Keesokan harinya, Erin melancarkan rencananya dan menemui adik kelasnya yang pernah menembak diri nya saat itu.
Mereka ketemuan di kantin sekolah pada saat jam istirahat berlangsung. Adik kelasnya tersenyum kecil ketika ia melihat Erin yang menatapnya menyelidik.
"Nama lo Haris Javarendra?" Yang lebih muda mengangguk kecil dan terus tersenyum sambil menatap yang lebih tua.
"Oke, gue langsung to the point aja. Lo mau nggak jadi pacar pura-pura gue?"
Haris menegang dan ia terkejut mendengar itu. Melihat reaksi yang diberikan lawan bicaranya, Erin kembali berbicara lagi. "Gue ada alasan ngelakuin ini."
Keduanya terdiam sejenak. Haris sepertinya sedang memproses apa yang sedang dibicarakan oleh Erin. "Apa alasannya, kak?"
Kemudian Erin menjelaskan alasan dan tujuannya melakukan ini pada Haris. Pemuda di depannya menyimak dengan seksama dan memproses itu dengan otaknya.
"Jadi gimana? Lo mau nerima tawaran gue nggak?" Erin menatap penuh harap pada yang lebih muda di depannya itu.
"Aku mau nerima. Tapi aku ada syaratnya." Haris menatap Erin dengan serius. Yang lebih tua mengangguk dan menyimak apa yang akan disampaikan.
"Kalau misalnya sahabat kakak nggak menunjukkan rasa ke kakak selama 3 bulan, kakak harus jadian beneran sama aku."
"Oke. Gue juga punya syarat buat lo. Pertama, selama kerja sama ini dijalankan, lo atau gue nggak boleh saling suka. Kedua, pembicaraan kita nggak boleh membahas hal-hal yang berbau dewasa. Ketiga, kalau lo mau nyentuh gue, lo harus dapat izin dari gue dulu. Kalau lo melanggar ketiga syarat tadi, lo nggak dapat feedback dari gue sama sekali. Gimana? Deal?"
Erin menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan dan jabatan nya dibalas oleh Haris. "Dengan ini kerja sama kita dimulai dan lo harus bisa mainkan peran lo."
"Baik kak." Haris mengangguk dan kemudian Erin pergi meninggalkan pemuda itu di kantin.
Setelah siluet tubuh Erin menghilang dari jarak pandangnya, Haris mengubah wajahnya yang awalnya tersenyum menjadi datar. Lalu ia menyeringai dan menggelengkan kepalanya.
❀
"Habis dari mana lo?" Meilany menatap Erin yang datang ke mejanya dengan senyuman lebarnya.
"Gue habis ngajak Haris kerja sama tentang rencana gue." Mendengar itu, mata Meilany membulat kaget dan dia terdiam dengan tubuh yang menegang. "Lo serius?"
"Buat apa gue bercanda?" Erin mengangkat sebelah alisnya dan menatap bingung temannya itu yang selalu tidak yakin dengan rencananya.
"Lo nggak mikirin gimana kedepannya kalau lo lakuin ini? Sesuatu yang nggak menyenangkan bisa aja terjadi. Yang pasti, lo tau betul gimana sifat dan karakter Baim kalau nanti dia tau lo lakuin ini."
Meilany menjelaskan dengan mata yang terus menatap teman sebangkunya itu. Erin terdiam sejenak, kemudian ia tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Meilany.
"Baim nggak gitu. Dia udah janji sama gue buat nggak marah lagi ke gue."
Meilany menatap tidak percaya pada temannya itu. Cukup, ia menghela nafasnya karena merasa lelah untuk menanggapi Erin yang tidak mendengarkan ataupun memikirkan tentang pendapatnya. Jika keputusan itu yang temannya ambil, maka ia hanya berharap keputusan itu berhasil dan berjalan lancar.
"Tenang aja, Mei. Gue percaya sama yang namanya proses tanpa masalah."
"Tapi gue nggak." Meilany menatap sekilas pada Erin, lalu menghela nafasnya dan kembali fokus saat guru masuk ke kelas mereka.
Di sisi lain.
Baim tengah tertidur saat jam pelajaran Matematika Wajib karena sang guru yang mengajar juga sedang tertidur. Murid-murid di kelas itu pun menjadi liar dan bebas melakukan apa saja di dalam kelas, bahkan ada anak yang pergi ke kantin karena jaraknya yang dekat.
Sedangkan Xavier, Evresh dan Hanan memutuskan untuk mengobrol tentang hal-hal random, seperti membahas masa depan ketika mereka menikah dan mempunyai anak.
"Misalnya ni, misal. Pas kita semua udah nikah dan punya anak, terus kita dipertemukan dengan cara yang agak lain, menurut kalian gimana?" Hanan melihat temannya satu persatu.
"Cara yang agak lain? Kayak gimana tu?" Xavier menanggapi pertanyaan dari Hanan dengan bingung dan menurutnya pertanyaan yang diberikan oleh pemuda itu sedikit ambigu.
"Kayak, anak gue hamilin anak lo misalnya. Apa tanggapan lo?"
"Tanggapan gue? Ya gue gampar anak lo sama lo sekalian karna udah ajarin yang nggak benar ke anak lo." Xavier menjawab dengan seringaian menyeramkan di wajahnya.
Hanan dan Evresh bahkan sampai merinding saat melihatnya. Tak lama dari itu, Baim tiba-tiba mengigau dalam tidurnya dan membuat ketiga temannya itu mengalihkan fokus mereka dan menatap penasaran padanya.
"Eri... jangan..." Suara Baim terdengar lirih dan takut dengan dahi nya yang mengerut. Terlihat air matanya turun dan mulai membasahi jaket yang dijadikan nya sebagai bantal.
"Gue rasa dia lagi mimpi buruk." Evresh memerhatikan dengan seksama ekspresi dan cara bicara Baim.
Hanan yang menjadi teman sebangku Baim mulai menggoyangkan bahu pemuda itu dan berkata, "Im, bangun." Namun, usahanya itu tidak berhasil untuk membangunkan Baim.
"Coba agak keras, Nan. Kayak gini." Tangan Xavier bergerak dan menarik keras rambut Baim. Apa yang dilakukan oleh Xavier membuat Baim terbangun karena sang empu merasakan perih di rambutnya.
Saat pemuda itu sudah duduk dengan tegak, ketiga temannya menahan tawa karena melihat wajah Baim. Ingus yang mengalir turun, bekas air mata di pipi dan isakan yang tersisa benar-benar tergambarkan di wajahnya.
"Siapa yang narik rambut gue..?" Baim menatap sinis teman-temannya satu persatu. Lalu ia tersadar saat melihat jaketnya yang basah. "Ini... gue nangis?"
"Menurut lo aja sih. Nggak liat tuh jaket lo basah?" Hanan menyahuti dari sebelah kirinya yang dibalas dengan tatapan tajam oleh Baim.
"Lo mimpi apa, Im? Sampai nyebut nama Erin segala." Evresh melihat Baim dengan raut wajah yang penasaran.
Pemuda yang ditanya pun terdiam sejenak. Ia mengerutkan keningnya dan melihat Evresh lalu berkata, "Gue juga nggak terlalu ingat. Gue tadi mimpi kalau gue ada di tempat yang warnanya putih polos tanpa coretan warna lain. Terus datang Erin dan dia bilang sesuatu, entahlah dia bilang apa. Nah, habis itu, dia memudar secara perlahan dan gue berusaha raih tangan dia biar nggak pergi tapi gue nggak bisa sama sekali. Mungkin itu yang buat gue nangis." Baim mengangkat kedua bahunya sambil menggelengkan kepalanya tanda bahwa ia tidak terlalu yakin dengan ingatan nya tentang mimpinya sendiri.
"Hm.. kalau kata orang-orang, mimpi itu bisa jadi pesan untuk berhati-hati atau mencegah hal yang terjadi di dalam mimpi. Mungkin aja mimpi lo itu ada pesannya, tapi lo nggak ingat."
"Mungkin?" Baim mengangkat kedua bahunya dan memiringkan kepalanya tanda bahwa ia tidak terlalu yakin dengan pernyataan yang diberikan oleh Evresh.
"Yaudah lah. Paling itu cuma mimpi random doang," timpal Xavier.
Bel pergantian mata pelajaran berbunyi. Guru yang mengajar matematika wajib keluar dari kelas dan digantikan oleh seorang guru yang mengajar mata pelajaran kimia.
Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Friend
Подростковая литератураKalian percaya hubungan persahabatan antara perempuan dan laki-laki tidak melibatkan perasaan? Kemungkinan besar, akan ada yang percaya dan tidak ada yang percaya. Begitulah yang terjadi dengan Baim dan Erin. Mereka telah bersahabat sejak TK dan su...