Sada
Selama beberapa menit, ia hanya duduk diam. Memperhatikan cowok usia belasan akhir, jelang dua puluhan, yang kini tengah tertunduk di hadapannya.
Cowok berpembawaan menarik, dengan tipikal wajah di atas rata-rata sekaligus berkarakter. Tipe wajah yang mendefinisikan bahwa, tak semua orang bisa memiliki dan menyentuhnya.
Hmmm, ia pun hanya menggelengkan kepala. Pantas saja Karina mau menyerahkan diri.
Namun sedetik kemudian langsung memaki, brengsek!
Karena secara tiba-tiba, pikirannya membayangkan bagaimana adik kecil kesayangannya dan cowok sialan ini, melakukan hal yang hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa.
Fucking shit!
Ia bahkan harus menerapi diri sendiri dengan menghembuskan napas secara perlahan melalui mulut. Membentengi diri dari keinginan melompati meja, yang membatasi mereka berdua. Untuk kemudian menghantam cowok sialan ini untuk yang kedua kalinya.
"Please, Mas. Kesampingkan dulu ego sama emosi kalian karena adik kesayangan diginiin..."
Kalimat istrinya di telepon kemarin sore, kembali terngiang di telinga. Berdengung bak suara lebah madu, yang hendak membuat sarang di tempat baru. Sialan!
"Sekarang yang terpenting buat kita, pemulihan kesehatan Karina. Karena kita mesti mikir panjang ke depan buat Papa."
Kalimat lain yang diucapkan istrinya, kembali terngiang. Untuk kemudian berputar-putar mengelilingi seluruh isi kepalanya. Dengan frekuensi dengungan yang jauh lebih dahsyat dibanding kali pertama tadi. Menyebalkan!
Waktu terus berjalan. Namun ia masih teguh untuk berdiam diri. Meski matanya tak luput dari memperhatikan gerak-gerik cowok di hadapannya, yang jelas-jelas menampakkan kegelisahan.
Ia bukannya tak tahu. Beberapa kali cowok itu sudah membuka mulut untuk mulai angkat bicara. Namun selalu terkatup kembali. Mengurungkan diri. Begitu terus hingga berulang beberapa kali. Membuatnya memutuskan untuk memulai pembicaraan.
"Lo mau ngomong apa? Sebelum nanti gua yang ngomong!"
Cowok dihadapannya terlihat menarik napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya mengucapkan kalimat dengan penuh penyesalan, "S-saya minta maaf."
Ia diam dan bergeming.
"S-saya yang salah."
"S-saya minta maaf pada Karina sekeluarga, karena saya... karena saya..."
Ia masih tak berkomentar. Hanya mengubah posisi duduk dengan melempar punggung ke sandaran sofa.
Namun tanpa dinyana, cowok itu kini mulai berani menatap matanya. Untuk kemudian berkata dengan sungguh-sungguh.
"Saya akan bertanggungjawab."
Meski hanya selama sepersekian detik, setelah itu kembali menundukkan pandangan dengan ekspresi gelisah.
Sebagai orang yang telah malang melintang di dunia reserse dan penyidikan, memiliki segudang pengalaman mengintrogasi berbagai macam karakter orang dan latar belakang. Kini ia harus mengakui bahwa cowok yang tertunduk di hadapannya ini tidak sedang berbohong atau lip service.
Mata elangnya menangkap sikap dan suasana hati yang tetap, konsisten, dan tidak dibuat-buat. Selain itu juga, tak ada perubahan sikap secara drastis yang bisa memancing kecurigaan otak penyidiknya. Seperti dari gelisah ke tenang, atau sebaliknya. Yang bertujuan untuk menutupi kegugupan karena telah berbohong.
Bahkan sejak awal, kali pertama memasuki ruangan, cowok ini jelas-jelas menunjukkan sikap cemas dan gelisah, atau takut. Gesture alami yang sama sekali tak bisa ditutupi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.