37. Don't Wanna Cry

307 53 25
                                    

Katherina

Ia sama sekali tak mendengarkan ucapan Teh Dara dan terus mengelus boneka Nemo sambil pikirannya berkelana entah kemana, ketika sesorang tiba-tiba memanggil namanya, "Karina..."

Jenis suara berat dan dalam yang sangat khas membuat kepalanya menoleh dan mendapati Jefan telah berdiri di depan pintu sambil tersenyum kikuk.

"Katanya kamu ngedrop...," ujar Jefan sambil berjalan mendekat.

Secara keseluruhan penampilan Jefan terlihat sehat dan bugar. Tak ada luka menganga yang menimbulkan efek cacat fisik, seperti yang selalu ditakutkannya selama tiga hari belakangan ini. Jefan bahkan terlihat semakin fresh dengan potongan rambut baru yang lebih pendek dan rapi.

"Maaf, baru bisa jenguk sekarang," lanjut Jefan yang kini telah berdiri di hadapannya, dengan tangan kanan menenteng tas belanja warna hijau bergambar bola dunia bertuliskan reduce, reuse, go green yang bisa diperoleh dengan mudah hampir di setiap supermarket, persis tas belanja yang sering dibawa Bi Enok ketika hendak berbelaja ke pasar tradisional.

"Gimana keadaan kamu sekarang?" Jefan tersenyum sambil meletakkan tas belanja warna hijau tersebut ke atas meja.

"Semoga udah baikan," Jefan masih tersenyum.

Membuat matanya yang telah memanas sejak awal kemunculan Jefan di depan pintu, kini makin merebak berkaca-kaca. Bahkan dalam sekejap telah dipenuhi genangan air yang siap tumpah kapan saja. Hingga mengaburkan pandangan yang membuat tampilan Jefan menjadi berbayang. Kini, seperti ada tiga orang Jefan sekaligus yang sedang menatapnya dalam-dalam.

"Karina?"

Ia masih sempat mendengar ungkapan keheranan Jefan sebelum tangisnya pecah tanpa prolog apapun, disusul gerakan cepat sebuah lengan kokoh yang merengkuh bahunya lembut. Menenggelamkannya dalam pelukan hangat yang menenangkan.

"It's fine...," bisik Jefan sambil mengusap kepalanya perlahan. "I'm here..."

Bisikan Jefan seolah membuat isakannya semakin menjadi. Sesenggukan dengan air mata berlinang sambil berkali-kali memukuli dada Jefan karena lega campur kesal.

Ingin rasanya ia berteriak menumpahkan kemarahan, "Lo kemana aja dua hari kemarin? Di chat nggak terikirim! Di telpon nggak ada nada sambung! Lain kali kalau mau ngilang bilang dulu! Jangan bikin orang khawatir!" Tapi tak satupun yang terucap. Bibirnya hanya mampu sesenggukan sambil tangannya terus memukuli dada Jefan.

Entah berapa lama waktu yang dihabiskan untuk meluapkan kelegaan sekaligus kekesalan. Menenggelamkan diri dalam pelukan menenangkan disertai usapan lembut di belakang kepala.

Ketika merasa pipinya mulai menghangat, karena telalu lama bersandar dalam dekapan Jefan. Sementara air mata telah mengering, berganti dengan kulit wajah yang terasa pedih dan kaku akibat terlalu lama menangis. Membuatnya perlahan mulai melepaskan diri sambil menunduk berusaha menyembunyikan pipi yang panas terbakar karena rasa malu.

Menyadari dirinya tak lagi berderai air mata, Jefan mengambil tisu yang ada di atas nakas untuk kemudian menyusut sudut matanya, "Udah puas nangisnya?"

"Sampai bengkak gini, nangisin siapa sih?" seloroh Jefan yang kini beralih menyusut ujung hidungnya.

"Nggak ngeledek bisa nggak sih?" sungutnya kesal kembali memukuli dada Jefan yang terkekeh senang.

"Aku tuh datang ke sini pengen lihat kamu senyum, bukan nangis," bisik Jefan yang kali ini mengambil tisu basah untuk mengusap kedua pipinya.

Membuatnya kembali bersungut-sungut, "Kamu ke mana aja sih?"

"Di chat nggak terkirim!"

"Di telpon nggak ada nada sambung!"

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang