Setelah hampir dua jam Farid, Nadi dan Naira bertemu dan saling mengenal, akhirnya pertemuan itu berakhir. Jika boleh jujur, percakapan Nadi dan Naira lebih mendominasi dibanding Farid dan wanita itu. Naira pun sepertinya agak sungkan saat akan bertanya-tanya pada Farid dan lebih luwes saat menghadapi Nadi. Farid sendiri terlalu kaku sehingga ia tak banyak bertanya. Dan selama dua jam ini, dibandingkan fokus pada perkenalannya dengan Naira, Farid malah merasa cemburu pada perempuan itu.
Iya. Farid cemburu karena Naira bisa mengajak Nadi ngobrol sebanyak dan sesantai itu.
Farid teringat lagi, akhir-akhir ini ia dan Nadi hanya terlibat perbincangan serius yang menguras batin. Tak pernah sekalipun mereka membicarakan kesukaan Nadi dan keinginan anak itu untuk bisa bermain sepeda dengan lancar. Sungguh, sebetulnya selama ini Farid kemana saja? Mengapa ia berpikir ia sudah memenuhi semua kebutuhan Nadi di saat membelikan keinginan sederhana anak itu saja tidak?
Farid memejamkan matanya saat ia baru saja masuk ke dalam mobil. Ia dan Naira sudah berpisah, dan perempuan itu menolak diantar dan memilih memesan ojeg online. Farid tak memaksa. Toh, ia sedang butuh waktu untuk menetralkan perasaan cemburunya pada perempuan itu.
"Langsung pulang?" Tanya Farid sambil mulai menjalankan mobilnya.
"Iya, udah jam empat juga." Balas Nadi.
"Siapa tahu kamu mau beli sesuatu mungkin." Tawar Farid dengan penuh harap. Sayangnya, Nadi menggeleng. "Aku nggak mau apa-apa."
"Bener?" Tanya Farid tak percaya.
Nadi menoleh padanya sambil menatapnya heran. "Bener."
"Siapa tahu kamu sebenarnya pingin sesuatu tapi nggak bilang ke Ayah." Sindir Farid, berharap Nadi mengerti bahwa ia kesal karena ia tak tahu bahwa keinginan Nadi adalah memiliki sepeda.
"Nggak, kok." Balas Nadi seadanya membuat Farid menghela napas berat.
"Ayah bakal ketemu Tante Nai lagi?" Tanya Nadi tiba-tiba.
Farid mengernyit, "Memang kenapa?"
"Nanya aja."
"Menurut kamu Tante Naira gimana?"
"Baik." Jawab Nadi singkat.
"Baik aja?" Pancing Farid.
Nadi mengedikkan bahunya, "Nggak tahu. Kan baru satu kali ketemu."
"Menurut kamu, Ayah harus ketemu dia lagi nggak?"
"Terserah Ayah."
"Kamu maunya gimana?"
"Terserah Ayah aja."
"Kamu suka nggak sama Tante Nai?" Farid melirik anaknya. Yang ia tangkap selama pertemuan tadi, Nadi tampak senang saat berbicara dengan Naira. Mungkin karena perempuan itu memiliki kesukaan yang sama dengan Nadi.
"Biasa aja." Jawab Nadi seadanya, yang sayangnya tak lantas dipercayai oleh Farid. Anak itu berbohong.
"Ayah bakal ketemu dia lagi kalau kata kamu Ayah harus ketemu dia lagi."
Nadi mengernyit, "Itu nggak ada urusannya sama aku. Kalau Ayah mau ketemu Tante Nai lagi silahkan, nggak ketemu lagi pun terserah Ayah."
Farid menghela napas. Cukup sulit untuk membuat anaknya mengerti bahwa ia memikirkan pendapat Nadi.
"Gimana nanti aja." Putus Farid akhirnya. Jujur, ia pun tak ada gambaran apakah harus bertemu perempuan itu lagi atau tidak. Perasaannya biasa saja, selain kesal karena Naira bisa menarik perhatian Nadi dengan mudahnya. Apa ia perlu belajar cara mendekati anaknya sendiri pada Naira? Pikirnya.
Setelah mereka sampai di rumah, ia mendapati Fara yang sudah ada di sana menunggunya, dan tanpa basa-basi, wanita itu langsung menerornya. "Gimana tadi? Seru? Naira baik dan cantik, kan? Tipe kamu banget, kan? Eh, kamu ajak Nadi juga tadi? Terus gimana?"
"Nanyanya satu-satu, Mbak." Balas Farid capek. Sungguh, pertemuan tadi sudah menguras energinya dan menghadapi Fara saat ini cukup membuat energinya habis begitu saja.
Farid melirik Nadi yang masih berada di ruang tamu bersama mereka. "Masuk kamar, gih, istirahat." Serunya pada Nadi yang langsung diangguki oleh anak itu. Farid hanya tak ingin anaknya lagi-lagi mendengar pembicaraannya dengan Fara dan Dewi, karena ia sudah sangat yakin kedua wanita itu menuntut banyak penjelasan padanya.
"Gimana tadi? Ceritain detail. Mbak pingin tahu." Tagih Fara lagi.
Farid melirik Dewi yang juga duduk diantara mereka. Kata Fara, Dewi sudah tahu bahwa hari ini ia bertemu dengan kenalannya. Dan Dewi setuju dengan pertemuan tadi.
"Nggak gimana-gimana. Biasa aja." Ucap Farid seadanya.
"Masa, sih?" Fara mengernyit tak percaya.
"Perempuan itu nolak kamu karena ada Nadi?" Tanya Dewi yang langsung disanggah langsung oleh Farid, "Nggaklah. Naira sama Nadi tadi malah lebih akrab dan banyak ngobrol. Farid rasa, Naira nggak mempermasalahkan status Farid."
"Iya memang, tapi Mama rasa pasti ada keberatannya. Dia masih muda, pasti ngerasa berat kalau tiba-tiba punya anak remaja. Meskipun dia tadi kayak nerima anak kamu, tapi kita nggak tahu isi hatinya, kan?"
Farid terdiam. Sungguh, rasanya ia sangat capek menghadapi ibunya sendiri. "Mama malu dengan kondisi Farid, ya?" Tanyanya pelan.
"Lebih dari malu, kamu tahu itu." Dewi menjawab tegas.
"Farid tahu diri, Ma, kalau kondisi Farid itu memalukan. Farid sendiri pun belum bisa memaafkan diri Farid sendiri, tapi, Ma, kenapa Mama selalu berhasil buat kepercayaan diri Farid terkuras habis?" Farid menatap Dewi dengan pandangan nanar. Sungguh, ia sudah cukup tahu diri dengan kondisinya, namun mengapa Dewi selalu terus mengingatkan masa lalunya sehingga kepercayaan dirinya terus terkuras? Farid mengerti karena ibunya malu dan kecewa berat dengannya. Namun, Farid sendiri sudah sangat tersiksa dengan perasaan bersalah yang ia punya sendiri. Sikap Dewi malah membuatnya semakin terbebani, disaat Farid menginginkan dukungan untuk bisa memperbaiki diri.
"Mama itu sayang sama kamu Farid. Kamu satu-satunya anak laki-laki Mama dan Papa yang kami harapkan bisa jadi kebanggaan. Mama memang masih nggak terima dengan kesalahan kamu, tapi Mama masih mau berusaha membantu kamu memperbaiki hidup. Mama pingin kamu menikah dan punya keluarga yang harmonis. Untuk Nadi, biarkan jadi urusan Mama."
"Nadi urusan aku, Ma." Farid menatap Dewi frustasi. "Nadi bakal jadi penentu masa depan aku. Kalau memang Nadi mau aku menikah, aku akan menikah. Pun aku bakal menikah dengan wanita yang disetujui Nadi."
Dewi menatapnya tak percaya. "Mama nggak ngerti sama kamu, Rid. Kenapa kamu harus memikirkan Nadi, sih? Dia itu cuman kesalahan kamu di masa lalu."
"Ma!" Bentak Farid tanpa sadar. Sungguh, diantara sekian banyak perkataan menyakitkan dari Dewi, Farid selalu berusaha menerimanya. Namun perkataan tadi sungguh keterlaluan.
"Istigfar, Ma. Nadi cucu Mama juga." Farid berusaha tenang.
Fara yang berada di sana langsung mengelus punggungnya, berusaha menenangkannya. "Farid benar, Ma." Belanya dengan suara pelan.
Dewi menatap kedua anaknya sambil menghela napas. "Sejujurnya, Mama cuman anggap Edo sebagai cucu Mama. Ini juga berat buat Mama, Farid."
Farid sering mendengar penolakan itu, tapi rasanya masih sama. Ia tetap sakit. Padahal bukan dirinya yang ditolak. Maka, tanpa berucap apa-apa, Farid bangkit dari duduknya. "Kita bicarain ini lagi nanti."
Dan saat ia hendak berjalan menuju kamarnya, ia terdiam saat melihat pintu kamar Nadi yang tertutup pelan. Ketakutan pun menghampirinya. Apa Nadi mendengar pembicaraan mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nadi | Seri Family Ship✅️
Художественная прозаFarid melakukan kesalahan besar saat masa remajanya, dan mau seberapa besar usahanya untuk memperbaiki keadaan, semuanya tetap sama. Ada korban atas kesalahan bodohnya; Nadi. Begitu Farid memanggilnya. Dan hanya dengan melihat Nadi, perasaan bersal...