#3

169 25 1
                                    

POV Kirana

"Baguslah. Jangan masuk, politik itu kotor. Tidak baik untuk perempuan secantik kamu masuk ke tempat seperti itu."

Ironi sekali menyelipkan pujian untukku dalam kalimat sarkas. Tapi ku yakin pujian itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa sang empunya paham dengan apa yang dikatakannya.

Kelihatannya begitu.

Wilona, ia tidak menyebutkan nama panjangnya. Ku sebut saja tanpa embel-embel 'Kak' karena ia terlihat dibawah satu tingkat dariku. Lebih pendek dariku entah 2 atau 3cm, rambutnya diwarnai coklat potong sebahu, berponi, dan kikuk.

Dari dialog yang kami lakukan tadi bisa ku simpulkan dia seorang introvert, atau parahnya seorang ansos, sebab ia tak ahli bercakap-cakap dan jawab seadanya saja.

Tak banyak yang bisa di deskripsikan dari Wilona. Hanya kekakuannya yang dapat ku ingat dan perkenalannya yang begitu singkat.

Nama itu akan ku ingat karena aku merasa hutang budi padanya. Berkat Wilona, hutangku pada kampus sebagian besar sudah tertutupi.

40 juta ludes dipakai penuh membayar UKT 2 tahun, aku hanya berharap segera mendapat informasi penangguhan untuk semester selanjutnya dan berhenti berharap pada suatu yang tak pasti. Aku harus cari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Tapi apa?

Gaji jadi barista sekitar 2 juta rupiah, terkadang 1.5 kalau cafe sedang tidak ramai pengunjung dalam 1 bulan. Terkadang 2.5 kalau Papa Gista sedang kaya-kayanya.

Pembagian hasil itu cukup signifikan antara kebutuhanku dan kebutuhan di keluarga di kampung. Beruntung aku anak tunggal sebab kalau punya adik, aku bisa dibuat pusing harus biayai sampai ia kuliah.

Bapak penghasilannya tidak menentu, Ibu terkadang menyambi jadi penatu.

Bapak berprofesi sebagai seorang guru silat. Ia seorang pendekar dulunya, dihormati, dan disegani orang karena kemampuan bela dirinya. Banyak orang minta bantuan padanya entah untuk berjaga atau sekedar beradu kemampuan lalu ditukar dengan lembaran uang.

Sekarang pun begitu, hanya saja di masa kini, orang-orang tahu cara menjaga diri dengan cuman bermodalkan paket data dan perangkat seluler. Mereka dapat jadi ahli dengan belajar otodidak tanpa perlu datang ke padepokan.

Sebagian sadar adu kemampuan bukan lagi jadi tolak ukur kekuatan. Masyarakat kini lebih gemar berlomba pamer harta setelah kian lama merantau ke ibu kota.

Jadi kini, pekerjaan Bapak cukup terancam hilang ditelan zaman. Tak mengherankan jika setiap ia pulang cuman bawa uang recehan, itu pun berkat diberi upah menguli di pasar atau angkut-angkut barang.

Aku menatap cerminanku. Pakaian ini terlalu mahal jika ku beli dengan uang hasil kedua orang tuaku bekerja. Hidup keluarga ini benar-benar bergantung padaku. Entah sampai kapan, tapi sering benakku mengajak untuk lari dari kenyataan.

Tapi, sampai kapan?

"Ini KTMnya sudah diaktifkan kembali, sudah bisa dipakai lagi ya... Jangan lupa aktifin ulang semester depan."

Jika diperhatikan lebih seksama, kampus ini setara dengan kampus bertaraf internasional. Fasilitas di dalamnya meliputi banyak sekali ruang bagi wadah minat dan bakat mahasiswanya.

KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) yang ku pegang dapat dipakai sekaligus menjadi ATM untuk layanan seperti perpustakaan, akses jurnal, laboratorium, fasilitas olahraga, faskes (poliklinik dll), bahkan beberapa layanan makanan dan minuman di beberapa tempat baik di fakultas maupun fasilitas untuk umum.

Aku dapat mengscan KTM untuk sekedar mendapatkan sebotol minuman berenergi.

Jika di rupiahkan, harganya jadi sekitar 8.000 rupiah, tapi ku pastikan ini bisa ku dapatkan secara gratis melalui vending machine yang bertebaran di sekitar koridor maupun jalanan kampus.

ALTER: Winrina FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang