Simbiosis Mutualisme.

6.2K 778 68
                                    

Paradikta bukannya tidak menyadari gelagat Prisha yang tampak lebih aneh pagi ini. Contoh kecilnya saja, di meja makan setiap kali tanpa sengaja bersemuka dengannya, perempuan itu langsung buang muka. Sesuatu yang tentunya tidak lumrah.

Oh, come on! Prisha ini selain kakunya kayak kanebo kurang air, beberapa minggu mereka tinggal serumah, mana pernah tuh Prisha terang-terangan giving attention utamanya terhadap keberadaan Paradikta di sekitarannya.

Namun, kenapa pagi ini beberapa kali perempuan itu ditangkap basahnya curi-curi pandang?

Paradikta memang agak pengar sewaktu bangun tadi. Tetapi, sebetulnya dia bukan tipikal orang yang kalau mabuk akan hilang ingatan sama sekali.

Walau samar-samar dan seperti orang yang mengalami kunang-kunang, tapi Paradikta ingat kok saat dini hari dia pulang lalu langsung memasuki kamar Naga, dia tahu bukan hanya Naga yang tertidur di kamar itu.

Please, dia masih di usia prima. Indranya masih bugar. Harum Naga itu khas anak-anak. Campuran honeysuckle yang calming juga orange pear menyegarkan. Paradikta tentu hapal karena harum itu telah dia temui sedari Naga lahir. Namun, sisa-sisa wangi mawar yang dia hidu semalam dengan mata terpejam jelas tak cuma membawa efek softness and comfort. Paradikta yang semula merasa agak mual gara-gara alkohol yang dikonsumsinya bahkan sontak dibuatnya rileks. Dan, itu mungkin ada kaitannya sama Prisha sehingga bangun-bangun perempuan itu kontan bertingkah aneh.

Wait, apa memang yang telah Paradikta lakukan? Dia lumayan sadar sampai saat dia memeluk seseorang di sisinya berbaring seolah sedang mengeloni Naga. Namun, setelah itu? Prisha bahkan udah nggak ada di kamar sewaktu dia akhirnya bangun.

"Papanya dah mau berangkat kerja iya?"

Paradikta yang barusan saja mengambil tasnya dari atas meja dekat ruang makan tak pelak terperanjat. Menunduk dia melihat Naga yang juga telah siap dengan seragamnya sedang berdiri menunggu em, mungkin untuk mengajaknya pamit salaman?

Berdeham sejenak, Paradikta lamat-lamat mengangguk untuk menjawabi pertanyaan putranya. "Kenapa? Aga mau ikut Papa? Sini masuk tas," candanya, terbilang jarang-jarang.

Tak heran Naga tak tertawa. Boleh jadi ya bukan cuma nggak lucu, tapi juga karena dia tak terbiasa dengan jokes Paradikta. Namun, ya memangnya Paradikta peduli?

Sambil melirik Prisha yang mendekat ke arah mereka dengan menenteng tas bekal bergambar Kapten Mbi milik Naga, Paradikta lantas sengaja bicara lebih lantang, "Bunda mau ikut juga, yuk?"

"Haah? Bunda siapa, Papaa?" Naga buru-buru menyambar bingung.

Well, tak hanya Naga. Begitu mengecek melalui ekor matanya, Paradikta sempat mendapati Prisha memelankan langkahnya. Ugh, terkejutkah dia?

Paradikta spontan menelan senyum miringnya kala dagunya mengedik ringan ke arah seorang wanita yang kini sudah berada persis di balik punggung sang putra. "Tuh, Bunda!"

Refleks berbalik Naga merengut seraya dengan gemas membalasi, "Ihh, ini mah Nte Prisha, Papaaa!" Jari-jarinya yang mungil gegas menggandeng akrab wanita itu seolah mereka bukanlah dua orang asing yang baru dipertemukan dalam hitungan minggu.

Menampik getar ganjil yang samar dia rasakan di hatinya, Paradikta lantas berujar santai, "Kan istri Papa."

"I-iseteri itu apa, Papaa?"

Muka Prisha memang tetap datar. Namun, Paradikta tahu dari gaya berdirinya yang tak setegap biasanya, Prisha sedikit salah tingkah. Dan, itu bagus! Karena niatnya Paradikta memang bikin perempuan itu merasa begitu!

"Istri, ya?" Paradikta lalu balas menggumam. "Banyak lah artinya. Kalau Aga sudah besar nanti akan mudah mengerti. Pokoknya, salah satu tugas istri itu yang selalu sama-sama bareng Papa ke mana-mana dari mulai Papa bangun sampai tidur." Bukan Naga, perhatian Paradikta justru tertuju penuh pada Prisha yang makin merapatkan dirinya dengan kikuk ke sisi Naga.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang