13 - Bicara Gila

857 126 78
                                    

Sahih Ekawirya. Cowok itu sampai di rumah pukul setengah sepuluh malam setelah Kemal meneleponnya di pukul delapan malam. Si bapak bertanya Sahih di mana dan menyuruhnya untuk pulang. Ia menjawab sedang ada keperluan, tidak spesifik menerangkan tempat. Kemudian, dengan cepat menutup panggilan.

Perasaan Sahih ketika sampai di rumah sangatlah kelam. Berpapasan dengan Bapak, hati terasa bagai diperas. Kekecewaan dan kemarahan sebesar ini hampir tidak pernah Sahih rasakan seumur 16 tahun hidupnya—akan genap 17 tahun dua bulan depan. Mirip seperti saat mengetahui ibu kandungnya berselingkuh lama dengan teman kerja.

Sahih keluar kamar setelah berganti pakaian. Dihampirinya dua orang tua di kamar mereka. Tampak Kemal tengah duduk di lantai kamar, merapikan beberapa surat di koper khusus penyimpanan kertas-kertas penting. Sedangkan Darsih, sedang tidur-tiduran saja sambil bermain ponsel.

"Pak, Ma."

Kemal menyahut dan menatap ke arah putranya, sementara Darsih tidak menjawab apa-apa, tetapi ia menunggu si anak tiri bicara.

"Bapak sama Mama nggak tahu kalau Zafran seharian nggak di rumah?" tanya Sahih, ingin langsung membahas.

Darsih memindahkan tatapan dari ponsel. "Hah? Bukannya di kamar? Eh, di taman, bukan? Belum pulang jualan?"

Ibu tirinya menjawab, tetapi tatapan Sahih terus pada ayahnya.

"Emang di mana Zafran, Dek?" tanya Kemal menambahkan.

Entah, tapi mendengar nama Zafran keluar dari mulut ayahnya, Sahih jijik seketika. Ibunya juga. Seharian di rumah, bisa-bisanya tidak tahu anaknya ada atau tidak, pergi atau tidak, sudah pulang atau tidak.

"Kalian enak-enakan di sini, nggak tahu anaknya lagi di rumah sakit hampir bunuh diri!" tukas Sahih tanpa basa-basi tidak berguna.

Darsih langsung terduduk dari rebah-rebahnya. "Apa? Maksudnya?" tanyanya menggebu dengan dahi berkerut.

Sahih melihat sekilas pada Darsih, kemudian kepada Kemal. Ia paling menunggu reaksi sang bapak. Namun untuk Darsih, Sahih cukup senang melihat responsnya.

"Bunuh diri?" Kemal bertanya dengan kaget.

"Iya." Sahih kian memasuki kamar. "Menurut Bapak, kenapa dia bisa sampai segila itu mau bunuh diri? Bapak tahu, nggak?"

Wajah Sahih tak terbaca, tapi seperti tengah menyimpan. Kemal mengira-ngira. Ada apa ini sebenarnya?

"Zafran di rumah sakit mana, Sahih?" Darsih bertanya di atas ranjangnya, ia duduk dengan tegang.

"Rumah Sakit Bina Sehat, Ma," jawab Sahih untuk kepanikan Darsih, kemudian kembali mendekati ayahnya di dekat jendela kamar. "Menurut Bapak kenapa dia mau bunuh diri, Pak?" tanyanya lagi.

Alis Kemal menukik. "Maksud kamu nanya begitu apa, sih? Ya mana Bapak tahu! Ini aja Bapak baru tahu dari kamu!" ketusnya berkerut.

Miris. Sahih melihat ekspresi yang sangat alami. Namun, ia memercayai Zafran. Berarti, Kemal sangat pandai berdusta.

"Sahih! Sahih!" panggil Darsih panik, berintonasi tidak sabaran sebagaimana setiap hari.

Sahih belum menoleh. Ia terduduk lemah di pinggir ranjang orangtuanya. Belum apa-apa, sudah letih menghadapi semua. Kakak yang dibuat hancur masa depannya, Bapak pendusta dan menyimpang, dan Mama yang bermasalah mental. Air mata cowok itu mulai mengodekan ingin keluar. Namun, ia tahan mati-matian.

DENGARKAN ZAFRAN SEBENTAR ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang