"After years of silent longing, my heart found its voice, and the words I held captive within spilled forth like long-awaited rain, drenching the barren soil of my soul with the sweet nectar of love's confession."
*
"Ti! Itu Romi kenapa jadi berubah banget?"
Suara Gayatri membuat Adhisty mengerutkan dahi. Perempuan itu menengok ke arah sepupunya dengan pandangan bingung.
Malam ini, mereka lagi-lagi menghadiri pesta lain. Pesta dari keluarga Wiguna—yang notabene adalah keluarga Romi. Di usianya kini, Adhisty perlahan mulai mengerti makna dari pesta-pesta yang diadakan. Seperti hari ini, misalnya. Adhisty kini tahu bahwa Setyo Wiguna—kakek dari Romi—akan kembali jadi menteri kesehatan di kabinet baru yang diisukan akan dilantik Agustus nanti. Walaupun terlihat seperti perayaan, sebenarnya, pesta ini lebih bertujuan untuk melobi dan menjaga relasi dengan para pebisnis yang ada di Indonesia.
"Hah? Romi?" Adhisty mengerutkan dahi.
Sudah lebih dari setahun Romi menghilang dan absen dari pesta-pesta yang diadakan. Rumornya, ia cukup sibuk dengan perkuliahannya sebagai mahasiswa kedokteran.
"Tuh! Lihat, tuh!" Gayatri menunjuk ke arah seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jas warna hitam.
Kacamatanya menghilang, menampilkan mata yang bulat dan manis. Tetapi, tatapannya begitu serius dan berwibawa. Tubuhnya lebih berisi, tidak lagi kurus seperti tiang listrik. Rambutnya ditata sedemikian rupa. Hilang sudah kesan culun dan kutu buku yang melekat pada dirinya.
"Kok, bisa berubah begitu, sih?" Gayatri masih tak percaya. "Dia jadi... ganteng."
Adhisty hanya menggeleng kecil. "Ya, nggak tahu," jawabnya sambil memalingkan wajah. Ia bisa merasakan pipinya menghangat ketika Romi menengok ke arahnya.
"Ih! Aneh beneran! Tapi, jadi ganteng banget! Ya ampun! Romi udah punya pacar belum, ya? Tunggu, dia kan seumur Mas Darma, ya? Kita harus manggil dia Mas Romi, nggak sih?"
Adhisty terkekeh. "Terserah lo, Gayatri!" Ia mengibaskan tangan. "Udah, ah! Gue mau ke tempat lain dulu."
Kaki Adhisty beranjak pergi, meninggalkan Gayatri yang masih manyun. Ia berjalan ke arah sebuah lorong. Napasnya tertahan ketika melihat tangga yang terbentang. Dengan satu tarikan napas, ia memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya di anak-anak tangga itu hingga menuju ke atas.
Matanya celingak-celinguk. Ia tampak sedikit ragu, namun...
"Kamu baru sampai juga ke sini."
Suara berat itu membuatnya terlonjak dan lega bersamaan.
"Romi?" Adhisty berbalik. Matanya menatap lelaki yang sedari tadi diagungkan Gayatri. Apa berubahnya? Di hadapan Adhisty, Romi tetap jadi Romi yang ia kenal.
Mereka memang sudah tidak sering bertemu. Saat ini, Adhisty sudah jadi mahasiswa fashion design di London sementara Romi sibuk dengan segala aktivitas koass dan magangnya. Kadang, kalau liburan, terutama libur musim panas dari Juli sampai Agustus, dan jika memungkinkan, Adhisty memang menyempatkan diri bertemu Romi sebentar. Pergi ke kafe es krim di dekat sekolah Adhisty dulu atau ke taman sambil membaca berdua seperti kebiasaan mereka.
Selain itu, biasanya, mereka hanya bertukar pesan melalui surel. Membahas buku yang baru diluncurkan atau apa saja. Hal-hal tidak jelas sekalipun dibahasnya. Termasuk, tentang Romi yang memutuskan untuk melakukan operasi lasik pada matanya agar lebih mudah dalam melakukan tindakan. Atau, tentang pakaian apa yang dipakai pada hari ini—untuk pesta ini.
"Kenapa kamu ngelamun gitu? Ayo!" Romi menarik Adhisty yang masih diam bergeming di depannya.
Hari ini, mereka sudah membuat janji. Romi yang gantian akan menunjukan koleksi buku-bukunya setelah lima tahun sebelumnya, Adhisty melakukan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Oh So Perfect
RomanceADHYAKSA SERIES 1.5 Buat Romi, Adhisty adalah sesuatu yang berada di luar jangkauannya. Tetapi, kenapa bayangan perempuan itu terus ada dalam pikirannya? [A less than 10k words novella]