ternyata dia..

59 14 2
                                    

dhafin nugraha childa octesa

Yang di lakukan shani ketika meninggalkan gedung c ialah membaca struktur kepanitian di buku paduan ospek miliknya. buku itu masih rapi belum ia buka sama sekali, tuduhan dhafin itu sangat benar. walaupun ada benarnya juga ia tidak membuka buku paduan ospek. ini tidak adil banginya, pasti banyak juga orang yang tidak memedulikan buku setebal seratus halaman ini, tapi kenapa dia yang kedapatan sedangkan yang lainya tidak, tak adil.

"octesa.." gumam shani, seperti tidak asing. "nugraha.." nampak tidak asing di ingatan shani, shani membalikkan halaman buku paduan. hanya sampai pada susunan dosen pengajar, ketua dekan, prof.nugraha octesa? ohh.. mungkin mereka ada hubungannya, dan julukan roi pasti berhubungan dengan ini. pikir shani.

"shan! udah selesai ngumpul tugasnya? yok ke aula udah mulai." suara adel membuat perhatiannya teralihkan. shani mengangguk dan mensejajarkan langkah bersama adel.

***

"jadi mau saya coret aja nama teman teman kalian ini?"

dhafin melangkah pelan, tangannya masih setia berada di saku almamater. skenario ini akan selalu ada dalam kegiatan ospek. mengintimidasi para maba yang mendapat point yang rendah.

"kami tidak mau cape ngurus maba yang ga peduli sama kegiatan ini. buang buang waktu!" suara gracia mengambil alih

tentu para maba hanya bisa menunduk, melawan pun tidak ada artinya hanya sedikit dari para maba yang berani berbicara.

"baik saya terima usul kalian, tapi bukan berarti kami memanfaatkan kalian! hari esok saya tidak mau lagi dapat laporan dari para panitia! paham?"

maba menjawab dengan suara rendah, akhirnya ketegangan pun mencair, para mahasiswa baru dibubarkan.

dhafin dan para anggota komdis menuju gedung c dan di sambut oleh Rio yang tersenyum bangga. "bagus!! gue khawatir banget tadi maba bakal nyepelein komdis, terutama lo dhaf, ternyata dugaan gue salah. good job!!"

"thanks yo"

"gre, mau pulang bareng?" ucap dhafin mencoba peruntungannya.

"boleh." jawab gracia singkat , dhafin senang. ia mengejar gracia berjalan beberapa langkah darinya. " Lo ga marah lagi kan sama gue?" selanjutnya hanya deheman yang terdengar. tidak apa, gracia mau pulang bareng dengannya saja itu sudah pertanda baik.

***

setelah di bubarkan shani belum pulang. dia harus berdiskusi dengan adel dan christy mengenai tugas yang di kasih panitia, "gimana nih? kenapa dah harus ka dhafin, muka galak gitu." ucap adel mengeluh, christy mengangguk menyetujui. shani mengabaikan kecuhan adel, gantian shani yang bertanya. "siapa yang mau hubungi ka dhafin?" adel dan christy kompak menoleh, "kayanya lo aja deh shan."

"gue ga mau, enak aja. kalian yang ngehubungin, besoknya gue yang wawancara, tugas kalian nyimak, gimana?" bagi shani lebih mudah menanggapi dhafin di dunia nyata dari pada menghubunginya via media

adel meraih tangan shani dan bersemangat menjabatnya. baginya itu kesepakatan yang adil. menghubungi dhafin itu gampang yang susah itu kalau berbicara di depan dhafin

semuanya beranjak pulang setelah sudah mencapai kesepakatan.

***

keesokan harinya kegiatan ospek berjalan lancar, sesuai jadwal kegiatan ada kegiatan mentoring. mentoring tidak berlangsung lama, Kaka tingkat yang diketahui shani namanya boby sedang bersiap untuk keluar tidak terlihat terburu buru. shani mendekat, ia enggan melibatkan orang lain untuk mencari sesuatu megenai dhafin, tapi mau bagaimana lagi. ia sibuk dengan kegiatan ospek ini.

"permisi ka."

'oh ya, ada apa? shani ya?"

"iya ka, saya boleh nanya ka?"

"kalau kaka bisa jawab,  silahkan."

"saya penasaran, ini soal salah satu dosen besar, nugraha octesa itu sama dengan nama belakang ka dhafin, apakah ada hubungan keluarga?" tanya shani

"ya ampun kamu cukup kepo ya orangnya." ucap boby sedikit tergelak dengan adik singkatnya itu. "jadi apa jawabannya ka?" shani menghiraukan candaan dari boby.

"sebenarnya gue ga ada gak jawab ini, tapi sepertinya lo bisa jaga rahasia. iya lo benar pak nugraha adalah ayah dari dhafin." jawab boby. terjawab sudah rasa penasaran shani dan itu juga menjawab julukan Roi yang tersemat pada dhafin.

"gue harap lo ga bocor ya." shani mengangguk seadanya

***

sore setelah kegiatan ospek shani, christy, adel sudah menunggu di cafe magnifique sebuah cafe yang bernuansa french. menunggu si narasumber hadir di tengah mereka.

dhafin melangkahkan kaki jenjangnya menuju meja yang sudah di beri tau oleh adel. semua berdiri ketika melihat dhafin tak jauh dari mereka.

"ka dhafin, saya adel yang menghubungi kakak kemarin."

"iya saya sudah menerima pesan kamu. bisa kita mulai sekarang? waktu saya tidak banyak."

meraka mengangguk dan shani mulai memperkenalkan diri. wawancara pun di mulai pertanyaan demi pertanyaan di lontarkan shani sesuai dengan apa yang mereka diskusikan sebelumnya. topik mereka tidak jauh jauh dengan fakultas, organisasi, struktur organisasi, kegiatan apa saja yang di laksanakan BEM. sesi wawancara berjalan lancar.

dhafin mengetuk pelan ujung kaca gelas minumannya, sembari ia memperhatikan tiga maba itu mencatat. dhafin sadar ia terlalu kaku sehingga anak anak di depannya bersifat segan. ia juga ketua komisi disiplin.

"kalian kenapa masuk ekonomi?" ucap dhafin. topik yang sembarang ia comot, terlintas saja dalam benaknya.

"mulai dari kamu christ." ucap dhafin

"kalau saya ka, tertarik buat jadi... influencer ka." ucap christy sedikit ragu.

"oh bagus juga."

"kalau kamu del?"

"kalau saya ga tau juga mah apa ka, nurut orang tua."

"hahaha, ada ada aja." dhafin sedikit tergelak. tawa itu membuat shani terpana sesaat. jika dhafin tertawa ataupun tersenyum sepertinya sangat menawan. tapi dhafin harus memasang muka galak dihadapan mahasiswa baru karna ia sebagai ketua komisi disiplin.

"dan terakhir kamu shani."

"saya mau menjadi dosen, kalau bisa menjadi guru besar. saya mau mencetak prestasi sebanyak mungkin di bidang ekonomi, saya ingin berjasa dalam bidang ekonomi."

dhafin menatap shani intens, bagus sekali semangat shani batin dhafin. dhafin ingin sedikit mengujinya.

"dosen? kenapa harus dosen? kamu suka mengajar?"

"bukan, tepatnya saya suka belajar. dengan menjadi dosen saya akan terus berkembang."

"oh gitu, kalah jadi guru besar, memangnya mau di mana?"

"UI, UNAIR, atau dimanapun."

"ga mau jadi guru besar di sini?"

"mengabdi untuk kampus ga harus di kampus ini juga kan? kecintaan pada almamater tidak bisa diukur dengan itu. kalau kelulusan ekonomi mengabdi disini juga, ga akan berkembang."

"kamu benar, saya hanya menguji kemampuan kamu, dan menurut saya, alasan kamu belum cukup kuat untuk menjadi guru besar. perlu pengabdian total terhadap institusi. tapi institusi kamu belum jelas." balas dhafin juga menasehati.

"ada alasan lain kok kak."

"apa?"

"biar anak cucu saya saat kuliah nanti, akan otomatis menjadi orang terpandang di universitas tempat saya mengabdi nantinya"

ucapan shani menyetak jantung dhafin. waktu berjalan lambat. dhafin kalah, tanpa ada permainan.

"ok, saya permisi." dhafin meninggalkan cafe itu tanpa banyak kata.
















ada apa dengan dhafin? bantu vote, komen, sama share juga ya, mohon bantuannya.

time distance rapsodi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang