49.

47 7 21
                                    

Malam itu siaran persidangan Jakhangir Yalkun kembali diputar di salah satu stasiun televisi. Ezra dan Heinrich menonton bersama sambil menikmati berondong jagung. Mereka melihat beberapa keluarga korban yang diwawancarai. Salah satunya Widi, tapi lelaki mungil itu menolak untuk memberikan keterangan. Sehingga si reporter harus beralih ke keluarga korban yang lain.

“Kenapa dia tak mau diwawancarai?” tanya Heinrich atas sikap Widi.

“Mungkin karena sudah lelah dengan persidangan ini,” jawab Ezra.

Ernest tampil di layar kaca untuk memberikan sedikit gambaran persidangan hari ini. Ia juga membahas masalah diskriminasi rasial dan nasib veteran yang terkatung-katung tanpa perlindungan negara dan masyarakat hanya karena sentimen golongan.

“Aku setuju dengan apa yang dikatakan olehnya. Seorang veteran harusnya mendapatkan kehidupan yang lebih layak, termasuk kemudahan akses ke fasilitas kesehatan fisik dan mental. Negara ini telah gagal melaksanakan tugasnya,” jelas Ezra dengan berapi-api.

“Negara tidak perlu bertanggung jawab sejauh itu. Negara sudah memberikan pesangon yang layak. Tinggal bagaimana mereka mengaturnya.”

“Dengarkan dengan baik, Bule. Dia dipecat. Enggak perform karena sejak pulang dari tugasnya di medan perang, dia jadi aneh. Yeah, mereka menyebutnya aneh karena dia Asian. Coba kulit putih, pasti dibilang PTSD yang tidak tertangani. Pahlawan negara. Sakit dan jadi kurir. Ironis banget kan?” Pertanyaan Ezra membuat Heinrich terdiam. Ezra melanjutkan, “Dan lihatlah para saksi kulit putih yang menggambarkan kedatangan si terdakwa seperti seekor naga yang tiba-tiba menyemburkan apinya untuk membakar seluruh kota. Anehnya, yang melihat si terdakwa tidak dalam kondisi mental yang stabil hanya seorang cleaner asal Mexico dan seorang kurir makanan cepat saji dari salah satu restoran makanan Tiongkok terbaik di kota ini. Mereka bilang, terdakwa datang dengan kondisi gelisah dan bicara sendirian. Bahkan sempat menangis.”

“Hm, itu .... “

“Lihatlah perbedaannya. Itu semua karena rasisme. Kau tidak akan mendapatkan perlakuan yang sama karena kau tampan, berkulit putih, bermata biru, dan rambutmu pirang. Semua orang akan mencintaimu, menjadikan hidupmu lebih mudah.”

Heinrich menelan ludah saat melihat Ezra yang berapi-api. Ia segera mengipasi kekasihnya dengan selembar kertas di atas meja. Ezra yang manyun semakin melirik tajam ke arahnya.

“Easy .... Easy ...,” ujar Heinrich dengan lembut.

Ezra mengambil banyak berondong jagung untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia mengunyah walaupun itu sulit. Tiba-tiba Heinrich merangkulnya, ia buat Ezra bersandar di bahunya.

“Kau mengerikan saat sedang marah.”

Sebuah kecupan mendarat di dahi Ezra. Kalau sudah begini, Ezra luluh. Perasaan dicintai selalu muncul. Tapi setelah itu ia sering tak yakin bisa bersama Heinrich untuk waktu yang lama. Karena ia tahu, Heinrich sebenarnya menginginkan Kenny. Bukan dirinya. Dan pernikahan ini tak lebih dari cara mereka untuk mengenangnya Kenny bersama. Koneksi itu adalah Kenny. Bukan cinta.

Bagi Ezra, mencintai Heinrich rasanya seperti meluncurkan kembang api ke langit malam. Membaranya sebentar saja. Indahnya sebentar saja. Ramainya sebentar saja.

Ezra penasaran, bagaimana perasaan Heinrich padanya?

Ezra yakin, jika hubungan ini hanya menyiksa mereka.

Dalam semua kegalauannya, Ezra seolah melihat Kenny menatap mereka dengan raut wajah sangat membuat iba dari luar balkon apartemen.

*

Hujan yang mengguyur Los Angeles membuat Widi memilih untuk mengurung diri di kamar. Pria itu duduk menghadap jendela di atas kursi favorit mendiang suaminya. Ponselnya memainkan lagu berjudul Your Song dari Elton John. Seketika Widi merasakan rindu pada Jon. Tak terasa sudah enam tahun mereka terpisah jarak dan waktu.

Jon, aku rindu padamu. Tapi kenapa ya, rindu ini tidak sekuat dahulu? Apakah karena aku sudah ikhlas kehilanganmu? Dulu aku pikir, aku tidak pernah bisa mengikhlaskan kepergianmu. Luka karena kehilanganmu begitu dalam. Aku pikir tak akan pernah sembuh. Ternyata aku salah. Hidupku yang terus berjalan membuat luka itu perlahan terasingkan. Tergantikan oleh banyak hal yang harus aku lanjutkan.

Aku tak melupakanmu. Aku selalu membawa cinta dan sisa kenangan kita. Jangan khawatir, ya. – Widi

Sebuah ketukan halus terdengar. Widi menatap ke arah pintunya. Kemudian ia berkata, “Masuk!”

William membuka pintu. Ia terlihat repot membawa dua cangkir minuman hangat. Widi bisa menebak itu cokelat panas dari aromanya. Rasa penasaran pun muncul, tumben sekali William semanis ini, ada apa, ya?

Remaja itu meletakkan dua cangkir di atas meja kecil di samping kursi favorit Jon.

“Kamar Ayah dingin,” komentarnya sambil duduk di tepi ranjang Widi. “Semakin  dingin karena warnanya seperti gaun Elsa di Frozen 2.”

“Mungkin aku harus mengubah tema kamarku.” Widi mengangkat cangkir dan menyeruput sedikit minuman itu. “Ada apa? Tumben sekali buatkan Ayah minuman hangat.”

“Aku ingin bertanya tentang sesuatu.”

Layaknya orang tua, Widi selalu khawatir dengan apa yang akan William tanyakan. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selagi pertanyaan itu belum terlontar dari mulut anaknya.

“Oke. Apa itu?”

“Does sex feel good?”

Widi terbatuk dan terbengong cengo sesaat. Ia bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan William. “Beberapa orang di beberapa budaya bilang, saat kamu orgasme itu seperti saat kamu bertemu Tuhan. Semua terasa kosong, sekaligus semua terasa terpenuhi. Kadang itu terasa sebagai sesuatu yang good, kadang terasa seperti pause, berhenti. Beberapa orang menemukan itu sebagai berhenti sejenak yang mengganggu.”

“Bagaimana dengan Ayah?” tembak si Gembil penasaran.

Wajah Widi sejenak bersemu merah. Ia pun balik bertanya, “M-maksudmu? Coba jelaskan.”

William memutar bola matanya. “Anal. Does anal sex feel good?”

Itu terlalu jelas, Will. – Widi

“It surely hurts at the first time,” jawab Widi dengan cepat. William mengangguk. Sang ayah kembali menerawang dan menghilang dalam pikirannya seraya  menjelaskan, “Tapi saat itu kamu merasa itu penting dan necessary bersama-sama melewati satu tahap lagi dalam hubungan antar manusia. Dan itu terasa lebih penting dari sekadar sakit,” lanjut Widi.

“Sekadar?” ulang Will lagi.

“Will, you’re in love. Enggak ada yang lebih penting dari pasanganmu,” ucap Widi berbunga-bunga.

“Sekarang Ayah terlihat dan terdengar seperti Helena Bonham Carter di Cinderella,” cibir William.

Dahi Widi mengernyit. “Hah?” bingungnya.

“Yeah, fairy godmother. Berbunga-bunga,” kelakar Will yang seketika mendapat lemparan bantal sofa dari Widi.

“Mau dilanjut enggak?” mutung laki-laki yang lebih tua memandangi anak lelakinya yang beranjak dewasa itu. “Nah, kalau kamu anggap pasanganmu penting, kamu harus membuatnya nyaman. Dan begitu juga sebaliknya. Kalian perlu tahu batasan tubuh masing-masing. Jangan saling memaksa. Kalau mulai terasa tak nyaman harus bilang. Jangan main terjang seperti kuda. Saling memberikan sentuhan dan kata manis. Jaga atmosfer di antara kalian agar sama-sama selalu nyaman,” jelas Widi lebih lanjut.

“Lantas jadi enggak sakit?” bingung Will kemudian.

Widi menggeleng. "Tetap sakit, sih. Jangan lupa pakai pelumas berbahan dasar air. Kalau pakai yang berbahan dasar minyak, bisa merusak kondommu. Kenapa ini perlu? Balik lagi ke menjaga kenyamanan. Your asshole enggak punya pelumas alami. Vagina dalam kondisi yang nervous dan enggak nyaman juga akan kurang pelumasnya. Jadi harus selalu punya persediaan. Lalu yang terpenting, jangan lupa pakai kondom yang ukurannya cocok dengan your banana. Kondom bisa melindungi dari penyakit menular seksual, and in your case unwanted pregnancy.”

“Kalau telanjur sakit setelah anal sex bagaimana?”

“Sakit itu pasti, kan disodok-sodok. Tapi berendam di air hangat cukup membantu. Tapi kalau masih berlanjut, kalian butuh injury time, hentikan seks untuk sementara dan pergilah ke dokter.” Widi meminum cokelat panasnya lagi. Ia menatap sang anak. “Kenapa kau menanyakan hal ini, anyway?”

“Hanya penasaran. Aku lihat di video dewasa terlihat sangat, hm ..., menarik. Dan dalam beberapa cerita dewasa juga, fantasinya sangat liar. Seolah kita tidak diciptakan dengan rasa sakit,” jelas William.

“Video dan cerita itu hanya entertainment, Cah gemblung! Mereka hanya menyajikan yang indah-indah. Mana ada adegan rektum robek, vagina pendarahan, penis patah, atau gancet  saat berhubungan intim?”

“Gancet? What is that?” bingung William lagi.

“Yeah. Pasangan bersetubuh yang  menyatu. Tidak bisa lepas, ” cengir Widi menakutkan sambil menempelkan kedua telapak tangannya.

“Bisa begitu?” tanya William tidak percaya.

Widi mengangguk khidmat “Yup! Mungkin mereka terlalu hot sampai stuck begitu. Atau dalam beberapa kasus di kampungku, mereka bersenggama di tempat angker,” lanjut Widi menyeramkan.

“So, have sex di kuburan tidak disarankan?” lanjut William bergidik.

“Sangat tidak disarankan. Kuburan, hutan, tempat ibadah, pokoknya semua tempat yang dipercaya suci, angker, atau penuh entitas lain,” lanjut Widi seraya mendentingkan cangkir dengan cangkir cokelat William. “You’ll be possessed by demons, ditapuk genderuwo, or gancet to death. You’ll get azab yang sangat pedih.”

Informasi yang Widi berikan sangat menarik bagi William. Senyum pemuda itu menghangat. “Apa kau menikmati seks, Yah?”

“Aku menikmati seks, Will. Tapi kau tahu, ada yang lebih penting. Aku menikmati hidup bersama Jon, bersama kalian keluarga kecilku. Jadi kupikir, seks adalah komponen  dalam hidup yang terkadang tidak lebih penting dari komponen yang lain. Setelah menikah aku dan papamu  malah jarang dan kadang-kadang lupa  melakukannya, because there are more amazing things to enjoy. Dan tentang seks, setelah pertama kali mencobanya, hanya ada dua kemungkinan. Kau menjadi ketagihan dan ingin melakukannya berulang-ulang, atau kau sudah tahu rasanya dan tidak penasaran lagi, ya sudah jadi pengalaman saja. Banyak hal amazing lain yang bisa dijelajahi dalam hidup ini, enggak cuma tentang seks.”

William tampak mengerti dengan penjelasan Widi. Wajah penasarannya kembali terlihat, tapi ia terlihat enggan untuk bertanya. Melihat gelagat anaknya, Widi tahu William sedang menyembunyikan sesuatu.

“Mau tanya apa lagi?”

“Aku ingin tahu pengalaman tentang menemukan orientasi seksualmu. Aku sering mendengar tentang Papa. Tapi tidak tentangmu, Ayah. Bisakah kau menceritakan padaku?”

Ya. Widi memang tak pernah menceritakan tentang orientasi seksualnya. Bagaimana awalnya, bagaimana ia menjalaninya, apa pun itu tidak pernah diceritakan. Baginya itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan. Mengingat sang bapak yang marah saat tahu dirinya berbeda membuat Widi tak terlalu suka dengan kisah hidupnya.

“Please ....”

“Oke. Duduk yang nyaman. Ayah akan mulai bercerita,” ujar Widi yang diikuti senyum mengembang. Melihat putranya yang juga tersenyum membuatnya bahagia. “Orang-orang bilang, aku berbeda ....”

Widi menceritakan tentang dirinya yang berbeda. Sedari kecil, ia suka main masak-memasak dengan anak perempuan. Membuat kue dari tanah yang dihiasi dengan daun dan bunga. Saking seringnya main dengan anak-anak perempuan, Widi sering kena marah bapaknya. Katanya, anak lelaki harusnya main juga dengan anak lelaki.

“Awalnya susah untuk bergabung lagi dengan anak lelaki. Ayah merasa tidak nyaman, tapi lama-lama terbiasa juga.”

“Kenapa Ayah suka main masak-memasak?”

“Karena aku melihat ibuku memasak untuk orang lain. Ibuku dapat uang dan bisa membawa sedikit lauk enak untuk dimakan di rumah. Aku pikir itu menyenangkan.” Widi menghela napas panjang. “Aku pikir ini semua hanya tentang permainan kesukaan. Tapi malah menyerempet ke orientasi seksual juga.”

Menurut Widi, saat kelas satu SMP ia mulai merasakan gejolak aneh dalam dirinya. Ia suka melihat laki-laki yang tampan. Apalagi di Bali banyak lelaki berbagai ras berseliweran. Kadang mereka jalan-jalan sambil bertelanjang dada. Widi tahu sesuatu dalam dirinya itu salah. Karena Widi pernah melihat kisah azab kaum Nabi Luth AS di sebuah komik hitam putih yang dibeli saat pulang sekolah.

“Aku tahu ada sesuatu yang salah pada diriku. Tapi aku enggak bisa membicarakan hal ini dengan orang tuaku. Kakakku bawa pacarnya ke rumah saja, bapakku langsung marah-marah. Padahal niatnya hanya berkenalan, bukan berbuat yang macam-macam.”

“Jadi, Ayah simpan rahasia itu sendiri?”

“Ya. Istilah pertama yang aku kenal adalah penyuka sesama jenis. Semakin dewasa, aku kenal kata homoseksual dan gay.”

“Lalu bagaimana pertemuan Ayah dengan Papa?”

Widi melirik putranya sambil tersenyum. “Tahun 2006 itu pertama kali aku bertemu dengannya. Semua karena ibuku bekerja menjadi asisten rumah tangga di keluarga Walter saat mereka tinggal di Bali. Mama Louisa meminta pada ibuku supaya aku mengajak Jon jalan-jalan sore naik sepeda.”

Pukul tiga sore itu Widi datang ke rumah Walter. Ia memakai kaos merah yang agak pudar warnanya dan celana SMP, juga sendal jepit karet sejuta umat. Yang menyambut kedatangannya pertama kali adalah Louisa. Perempuan itu sangat senang melihat kedatangannya. Ia membuat Widi menunggu sebentar untuk masuk dan memanggil Jon.

Widi tak pernah bertemu Jon sebelumnya. Di pikirannya, mungkin Jon sama saja seperti bule-bule yang bertebaran di Bali.

“Ini adalah anakku, Jonathan Walter.” Widi meniru ucapan Louisa saat membawa Jon ke hadapannya. “Aku pikir anaknya masih remaja. Ternyata sudah dewasa dan badannya tinggi sekali.”

Widi sempat melongo saat melihat betapa tinggi pria itu. Berbeda dengan Jon yang malah tersenyum. Bahkan semburat merah jambu terlihat di pipinya. Untuk memecah kebisuan yang terjadi, Louisa memperkenalkan Widi yang merupakan anak bungsu Sawitri yang bekerja padanya.

“Jon sangat menarik di mataku. Dia membuatku salah tingkah. Semua skenario untuk mengakrabkan diri yang sudah dibuat langsung buyar saat melihat sosoknya,” kenang Widi.

“Terus kalian ngapain aja?” tanya William sambil duduk menopang dagu. Cerita ini semakin menarik baginya. Ia sangat bersemangat menunggu bagian selanjutnya.

“Kami berkeliling menggunakan sepeda. Aku berada di depannya untuk menunjukkan jalan. Kami pergi makan, mencari spot sunset terbaik, mengobrol banyak hal. It was the best day for me.”

Widi teringat dengan kelapa muda yang dibelikan oleh Jon. Entah kenapa indra pengecapnya seolah kembali merasakan air kelapa yang begitu segar dan terasa lebih nikmat saat diminum bersama orang yang dikagumi. Jantung Widi juga berdetak kencang seolah ia kembali ke masa itu.

“Jadi, Ayah tahu kalau saat itu sedang jatuh cinta?”

“Entahlah, Will. Yang aku tahu, aku sangat bahagia. Dia seperti seseorang yang selalu aku dambakan dan akhirnya datang.” Widi terdiam sejenak. Setetes air mata meluncur di pipinya. Ia segera menghapusnya. “Sampai akhirnya aku tahu, apa yang aku rasakan akan menjauhkanku dari orang-orang yang aku sayangi.”

Mata William terbelalak. “Kok bisa?!”

Widi menatap keluar jendela. Hujan mereda, gelap malam mulai menyapa. Dua cangkir berisi cokelat panas juga telah tandas. William cemberut karena Widi tak kunjung melanjutkan ceritanya. Pria itu malah bangkit dari duduknya, menyalakan lampu, dan menutup pintu balkon kamar.

“I’ll tell you later,” pungkas Widi sambil meninggalkan kamarnya.

*

21 Maret 2024

Terima kasih sudah membaca.
Terima kasih untuk Om bintarobastard yang sudah menulis bersamaku.

Ditunggu vote dan komentarnya.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang