POV Wilona
"Tapi Bapak beri saya nilai A! Bapak memangnya tidak periksa artikel saya yang jelas-jelas menjiplak karya Adimas Prasetya?"
"Saya beri kamu peringatan perihal itu. Tapi nilai di website kampus sudah tidak bisa diubah lagi, Wilona. Mau tidak mau kamu harus menerima nilai akhirnya seperti itu."
"Tidak bisa begitu! Saya melakukan pelanggaran berat dengan menjiplak persis karya Kakak Tingkat. Waktu pemasukan nilai juga 2 minggu dan saya mengumpulkan artikel ini sebulan sebelumnya, seharusnya Bapak punya waktu untuk memeriksa artikel saya dan memberi saya nilai D atau E untuk itu. Tapi Bapak hingga saat ini bersikukuh mempertahankan nilai palsu itu."
"Wilona... Jika kamu memang ingin mengubah nilainya, saya persilahkan kamu untuk menghubungi pihak TIK Kampus."
"Kalau begitu, saya minta surat persetujuan dari Bapak agar permintaan saya disetujui oleh staf TIK."
"Untuk apa? Seluruh pegawai kampus tentu tahu siapa kamu, kamu tinggal bilang saja, tidak perlu pakai persyaratan dan yang lainnya."
"Kenapa?"
"Papah kamu pemilik yayasan yang menaungi dan membiayai kampus ini, seharusnya kamu tahu kalau privilege itu bisa kamu manfaatkan untuk mempermudah urusan kamu di kampus."
"Nggak. Saya tetap ikuti persyaratan yang ditetapkan, tolong beri saya suratnya."
•
•
•
•
Dasar tidak berguna.
Apa yang mereka lakukan selama berkuliah di Eropa dan Amerika? Di kampus besar yang mereka banggakan itu?
Untuk apa mereka belajar bertahun-tahun jika untuk tetap tunduk pada imperialis swasta? Apakah Amerika mengajarkan mahasiswanya untuk jadi bangsa feodal sama seperti yang mereka lakukan dulu dan sekarang?
Jiwa-jiwa seperti itu seharusnya sudah hilang dari benak tenaga pendidik Indonesia. Pulang untuk mengabdi di negeri sendiri sebaiknya dipakai untuk menumbuhkan bibit perlawanan terhadap para kapitalis pada generasi muda, bukannya malah membudidayakan sehingga membuatnya jadi lebih mengakar.
Kecacatan kaum intelek di kampus ini sungguh membuatku ingin muntah. Mereka tunduk pada jabatan sehingga membiarkan tindak ketidakadilan merajalela dengan alasan rasa sungkan. Bahkan tak ragu bagi mereka untuk menindas serta memeras mahasiswa miskin demi pemasukan dapur pribadi.
Aku tandai kampus bangsat ini, Universitas Nusa Harapan Bangsa. Juga kapitalis dibaliknya, Handaya Group, yang biayai segala giat kampus ini dengan uang haran hasil menjajah masyarakat kampung Kencana.
Dalam lubuk hati, sejujurnya aku tak ingin injakan kaki di tempat busuk ini. Tetapi nasib teman-temanku berada di tanganku sekarang. Mereka tak akan bisa berkuliah jika aku tidak mengancam si tua bangka sarang sifilis Hendra Handaya untuk menbuat mereka diterima tanpa perlu mengeluarkan biaya di kampus ini.
Aku terpaksa membuat perjanjian bodoh untuk tetap menyandang nama keluarga Handaya demi bisa membuat teman-temanku berkuliah. Si tua bangka itu menjebakku untuk tetap menbuatku jadi pewaris utama perusahaan sebab anak-anaknya yang lain merupakan hasil dari perselingkuhan.
Benar adanya aku anak kandung si tua bangka Hendra. Yang katanya paling dinanti kelahirannya padahal nyatanya aku sudah punya 3 kakak. Nama keluarga secara resmi ku sandang karena aku satu-satunya yang lahir dalam hubungan pernikahan yang sah secara hukum dan agama. Maka tak heran jika di hari tuanya sekarang, Hendra memohon-mohon padaku untuk menjadi ahli waris karena hanya aku yang tercatat secara resmi sebagai anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER: Winrina Fanfiction
FanfictionSepenggal kisah balada mahasiswa Abad 21. Alter, mengupas isu masalah sosial yang terjadi pada masa kini. Dibalut dengan romansa cinta antara dua mahasiswi yang hadapi diskriminasi sebagai pasangan lesbian, Wilona Friska dan Kirana Dewi, bersama-sam...