Karina
"Nggak ngantuk kok."
Duduk berdekatan dengan Jefan seperti ini, dengan kaki dan lutut mereka yang saling bersentuhan, sangat tidak aman bagi kesehatan hatinya. Karena belum apa-apa detak jantungnya bahkan sudah bertalu-talu seperti beduk yang dipukul para pemuda ketika hari raya. Mendebarkan dan—sedikit—memalukan.
Namun Jefan masih tetap mengulum senyum dan terlihat biasa saja, sama sekali tak tersinggung meski ia sedikit bergeser agak menjauh. Sementara dari audio mobil sayup-sayup terdengar lagu lama tahun 90an yang dibawakan oleh boyband hits pada jamannya.
'Di radio Di...'
Begitu jingle radio yang berputar di sela-sela jeda lagu berikutnya. Kali ini kembali mengalun lagu dari akhir tahun 90an yang dibawakan oleh salah satu diva county dunia.
"Kamu mau ke Planetariumnya kapan?" Jefan memecah keheningan diantara mereka berdua.
Ia berpikir sejenak, "Weekend dua minggu lagi gimana?"
"Kok lama amat?" Jefan mengernyit.
"Ya biar sekalian," jawabnya sambil tersenyum. "Pas hari ulang tahunku."
"Kamu sebentar lagi ulang tahun?" Jefan menatapnya dengan mata penuh selidik.
Membuatnya mengangguk sambil tersenyum. Tapi sedetik kemudian langsung berubah merengut, "Eh, bukan berarti gue lagi pengumuman ya! Bukan berarti gue lagi ngasih tahu elo ya! Dih, jangan ge-er! Ini tuh biar sekalian aja perginya pas ada momen jadi..."
"Ngasih tahu juga nggak papa kok," Jefan tersenyum simpul sambil memasang wajah penuh pengertian. "Seneng malah dikasih tahu..."
Membuatnya buru-buru memalingkan muka ke jendela samping dengan tergesa. Merasa malu campur sebal campur lega campur kesal cam...
"Jadi ulang tahun kamu tanggal 21?" tanya Jefan sambil tetap tersenyum. "Mau kado apa?"
"Apa sih?" ia memberenggut sambil kembali membuang pandangan ke jendela samping.
"Masih ada waktu buat ngasih tahu apa yang kamu inginkan ke aku," lanjut Jefan dengan suara terseyum. Ah, Jefan kenapa tersenyum terus sih? batinnya sebal. Ia kan jadi salah tingkah dan malu setengah mati.
"Gue tuh pengin pergi ke Planetarium tanggal 21 bukan karena lagi ulang tahun doang," ujarnya berusaha membela harga diri dari rasa malu.
"Tapi karena gue tahu, tanggal 21 tuh ada jadwal peneropongan gerhana bulan parsial. Kan keren tuh kalau kita kebagian lihat langsung lewat teropong," lanjutnya dengan berapi-api.
"Dari dulu pengin banget lihat fenomena alam kayak gitu pakai teropong beneran. Tapi belum kesampaian," pungkasnya lebih ke meyakinkan diri sendiri.
"Oke," Jefan mengangguk. "Kita ke Planetarium tanggal 21."
Namun ia hanya mencibir mendengar persetujuan Jefan sambil membuang pandangan ke jendela samping.
"Kamu mau nonton teater bintangnya yang pagi apa siang?" tanya Jefan lagi. "Biar enak ngantri tiketnya. Biar kebagian juga. Soalnya kalau weekend pasti penuh kan?"
"Tiket sih gampang," jawabnya sambil mengibaskan tangan. "Gue selama ini nggak pernah ngantri."
"Kok bisa?" Jefan mengernyit heran. "Tiketnya dapat dari mana? Jangan bilang nepotisme ya karena Papa kamu seorang pe..."
"Eh, lo sekali aja nggak suudzon sama gue bisa nggak sih?" semburnya kesal.
"Aku bukan suudzon," Jefan tertawa. "Aku kan cuma nanya tiket dapat dari mana kalau nggak ngantri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.