Bagian 34 : Rumah

2.1K 72 7
                                    

Kucoba melupakan segala hal yang terjadi. Meskipun sejujurnya itu amat membingungkan sekaligus membuatku terusik cukup dalam. Terutama, tentang Radhia yang berubah aneh. Hari-hari berikutnya setelah kejadian waktu itu, ia malah sengaja memberi jarak dariku. Seolah-olah ia tak ingin kutanyai perihal tanda tanya yang bercokol di dalam benak ini. Ya sudahlah, lagipula aku telah sepakat bersama Reyhan untuk mengabaikan itu dengan tak membahasnya terlalu dalam lagi.

Ramadan datang. Bulan yang biasanya dilalui olehku dengan begitu-begitu saja. Karena tak ada bedanya bulan ini dengan bulan lainnya bagiku.

Momen khas yang hanya bisa dirasakan di bulan Ramadhan. Saat kita setengah mengantuk waktu dibangunkan sahur, juga saat terburu-buru makan sementara waktu imsak akan tiba, apalagi menantikan adzan magrib untuk berbuka.

Begitulah Rumaysha, diriku tak pernah menjalankan puasa semenjak remaja. Namun sekarang aku menjalaninya sepenuh hati meski terkadang masih suka mengeluh karena kehausan saat tengah hari. Ini semua berkat Allah yang mengirimkanku suami terbaik, Reyhan.

"Sudah siap, Sayang?" Reyhan melongok dari pintu kamar, memeriksa apakah aku sudah selesai berdandan atau belum setelah lima belas menit bersiap.

"Belum, Mas, sebentar lagi." Aku menjawabnya agak kesal.

"Oh. Ya sudah Mas tunggu." Reyhan tersenyum lagi.

Suamiku itu ... ia amat sabar sampai membuatku kesal karena sudah lima kali bertanya apakah aku telah selesai berdandan atau belum.

"Ngeselin banget sih kenapa pakai cadar sesulit ini." Aku menggeram kesal sambil menatap diriku pada cermin besar di hadapan.

"Ngapain juga gue iya in permintaan Mas Rey buat pakai cadar ini sih? Padahal kan gue cuman mau ke rumah ayah kali. Ngapain juga pakai ginian segala?"

Berhubung sudah lima hari aku berpuasa di pesantren. Melalui banyak hal sebagaimana yang santriwati lakukan di sini. Sahur bersama santriwati, tadarus Quran, tarawih berjamaah di masjid yang diimami oleh suamiku sendiri. Reyhan amat pengertian mengajakku menginap di rumah ayah untuk puasa di hari ke enam untuk melepas rindu.

"Huh! Akhirnya selesai juga lo, Ay!" sentakku dengan hela napas panjang kemudian.

Penampilanku sekarang teramat beda dengan sebelum aku menikah. Setelah ini entah bagaimana tanggapan dua orang itu. Orang yang selalu mendorongku agar bisa berubah tapi tidak terlalu kudengarkan nasehatnya.

"Dek Sayang ... belum selesai jug—"

"Udah kok." Aku berjalan mendekati suamiku lalu berdiri tepat dihadapannya. Tapi kenapa ia malah diam saja, sih.

"Mas?"

"MasyaAllah, ini istriku?"

Aku terkekeh. "Apa sih."

"Cantiknya, aku jadi cemburu dengan mata lelaki di luar sana yang menatapmu tak sengaja nanti."

"Mas Rey. Ini udah gak kelihatan wajahnya, masih aja cemburu." Aku menggeleng.

"Hehe." Reyhan lalu menggandeng tanganku. "Karena aku mencintaimu, jadinya selalu was-was takut kamu diambil orang."

"Memang kamu mau diam aja kalau ada yang mengambil aku?"

Reyhan terdiam.

Aku menatap matanya yang serius itu.

"Mana mungkin. Takkan aku biarkan." Ia menjawabnya lantang.

Aku tertawa. "Dasar ih."

***

Jalanan cukup padat pada pukul empat belas tepat. Aku melihat beberapa pedagang yang mulai membersihkan lapak tempat mereka berjualan takjil. Sesuatu yang ikonik pada bulan suci ini. Aku pun tersenyum sambil menghela napas berat. Seandainya aku punya kenangan saat bulan ramadhan. Sayangnya, keluargaku yang super sibuk membuatnya mustahil kumiliki.

Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang