Pesta pernikahan Delisa meninggalkan beberapa rasa lelah dipundak Ranua. Tapi hal itu tak membuat dirinya harus mengajukan cuti untuk merebahkan tubuhnya seharian penuh. Bulan mungkin juga sedang lelah, di malam yang cerah ini belum ada tanda-tanda cahayanya bersinar terang.
Aroma kopi rasanya membuat saraf-saraf Ranua yang tegang menjadi lemas kembali. Suasana di Kafe ini juga membuatnya menguarkan hormon lelahnya yang berlebih. Bahkan tanpa sadar Ranua sudah merebahkan kepalanya di meja.
"Kalau capek tuh pulang! Bukanya malah nongkrong masih pakek baju batik lagi!" Ucap seseorang yang dengan lancangnya duduk di depan Ranua.
Ranua menegakkan kepala. Bersamaan dari arah kasir, Amara membawa pesanan mereka berdua.
"Ngapain Lo ngajak mereka duduk disini?" Tanya Amara pada Ranua.Nua melotot. Sejak kapan Ia segabut itu?
"Apa-apaan enggak ada ya! Mereka berdua nih asal duduk!" Tuding Nua."Ngapain Lo duduk disini ha?" Tanya Amara pada Oyan. Oyan menyeringai. "Ngapelin Lo lah mantan."
Amara bergidik jijik. Baru saja mau mengusir buaya-buaya ini. Beruntungnya, buaya lain sudah sadar diri.
"Pindah aja Yan. Nggak enak ganggu mereka""Nah bagus. Pindah sana!" Usir Amara.
"Lo nggak lihat tuh, Nua aja nggak rela Ibay pergi" ucap Oyan sambil menunjuk wajah Ranua.
Ranua menatap Oyan tak percaya. Sejak tadi Ia diam saja, tapi malah si cebol Oyan mengkambing hitamkannya dua kali. Ranua menunjuk dirinya sendiri. "Gue? Matanya dibuka anjir! Mana ada ga rela!"
"Mata lo nggak bisa boong ya Nua!" Kekeh Oyan.
"Mata lo yang ga bisa lihat cebol!"
"Boong mulu! Dasar cewek!"
"Lo Anjir! Fitnah mulu dari tadi!"
"Udah diem kalian! Fine kalian berdua boleh di sini. Kepala gue pusing tau!" Akhir Amara sambil menunjuk Oyan dan Ibay.
Ia sadar benar, mengusir Oyan adalah ketidakmungkinan. Tapi ia lebih sadar bahwa Ranua tidak terima.
"Nggak bisa!" Protes Ranua.
"Udah diem!" Bentak Amara.
"Tambah Gathan kita reuni nih, ya nggak Bay?" Tanya Oyan pada Ibay. Yang langsung saja membuatnya ditatap semua orang yang ada di meja.
"Apa? Ngomong gini ga mungkin juga buat si Gathan datang kema-"
"Gue sibuk!" Ucap seseorang yang memotong perkataan Oyan, dan dengan santainya langsung saja duduk. "Long time no see guys!" Tambahnya sambil memutar menyodorkan kepalan tangan. Tos ala mereka.
Keempat sahabat lama itu hanya memandang tak percaya dan membalas sapaan kepalan tangan Gathan.
"Padahal baru see tadi pagi" guman Ranua pelan setelah sepenuhnya sadar bahwa orang ini asli. Tapi dengan kondisi kafe yang sepi membuat suaranya begitu jelas.
Gathan terkekeh pelan, lalu reflek menepuk kepala Ranua. "Dasar bocah sinis!"
Ranua menghindar tapi tetap saja kepalanya sudah ditepuk oleh Gathan. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang sudah mengepalkan kedua tangan dibawah meja.
"Minggir, ngapain? Nggak inget mantan crush? Mau dibuka kartunya?"
Gathan berdecih sinis. "Fine!"
Mereka lekas membuat pesanan. Selama menunggu pesanan, Oyan kembali membuat perkara.
"Eh kalian inget nggak sih 4 tahun lalu-""Lo jadian sama Amara?" Potong Ranua dengan senyum mengejek.
"Woy! Kok jadi Gue?" Protes Amara.
"Dan Lo suka sama Ibay" ucap Gathan pada Ranua dengan senyum mengejek.
Brak!
"GATHAN ANJIR!" Umpat Ranua pelan. Lalu berlalu pergi.
Sumpah malu setengah mati. Bahkan, Ia tak punya wajah untuk menatap wajah Ibay dan lainnya. Gathan sialan! Bangke!
Belum sampai pintu keluar. Ada sebuah tangan yang mencekal tangan Ranua. Ranua sontak berusaha melepaskan.
"Lepas! Sakit!""Kenapa nggak bilang?"
Ranua berhenti berontak. Kemudian Ia mendongak. Ditatapnya netra coklat laki-laki yang disukainya 4 tahun silam itu. "Nggak, minggir. Lepasin!"
"Jawab dulu"
Setelah berusaha. Akhirnya cekalan laki-laki itu terlepas.
"Punya kewajiban apa, Gue harus bilang?"
Ibay hanya diam. Tangannya menarik kembali tangan Ranua. Kemudian mengelus-elus bekas kemerahan cengkramannya, sambil sesekali ditiup pelan.
"Berhenti bisa nggak?" Ranua menarik tangannya. Lalu berjalan keluar.
Setelah memastikan Ibay mengikutinya Ranua memilih duduk di meja yang ada di teras kafe. "Nggak cukup apa Bay? Membuat seorang Ranua nggak ada muka lagi di hadapan seorang Ibrahim Famua dan teman-temannya?"
Ranua menghela napas panjang.
"Gue udah nggak ada muka Bay. Tapi tenang aja. Sumpah dari hati Gue yang paling dalam. Gue. Udah. Nggak. Suka. Sama. Lo! Jadi jangan bersikap kayak gini. Silakan pergi"Ibay diam membeku. Melihat Ranua sama-sama terdiam seperti memberi kesempatan untuknya menjawab.
"Udah belum?"Ranua hanya diam. Ibay melangkah berdiri tepat di depan Ranua, kemudian berjongkok. Kedua tangannya berada di lengan kursi yang diduduki Ranua. Seolah mengurung dikedua sisi.
"Kenapa?" Tanya Ibay sambil menatap tepat di kedua mata Ranua, tapi Ranua mengelak.
Ranua tidak bisa bergerak. Membuang semua rasa malu yang tersisa. Ranua mulai menjelaskan.
"Dari awal semua udah jelas kan. Kita hanya cocok menjadi teman," Ranua berhenti sejenak, hanya untuk menatap respon Ibay. "Coba bayangin aja, kalau dulu Gue bilang suka. Apa masih ada pertemanan kayak gini? Dan juga Lo nggak mungkin kan suka sama Gue? Toh Lo juga waktu itu suka sama temennya Amara. Jadi Gue nggak mau sakit hati. Cukup 4 tahun memandang Lo dari jauh."
Tangan Ibay mencengkeram pinggir kursi dengan kuat. "Lo Tuhan?"
Ranua diam.
"Lo Tuhan? Tau segalanya tentang Gue ha?"
Ibay berdiri tegak. Kemudian pergi meninggalkan Ranua yang terdiam seribu bahasa.
Melihat Ibay berjalan menjauh, Ranua mengatakan alasan terbesarnya.
"Dan apa Lo tau? Yura lebih lama suka sama Lo! Sejak 9 tahun yang lalu! Apa Gue tega menghianati sahabat Gue sendiri? Lagi pula kita nggak sama kayak dulu lagi. Masanya udah habis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Ibay!
Literatura Feminina8 tahun terjebak mencintai sendirian. Pada akhirnya Ranua ditinggalkan dan kesakitan. Lantas gadis people pleaser ini, bagaimana jalannya? Mereka hanyalah teman. Dan Ranua hanya hidup mencintai sendirian.