05; Gumpalan Tisu

240 17 0
                                    

"Makin diemut, kok malah makin enak."

   Setelah waktu sholat isya telidur karena alasan lupa waktu, Mak Zuhri murka pada jam dinding di dalam kamarnya yang sudah tidak berfungsi lagi, dan azan isya yang berkumandang dari musala perumahan tidak terdengar hingga bagian Blok F. Mak Zuhri pun melewatkan sholat isya berjama'ah, ia sholat isya dengan sendiri—cukup sudah mengamuk dengan jam dinding yang diletakkannya pada plastik sampah di depan pintu kamarnya. Mak Zuhri justru memilih mencari anaknya, mengajak makan malam sebelum matanya mengantuk berat.

  Mak Zuhri mengetuk pintu kamar anaknya, Memanggil beberapa kali hingga sadar tidak ada sahutan, Mak Zuhri berinisiatif untuk membuka kamar itu. Jidatnya berkerut lipat tiga, Rhuto tidak ada di dalam kamarnya, tidak ingin berprasangka buruk—Mak Zuhri keluar mencari anaknya di sofa ruang tengah, tetap saja tidak ada. Tidak berpikir lebih lama, Mak Zuhri kemudian membuka pintu matanya melihat Rhuto sedang menggendong Siti sembari membuka pintu pagar.

"Bujang dari mana? Cari jaringan lagi?" Tanya Mak Zuhri menginterogasi anaknya. Masalahnya, selama sepeninggal  Pak Bahkri, Rhuto jarang keluar rumah, tapi dua malam ini—Rhuto selalu di luar rumah.

Bujang melangkah besar-besar sembari mengelus leher Siti. "Enggak Mak, ini jemput Siti," jawab Rhuto sembari mendekati posisi Mak Zuhri.

"Kok dari rumah pak Yeri? Kamu main sama Juna, ya?" Tanya Mak Zuhri lagi, penasaran akan anaknya.

Tepat saat di ambang pintu, Rhuto menjawab pertanyaan Mak Zuhri. "Bujang tadi duduk di teras, liat Siti lagi asyik di halaman rumah pak Yeri, yasudah Bujang jemput."

Mak Zuhri manggut-manggut memahami perkataan anaknya datang dari rumah pak Yeri. "Ya udah, lain kali bilang Mak dulu. Gih  masuk, makan malam dulu," ungkap Mak Zuhri seratus persen percaya dengan anaknya.

  Dua orang, satu peliharaan itu masuk ke dalam rumah, Mak Zuhri tak luput menggunci pintu. Sementara Rhuto mengambil makanan untuk Siti yang duduk patuh di depan kulkas menunggu jatah makannya, Mak Zuhri mencuci tangan lalu membuka tudung kemudian mengambilkan nasi untuk anaknya. Malam ini, seperti biasanya, menu yang sederhana. Sekadar telur dadar dengan semangkuk tumis sayur kol dan tempe. Dibilang miskin, keluarga mereka masih mencukupi—secara harfiah, keluarga mereka hanya cukup berhemat, gaji almarhum Pak Bakheri sebagai pensiun PNS hanya bisa sebagai biaya sekolah Rhuto.

  Dahulu, Mak Zuhri membuka usaha jasa menjahit, tapi hal itu sudah lama berhenti saat dua bulan sepeninggal Pak Bahkri, yang mana Mak Zuhri menjual mesin jahit miliknya untuk biaya pendaftaran ulang Rhuto. Meskipun sekarang mereka tanpa Pak Bahkri, sejak dahulu pun mereka sudah serba sederhana—ketika Pak Bahkri pergi, mereka jadi terbiasa hidup seadanya. Mak Zuhri menyuap nasi miliknya dengan lahap, sementara Rhuto justru kurang berselera, tidak selahap seperti biasanya.

"Bujang, sayur kol-nya nggak enak, ya? Kok makannya lemes begitu," seru Mak Zuhri saat memperhatikan anaknya.

Rhuto menggeleng cepat menghindari pikiran buruk Mak Zuhri. "Enak Mak, siapa bilang masakan Mak nggak enak," jawab Rhuto sembari mengunyah makanan dalam mulutnya.

"Terus kenapa? Bujang Emak kenapa kok lemes begini? Bujang ada masalah? Kepikiran apa?" Mak Zuhri mendesak anaknya dengan rentetan pertanyaan.

Rhuto meminum air putih sebelum menjawab apa yang ditanyakan. "Bujang nggak apa-apa Mak, jangan dipikirin. Beneran," ujar Rhuto meyakinkan Mak Zuhri. Sementara Mak Zuhri menatap anaknya mencari letak kebenaran.

HELLO JUNA! | HARUKYU REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang