Ratu

117 18 8
                                    

Hidup ialah siksa tak berakar, jurang tak berdasar. Dengan kata lain, ia adalah penderitaan melampaui apa yang di nalar. Setiap orang yang kutemui merayakannya sebagai harta paling berharga di dunia; hal terpenting yang harus dilindungi dengan mempertaruhkan apa saja. Aku bukannya tak mengerti maksud mereka, namun bagaimanapun, mereka melihat sekelilingnya dengan kacamata kuda. Di dunia ini, ada pula sekelompok orang yang melihat dunia bak neraka dan kalau bisa memilih, lebih baik mati saja. Atau, yang lebih baik lagi, tak pernah dilahirkan ibunda.

"Panggilan ke poli mata, atas nama Derawan Skai."

Suara robotik itu menyadarkanku dari kontemplasi tengah hari. Suara dengan warna dan intonasi yang sama dengan suara yang biasa kau dengar dari mesin-mesin teks ke wicara. Sejujurnya aku jauh lebih menyukai masa ketika para perawat sendiri yang memanggil pasien melalui pengeras suara, dengan suara manusia. Itu setidaknya bisa menunjukkan sedikit kepedulian mereka, menawarkan secercah kehangatan yang baik untuk kepala. Kalau aku dalam keadaan sakit keras lalu mendengar suara kaku itu memanggilku, keadaanku akan jauh lebih pilu.

Seorang pria berumur kurang lebih awal 40 tahun di seberangku berdiri. Tuan Derawan Skai (atau mungkin Sky?), aku asumsikan begitu, melintas di depanku. Ia melihatku. Aku mengenalinya sebagai pandangan yang serupa pasang-pasang mata kejam yang selama ini melihatku dari atas ke bawah. Sangat mudah menerka apa yang terjadi. Pertama ia akan menyadari wajahku yang dipenuhi mata dan hidung di luar kewajaran. Lalu ia akan melihat telinga yang terlalu lebar, leher yang tak lebih rupawan daripada jengger ayam pejantan, dan kemeja merah kedodoran. Terakhir ia akan menemukan Putri di dekapanku. Putri tak pernah berdosa, tak pernah berkata semena-mena, namun orang-orang selalu melihatnya dengan mata penghakiman. Kemudian ia mengalihkan pandangan, berpura aku tak pernah eksis di dunia. Tubuhnya sedikit menjauh, seperti menghindari lubang menganga di jalan. Tuan Sky lalu menghilang ke dalam lorong di sebelah kiri ruangan dan kemungkinan aku tak akan pernah melihatnya lagi di sisa hidupku.

"Panggilan ke poli jantung, atas nama Sarah Rahayu."

Kini giliran Nyonya Sarah Rahayu, seorang nenek berusia sekitar 70 tahun yang harus dipapah pendampingnya (kemungkinan anaknya) agar bisa berdiri dan berjalan ke poli. Setelah itu berturut-turut giliran Faliante Kuinsya, Dasyam Muria, Muhammad Yazid, dan Stefan Bal-Entah-Siapa—aku tidak akan mencoba mengeja nama belakangnya.

Di ruang tunggu itu, hanya ada aku dan sekitar delapan orang lain, ditemani sebuah layar datar yang cukup besar sebagai penghibur. Aku melihat jam, sudah hampir pukul sepuluh. Kemungkinan sudah hampir waktunya. Seakan menjawab hipotesisku, layar di ruangan tiba-tiba menampilkan Berita Terkini. Tidak aku seorang, semuanya yang berada di ruang tunggu juga langsung mengedarkan pandangan mereka ke layar.

Tidak ada pembawa berita. Kamera langsung menyorot bagian dalam dari Gedung Parlemen Nusantara. Di dalam ruangan megah itu, para pejabat berjas dan berdasi mengambil posisi duduknya masing-masing. Mereka menanti seseorang. Tapi para penonton sudah mengetahui apa kira-kira yang akan terjadi, sebab judul peristiwa telah muncul di layar dengan menggelegar.

UNDANG-UNDANG KESEHATAN IBU DAN ANAK DISAHKAN.

Ruang tunggu mulai berkasak-kusuk. Orang-orang berbisik-bisik. Menggunjing atau memuji? Entahlah, tetapi aku selalu penasaran bagaimana penduduk negeri akan bersikap. Para pejuang keadilan sosial yang sudah lama melawan undang-undang ini bahkan sejak dalam embrio permusyawaratan pasti akan tetap melawan habis-habisan. Bahkan aku yakin mereka juga hadir di sana, di luar Gedung Parlemen, sedang berpanas-panas dengan yel-yel memuakkan. Tapi bagaimana dengan rakyat lain? Bagaimanapun, mereka yang memilih pemerintahan yang sekarang untuk bertahta. Mereka yang mendudukkan Sang Presiden dan menyematkannya mahkota.

Sang Presiden sudah memimpin selama sebelas tahun. Ini periode ketiga, hal yang baru dimungkinkan pada pemilihan presiden tahun lalu ketika Undang-undang Pemilihan Umum direvisi. Ia memenangi pemilihan pertama kali dengan mengandalkan persona seorang mesias yang akan menyelamatkan negeri dari keterpurukan. Sejak tragedi kerusuhan Titik Nol Nusantara tahun 2030 yang menjatuhkan ratusan korban jiwa, popularitas Sang Presiden menyeruak dari dasar bumi. Sedari awal ia memiliki modal karisma dan wajah seorang panglima yang dapat menundukkan siapa saja, namun kiprahnya sebagai komandan militer yang menghentikan kerusuhan dengan tangan besi membuat tiap warga berpaling. Dengan sedikit akrobat politik, namanya segera bercokol sebagai kandidat kuat presiden. Empat tahun kemudian ia memenangi pemilihan dengan jumlah suara menyentuh 70 persen dari seluruh pemilih.

Visinya adalah membangun ulang negeri, dimulai dari menanam ulang generasi baru. Sang Presiden memimpikan negeri firdausi yang sepenuhnya dihuni oleh penduduk berkualitas tinggi. Baginya, itu adalah syarat mutlak sebuah negara maju. Ia menyebut, bahkan di tragedi Titik Nol yang melambungkan namanya, penyebab utamanya adalah para penduduk prasejahtera yang diperdaya kabar-kabar lancung, menunjukkan "ketidakcukupan kecerdasan mental dan kognitif." *

Pada periode pertamanya, ia merevisi Undang-undang Pembangunan Keluarga dan menitahkan maklumat untuk mencegah penduduk prasejahtera untuk banyak beranak-pinak. "Maksimal satu untuk Indonesia maju" adalah slogan yang bisa ditemui di tiap simpang kota. Ia kemudian merevisinya di periode kedua, dengan sama sekali menetapkan perbuatan prokreasi sebagai aktivitas ilegal bagi penduduk prasejahtera. Hukumannya? Penjara dan sterilisasi. Banyak resistensi, tapi tidak ada yang cukup kuat untuk melawannya. Salah satu penyebabnya adalah orang ini, yang sebentar lagi muncul di layar dan menampilkan diri di hadapan hadirin Gedung Parlemen. Sang Presiden berhutang banyak padanya, yang membersihkan lumpur dan bebatuan dari jalanan sehingga Sang Presiden dapat melangkah dengan sepatu mengilap.

Kami menyaksikan Kusumawijaya, Menteri Koordinator Pemberadaban Rakyat, berjalan menuju podium. Yang aku dengar, undang-undang terbaru ini adalah gagasannya sendiri. Ia pula yang bergerak aktif, gencar melakukan lobi untuk memastikan dukungan anggota dewan. Dan aku tahu, meski tak pernah disebut di media, dia sendiri pula yang akan memastikan undang-undang itu terlaksana.

Kusumawijaya telah berdiri di depan hadirin. Yang pertama dilakukannya adalah mengucap salam. Kemudian ia mengangkat jari telunjuk dan tengah tangan kanannya ke depan dada kiri, lalu mengetukkan jari-jari itu ke dadanya perlahan sebanyak dua kali—gestur yang disebut Paradiso. Bibirnya menekuk, menghasilkan senyum congkak yang memudarkan kerutan dan membuatnya lebih muda sepuluh tahun, seolah menantang siapa saja yang ingin memaksanya menarik kembali undang-undang tersebut.

Dalam hal ini, Kusumawijaya berbeda dengan Sang Presiden. Meski purnawirawan sepertinya, rupa Kusumawijaya lebih mirip pensiunan aktor kondang. Anggap saja bila Angga Yunanda memutuskan sudah waktunya mengurus negara. Aku, khususnya, menyimak dengan tidak sabar. Bukan karena ketampanannya, melainkan aku ingin mendengar dari mulutnya langsung, mulut Kusumawijaya sendiri, bahwa mereka tidak akan lagi membiarkan anak-anak celaka itu dilahirkan.

"Panggilan ke poli kandungan, atas nama Ratu Sejagad." **

Ah, aku amat benci suara itu. Bukan hanya karena ini bukan momen yang tepat, tapi juga ada sesuatu dari suara itu yang mengusik naluri paling mendasar, membuatku gila.

Aku terpaksa berdiri. Putri tetap tenang di dekapanku. Aku berjalan lurus, membelah ruangan, mendapati orang-orang melirikku dalam diam. Pasang-pasang mata kejam.


* Dikutip verbatim dari pidato Quo Vadis Indonesia? oleh Sang Presiden di Balai Kota Nusantara, 20 Januari 2032.

** Gestur Paradiso pertama kali diperkenalkan Sang Presiden dalam kunjungannya ke Simposium Relawan Bandung pada medio Desember 2033.

KRISALISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang