Bab 4 - kamar 102

80 6 0
                                    

4 – Kamar 102

Kesalahan ini telah menghancurkan masa depanku. Tapi, untuk menyesal saja tidak mungkin membalikan keadaan seperti semula.

Renjani yakin jika dirinya sekarang ini sedang terpengaruh oleh obat sialan yang tidak bisa Renjani redam hanya dengan air mineral dingin.

Ia bersandar pada kepala ranjang. Menatap buram seseorang yang sedang menjulang di sampingnya. Kepalanya terlalu berat untuk sekedar bergerak. Kulitnya seolah terbakar. Panas dan gerah berpadu menjadi satu. Kulitnya justru seperti mendambakan sentuhan seseorang. Ia kepanasan meski yakin bahwa suite ini memiliki mesin pendingin berkualitas terbaik.

Jika keadaannya seperti ini, bagaimana Renjani bisa pulang?

"Lo sialan banget udah jebak gue kayak gini." Renjani berkata bersama nafas menderu. Tubuhnya tidak bisa lagi dikondisikan secara aman. Naluri itu masih mengatakan bahwa Raga yang merencakan semuanya. Menjebaknya hingga sekarang ia tidak berdaya.

Raga hanya menggelengkan kepala. "Terserah," ucapnya kemudian mendekati sisi tempat tidur sambil melipat kedua tangan di dada. Rasanya percuma juga jika Raga menjelaskan apa yang dituduhkan Renjani padanya, gadis itu tidak akan mempercai. Apalagi dengan kondisi setengah sadar begini.

"Udah ya, gue sama lo gak ada urusan. Mending lo buru-buru cabut dari tempat gue ini!" kata Raga. Bodohnya, kenapa tadi dirinya harus menangkap tubuh Renjani ketika oleng? Lebih sialnya lagi, naluri tersentuh lalu mengangkat Renjani, membawanya ke atas tempat tidur.

"Enak aja gak ada urusan." Renjani mengerlingkan mata padanya. "Setelah lo jebak gue kayak gini, gampang banget lo ngomong kaya gitu."

Raga mendesahkan nafas. Lelah dituduh yang tidak-tidak oleh gadis yang— sial. Raga harus mengakui jika Renjani begitu cantik. Terpaksa mengakui hal itu sampai-sampai ia terpana. "Eh ngapain lo?" Lalu terbelalak dan panik ketika Renjani justru membuka atasan kaos over size melewati kepala. Menyisakan tangtop bertali tipis menggantung di bahu.

"Gue panas banget. Badan gue gak enak." Nafas Renjani menderu berat. Ia menyadari bahwa ini adalah sebuah kesalahan. Sungguh pun Renjani tidak kuat menahan gejolak tidak nyaman dalam diri.

"Gue bisa khilaf kalau lo setengah telanjang kayak gini," ucap Raga mengembuskan nafas kasar. Lagi-lagi ia menyisir rambut ke belakang. Menjilati bibir yang mendadak kering. Raga berdiri gelisah di atas kakinya. Maunya cewek ini apa, sih?

"Lo jahat banget udah jebak gue gini, Raga. Salah gue apa sama lo?" Renjani semakin tidak nyaman. Bicara pun semakin melantur. Keringat mencuat banyak dari leher. Wajahnya basah. Ia tidak tahan lagi dengan semua rasa aneh ini.

"Lo kayaknya mabok deh. Mending pulang gih!" Raga tidak tahu menahu soal surat atau pun coklat. Sejak kapan ia memberikan semua itu pada Renjani. Mereka dekat saja tidak. Keduanya hanya cukup saling tahu satu sama lain karena satu sekolah.

Mereka tidak berteman. Bukan, bukan karena Raga tidak ingin memiliki teman. Masalahnya ada pada diri cowok itu yang menutup diri dari orang-orang yang ingin menyambutnya sebagai teman. Sayangnya, mereka semua selalu mendapat penolakan dari Raga. Tidak termasuk pada ia yang kemudian dicap sebagai berandalan sekolah.

Yang Renjani tahu 'berandalan' menempel pada diri Raga karena cowok itu sering adu jotos dengan teman seangkatan. Terlambat sudah jelas tidak terhitung daftarannya di catatan guru BK. Bahkan pula Renjani pernah mendengar, jika ada teman satu sekolah mereka yang pernah memergoki Raga masuk ke dalam kamar hotel tengah malam dalam keadaan teler.

Renjani yang super cuek akan berita-berita di sekolah memilih tidak peduli. Sebab ia berpikir itu bukan urusannya. Fokusnya hanya pada sekolah, belajar dan lulus menjadi siswa terbaik. Serta berfokus pada cita-cita dan impiannya yang ingin menjadi pianis hebat.

Raga Renjani (Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang