[12]

984 127 10
                                    

"Pak Eko nggak bakalan datang jemput kamu. Udah Ayah telpon supaya nggak usah datang antar kamu ke sekolah lagi." Ucap Farid sambil memperhatikan Nadi yang sudah siap dengan seragam lengkapnya yang sejak tadi diam di depan rumah menunggu mobil jemputan yang biasa menjemputnya.

Nadi diam. Dan Farid semakin kesal melihat itu. Sungguh, sudah berapa hari ini Nadi menolak diantar olehnya. Memangnya sesulit itu semobil dengannya? Padahal ia sudah menjalani perannya sebagai ayah yang mengantar anaknya selama tiga minggu ini. Awalnya Nadi menerima saja, namun entah kenapa akhir-akhir ini ada saja penolakan dari anak itu. Nadi bahkan sengaja memberi tahu Eko, supir jemputan, untuk tetap terus menjemputnya meskipun ayahnya mengatakan tidak.

"Ayo cepetan, Ayah antar." Farid melirik jam tangannya. Sebenarnya ia sudah telat, tapi ia masih mau berusaha sabar menunggu Nadi yang mendadak keras kepala itu.

"Aku jalan aja." Tanpa berucap apa-apa lagi, Nadi pun langsung jalan menjauhinya dan Farid langsung memekik kaget. "Eh, mau telat kamu? Apa susahnya sih diantar sama Ayah? Sama aja kan kayak diantar Pak Eko." Farid pun langsung menahan pundak Nadi untuk berhenti berjalan.

"Kenapa memangnya, Nadi?" Tanyanya lagi berusaha menahan greget.

"Ayah nanti telat masuk kerja." Balas anak itu tanpa menatapnya.

"Ayah nggak akan telat kalau kamunya naik mobil dari tadi."

"Aku malu." Ungkap Nadi akhirnya.

Farid mengernyit. "Malu apa, sih? Ayah bikin kamu malu?"

"Ayah selalu antar aku sampai depan kelas. Aku malu." Jelas Nadi. Anak itu masih menunduk, tak mau menatap matanya.

Farid terdiam sejenak. Memang, sejak ia mengantar bekal Nadi di kelas dan ia menyadari bahwa Nadi masih bermasalah dengan kemampuan sosialnya, Farid mulai membiasakan diri mengantar Nadi sampai depan kelas. Ia bahkan pernah sengaja membeli banyak roti dan memberikannya pada salah satu anak di kelas Nadi dan memintanya untuk dibagikan. Ia hanya berharap cara itu bisa membantu Nadi mendapat teman.

"Ayah juga nggak usah bagi-bagi makanan lagi." Nadi meliriknya dengan gelisah. Anak itu sedang menahan tangis.

"Kamu nggak suka? Ayah cuman mau bantu kamu supaya dapat teman." Farid berusaha menjelaskan. Mendadak ia takut sikapnya salah dan membuat Nadi malah semakin sulit untuk berteman.

"Teman-teman bilang Nadi anak manja, buat berteman aja harus disogok makanan dulu. Aku malu. Padahal aku nggak pernah minta itu, Ayah yang ngelakuinnya sendiri." Nadi berkata sambil menahan isakan. Anak itu pun membalikkan badannya, tak ingin Farid melihatnya meneteskan air mata.

Farid terdiam sejenak. Perasaan bersalah pun merasukinya. Bodoh, Farid goblok! Makinya dalam hati.

"Maaf. Ayah nggak tahu kejadiannya bakal gitu." Mendadak Farid ingin menangis juga. Ia pun merangkul pundak kecil Nadi. "Ayo masuk mobil dulu."

Nadi menggeleng keras.

"Ayah nggak akan antar kamu ke sekolah." Ucap Farid membuat Nadi mendongkak dan menatap wajah ayahnya heran dengan mata yang memerah.

"Kamu ikut Ayah kerja." Jelas Farid lalu sedikit menyeret Nadi untuk segera masuk mobil.

"Masa aku bolos?" Seru Nadi tak terima.

"Nggak apa-apa. Nggak pernah bolos, kan?" Balas Farid ringan. Berusaha mencairkan keadaan.

"Kalau Bu Ika nanyain gimana?" Tanya Nadi dengan raut cemas.

Farid pun langsung mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada wali kelas Nadi bahwa anaknya akan ijin sekolah. "Udah Ayah bilang kalau kamu ijin."

"Ayah bohong."

Nadi | Seri Family Ship✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang