6. Berkumpul

450 35 0
                                    

"Selamat sayang, kamu lulus dengan nilai yang memuaskan" Hana menghampiri Irin yang sudah turun dari podium, ia dinyatakan mendapat juara paralel dan masuk di universitas negeri tanpa tes hanya melalui nilai raport.

"Terima kasih mama, ini juga berkat mama kok" Irin memeluk tubuh mamanya yang hampir setara dengannya, hanya dirinya lebih tinggi sedikit dari sang mama.

Dengan balutan kebaya berwarna hijau tua sangat pas di tubuh Irin, Irin terlihat seperti gadis dewasa dengan riasan make up yang tak terlalu tebal. Sangat cantik sampai Hana pun pangling melihat putrinya yang telah tumbuh dewasa.

"Kakak cantik banget sih, btw selamat ya kak atas kelulusannya. Kakak keren bisa dapet juara 1" Ucap Arul tak lupa memeluk tubuh kakaknya yang sangat pendek baginya.

"Hmm terima kasih, selamat juga untuk kelulusan kalian" Irin merentangkan tangan untuk memeluk Aril, namun Aril menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Ya, anak itu selalu terlihat sok keren jika diluar.

"Jadi kita makan di resto sebelah gak nih?" sahut papa Irin.

Irin segera mengangguk semangat, ia bersyukur di hari kelulusannya ini keluarganya lengkap dan datang semua. Ia juga ingin mbah kakung dan mbah utinya juga datang namun beliau sudah sangat tua.

Irin selalu menempel dengan Hana saat di mobil. Sang papa yang tengah menyetir sendirian, sedangkan adik kembarnya duduk di jok belakang. Entah kenapa rasanya tak mau ia berpisah dengan keluarganya ke luar kota, namun itu adalah impiannya.

"Masak papa nyetir sendirian di depan Rin, kaya sopir aja" protes Ayub tak terima.

"Irin gak bilang tuh, Irin cuma mau peluk mama"

"Ya kalau gak mau pisah sama mama ngapain kuliah ke luar kota"

Irin mengerucutkan bibirnya kesal. Padahal dirinya saat ini ingin saja bermanja dengan mamanya.

"Udah ayo berangkat mas, ntar keburu ramai restonya" Hana pun menengahi, sebelum Ayub menghidupkan mesin mobilnya dengan wajah yang tertekuk.

"Ma, nanti mama sering calling-calling Irin ya" Irin mendusel manja.

Hana mengusap punggung tangan Irin di lengannya, "Iya sayang, nanti mama sering-sering telpon kok"

"Tenang aja kak, aku juga bakalan sering telpon kakak" Celetuk Arul membuat Irin menolehkan kepalanya ke jok belakang.

Ahh rasanya sesak jika Irin mengingat akan berpisah dengan keluarganya. Ia kembali mendusel manja di pundak sang mama.

Mama, Irin bahagia tinggal sama mama tiri Irin. Irin harap mama bahagia ya di surga sana. Mama Hana bukan hanya mau sama papa tapi sama Irin juga. Mama gak pernah beda-bedain mana anak kandungnya mana anak tiri, di mata mama Hana semua adalah anaknya. Aku sangat mencintai mama Hana ma, maaf jika cinta Irin untuk mama Hana lebih besar daripada mama. Tapi aku tidak akan pernah lupa kalau mama yang telah melahirkan Irin tapi mama Hana lah yang membesarkan Irin serta mendidik Irin. Batin Irin tak terasa air matanya menetes dengan deras dipundak Hana.

"Kenapa sayang?" tanya Hana khawatir.

Irin menggelengkan kepalanya, matanya terus mengalirkan air mata tak berhenti.

"Irin sayang sama mama. Irin minta maaf ma, kalau selama ini Irin sulit dibilangin, hiks..." tangisnya semakin kejer.

Aril menonyor kepala kakaknya dari belakang.

"Mama, Aril" adunya karena merusak momennya yang ingin mengungkapkan rasa terima kasihnya.

"Kakak cuma pergi menimba ilmu bukan mau mati" benar kan apa kata Irin, Aril itu pendiam tapi sekali celetuk ingin Irin sumpal.

"Iya kak Irin lebay, padahal mah masih kurang 3 bulanan yang mau pergi udah kek besok aja" Arul pun tak mau kalah.

***

Suasana halaman Irin yang biasanya sunyi sepi berubah menjadi ramai. Sanak keluarga semuanya berkumpul di halaman rumah Irin. Mereka sedang mengaji bersama dan dilanjut barbeque -an katanya. Setelah selesai mengaji, mereka menyiapkan beberapa alat dan bahan untuk barbeque.

"Aaaa imutnya" Seru Irin saat melihat anak dari Tante Fira memakai baju gaun di tambah aksesoris di kepalanya.

"Ihh tante, Cici disini aja ya. Pengen aku kekepin dia udah gitu pipinya bulet" Irin masih saja menguyel-uyel pipi bayi itu.

"Mama mu suruh bikin lagi tuh" senggol Dewi sembari cekikikan.

"Irin gak mau ya tante" sewotnya membuat suasana semakin ramai karena Irin.

Setelah alat dan bahan selesai terkumpul, mereka semua mengitari kompor dan panggangan. Semuanya berbahagia di teras halaman rumah Irin.

"Semoga, Irin bisa jadi orang sukses tetap berbakti kepada orang tua, bermanfaat bagi semua orang dan yang paling penting tetap menjadi orang yang rendah hati" ujar Hana sembari mencium pipi sang anak yang duduk bersila disebelahnya.

Irin meremang, matanya sudah berkaca-kaca. "Mama jangan gini, Irin kayanya gak bisa kalau jauh-jauh sama mama," ungkapnya dan memeluk tubuh Hana dengan erat.

Hana terkekeh dan mengelus rambut sang putri, "tidak apa-apa sayang, Irin kejar ilmunya kemanapun Irin mau. Insyaallah mama dan papa tetap mengijinkan Irin"

"Mama.." rengeknya membuat semua orang tertawa.

Semua orang bersyukur, Irin diasuh dan dididik oleh orang yang tepat.

Setelah acara selesai, beberapa diantaranya sudah pulang, hanya ada Tante Fira yang menginap karena memang rumahnya yang ada di luar kota.

Cici-yang merupakan anak dari Fira sudah tertidur lelap di gendongan Irin. Karena Irin begitu gemas dengan bayi yang satu itu.

"Tante..." panggil Irin.

"Iya sayang"

"Aku mau ikut tante, udah lama gak jenguk nenek"

"Emang boleh sama papa?" tanya Fira.

"Boleh, gak apa-apa. Besok pagi ikut tante Fira aja, minggu depan biar papa jemput" celetuk Ayub yang membuat Irin bahagia.

"Terima kasih papa"

Irin mengembalikan Cici yang sudah tertidur nyenyak. Ia memilih masuk ke dalam kamarnya sendiri. Menatap ponselnya yang tidak ada notif sama sekali. Padahal ia berharap Dewa menghubunginya, meskipun hanya basa basi bertanya kabar.

"Kak Dewa..." gumam Irin kesal sendiri. "Sekarang dia ada di mana sih?" tanyanya pada diri sendiri.

Ia sudah bertanya dan mencari tahu keberadaan Dewa lewat teman dekat dan sosial media, namun hasilnya nihil. Media sosialnya benar-benar tidak ada isinya, kosong melompong.

"Padahal aku abis ini gak disini lagi loh, trus gimana caranya biar bisa ngehubungi kak Dewa ya" pikir Irin sembari memikirkan strategi agar Dewa memberi clue barang sedikitpun.

Lagi, ia memberanikan diri menghubungi Dewa.

Kak Dewa

Tulisnya pada chat yang tersambung dengan nomor ponsel Dewa, tetapi hanya centang satulah yang tertera disana.

Kakak

Tulisnya lagi, namun tetap pada centang satu yang membuat irin mengerucutkan bibirnya.

"Kak Dewa ihhh..." Irin meremas ponselnya karena gemas sendiri.

IrenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang