Gita berlari cepat, berharap tiada satu pun dari para perundung yang melihat dirinya. Gadis itu kembali berlari menuju kantin, tempat terakhir dimana temannya berada. Gadis itu tak dapat berpikir jernih, ia pun segera duduk dengan tatapan kosong.
"Kamu teh lama banget! Darimana aja sih?" protes Eli yang telah menunggu Gita cukup lama. Gita sudah kembali duduk di sampingnya dengan napas memburu. "Eh? Kamu teh kenapa? Kaya abis lari gitu?"
Rahangnya mengeras, tangannya mengepal erat. Bagaimana bisa ada perundungan di sekolah elit dan bergengsi seperti ini? Dan anehnya, semua orang tidak ada yang melaporkan hal tersebut? Pikiran Gita semakin kalut, namun untuk saat ini, mungkin sebaiknya Gita tidak mengatakan apapun. Terlebih, ini merupakan hari pertamanya.
Gadis itu mengatur degup jantungnya kemudian menghela napasnya secara perlahan. Setelah cukup tenang, Gita menoleh, menatap Eli lekat. "Ellian. Apa di sekolah ini ... ,"
Tiba-tiba suara bising terdengar, membuat Gita dan Eli kini mengalihkan atensinya dan menatap suara ramai itu dari kejauhan. Saat menyadari situasi, Ellian kini terkekeh pelan. "Oalah, The Pillars. Pantesan ramai."
Gita menatap Eli bingung, gadis itu sedikit mengerutkan alisnya. "The Pillars?"
"Anak paling ber-privilage di sekolah ini karena orang tuanya yang sangat terpandang," balas Eli. Gadis itu kembali menyesap minumannya sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Tanpa adanya mereka, kayanya sekolah ini bakal hampa. Eh, tapi bukan karena itu aja sih," ucapan Eli kembali tertahan sejenak, merangkai kata. Memikirkan bagaimana cara menjelaskannya kepada Gita. "Mereka ... anak-anak dari orang penting di sekolah ini."
Mendengar kalimat terakhir Ellian, membuat Gita kini mengulum bibirnya. Dalam sekejap ia melupakan hal yang akan ia tanyakan sebelumnya karena keramaian tersebut. Kini atensinya hanya tertuju kepada beberapa orang yang sedang berjalan menembus keramaian itu.
"Se-berpengaruh itu?"
Ellian mengangguk kemudian ia mulai menunjuk salah satu dari mereka dengan dagunya. "Kamu liat cewe rambut pendek warna coklat itu gak?" Gita menelisik, saat menemukannya, ia mengangguk cepat. "Namanya Hazel. Hazel Veronica Arkatama. Sesuai namanya, mata sama rambutnya secantik warna Hazel."
"Terus yang disampingnya, itu Clara. Adiknya Hazel. Clara Veronica Arkatama. Mereka tuh adik-kakak, tapi rumornya teh dari ibu yang berbeda," jelas Eli sembari menyesap minumannya. "Makanya mereka seumuran."
Gita sedikit mengerutkan keningnya. "Bagaimana bisa?" pikirnya. Namun, dengan cepat gadis itu menghapuskan pikiran negatif yang muncul dalam sepersekian detik itu.
"Hmm," gumam Eli, berusaha mengingat. "Cewe tomboy dengan rambut dikuncir ponytail yang lagi ngerangkul Hazel, itu Fadel." Eli menunjuk perempuan dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi dari dua gadis yang telah ia sebutkan sebelumnya. "Namanya Refadela Pantjoro. Anak donatur paling besar di sekolah ini."
"Hah?" Gita terkesiap, menutup mulut dengan tangannya. "Apa ... semua fasilitas di sekolah ini, semua dibiayain sama ayahnya?" celetuk Gita yang mendapat anggukan sebagai jawaban dari Eli. "Wow."
"Belum selesai." Eli tersenyum simpul kemudian menunjuk gadis manis dengan rambut hitam legam panjang yang lurus. "Kamu liat yang cantiknya kaya gak nyata itu?" Gita mengangguk lagi.
"Itu Misya. Misyana Fumiko. Katanya sih, ada keturunan Jepang. Ia terlalu cantik sampai banyak yang bilang kalau dia itu keluar dari anime. Anu, kartun Jepang."
Gita menggaruk tengkuknya pelan. "O-oh ... ada-ada aja."
"Oh, satu lagi."
"Masih ada lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsessed (END)
Fanfiction"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana dan menyenangkan, tiba-tiba berubah menjadi mewah namun begitu menyesakkan? Mulai dari masalah kelua...