perlu melakukan pengakuan dosa sebelum aku mati,” desak Antonin.

“Kau tahu, aku tidak begitu akur dengan Ezra,” gerutu Edmund. Dia bangkit, berjalan ke sudut ruangan lalu menelepon adiknya. Setelah itu, dia kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. “Akan sampai dalam waktu sepuluh menit.”

“Kau memintanya datang sendiri?” Antonin membelalakkan mata. “Edmund, beliau adalah seorang pastor! Bagaimana bisa kau menyuruh-nyuruh beliau seenak jidatmu?! Setidaknya kita harus bersikap sopan! Kita seharusnya menyediakan transportasi yang pantas untuk beliau!”

“Dia punya transportasi yang bagus!” sembur Edmund. “Motor NMAX, dibeli dalam keadaan baru, dan dibayar tunai!”

“Benarkah?” Francoise menyela, “Kukira beliau menjalankan kaul kemiskinan.”

“Dia memang menjalankan kaul kemiskinan,” ujar Edmund, “tapi, mana tega aku melihat adikku ke mana-mana naik sepeda kayuh tua milik gereja. Aku yang membelikan motor itu untuknya, yang akhirnya bisa dipakai bergantian dengan para pastor dan biarawati lainnya. Dan sebagai ucapan terima kasih, dia tidak pernah menolak ketika aku memintanya pergi ke suatu tempat secara mendadak.”

“Tapi, dosa apa yang pingin banget lu akuin pas ngerasa sekarat gini?” tanya Alexander. Dia melipat tangan di depan dada, menanti jawaban Antonin.

“Dosa yang sangat berat,” jawab Antonin. “Aku bahkan mungkin tak akan sanggup melakukan penitensi yang akan dijatuhkan oleh Romo kepadaku. Aku mungkin tak akan punya cukup waktu untuk itu.”

“Ezra tidak pernah memberikan penitensi yang terlalu berat,” celetuk Edmund.

“Dia akan memberiku penitensi yang sangat berat,” bantah Antonin.

The Secret of InheritanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang