Bab 5: The Unsaid Feelings

2.1K 79 17
                                    



Rasi menyodorkan kapas dan beberapa obat luka kepada Nigel. Setelah berbagai usahanya untuk meyakinkan Andreas bahwa ia harus bertemu dengan Nigel, kakak laki-lakinya itu akhirnya memberikannya izin. Laki-laki itu ternyata masih duduk di bangku taman yang tidak jauh dari rumah Rasi.

"Udah aku bilang Kak Andreas bakal mukulin kamu," ujar Rasi dengan helaan napas berat.

Nigel mengangkat sudut bibirnya sebelum meringis kecil. Luka di sudut bibirnya terasa sakit ketika ia tersenyum.

"Nggak apa. Emang seharusnya dipukul Kak Andreas," balas Nigel.

"Harusnya dua tahun lalu," sambar Rasi.

Gadis itu menoleh ke arah Nigel, dan tepat saat itu juga tatapan mereka terkunci satu sama lain. Nigel yang sejak tadi memang tidak berhenti menatap Rasi kini semakin memperhatikan setiap detail wajah gadis di sebelahnya.

"Kamu masih cantik."

Ada degub jantung yang seakan ingin meledak saat itu juga. Ada perasaan menggebu sekaligus rasa sakit yang entah mengapa menjadi satu di dalam hati Rasi hingga gadis itu tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan.

"Luka kamu...." Tangan Rasi bergerak menyusuri wajah Nigel yang penuh lebam dan sedikit jejak darah mengering.

Ketika tangan Rasi menyentuh permukaan wajahnya, Nigel langsung meraih tangan halus itu dan menggenggamnya erat. Keduanya terdiam selama beberapa saat dengan tatapan yang masih enggan terlepas satu sama lain. Perasaan itu meledak, lagi dan lagi.

"Aku kangen kamu, Ras," ujar Nigel dengan suaranya yang terdengar berat.

"Aku juga... aku juga kangen kamu, Nigel."

Ucapan itu hanya mampu terlontar di dalam hati Rasi karena pada akhirnya yang ia lakukan hanyalah diam. Tidak ada satu kata pun yang ia lontarkan untuk membalas perkataan Nigel kepadanya beberapa saat lalu.

"Udah, kan?" Rasi melepaskan tangannya dari genggaman Nigel.

Nigel masih mengunci tatapannya pada kedua mata Rasi yang sejak tadi berusaha menghindarinya. Gadis itu berkali-kali mengalihkan tatapan ke sembarang arah hanya untuk menghindari kedua iris mata gelap yang dulunya begitu ia sukai. Kedua mata Nigel terasa begitu asing sehingga Rasi memutuskan untuk tidak lagi menatap mata itu.

"Aku mau masuk," ujar Rasi.

"Di sini sebentar, boleh?" balas Nigel.

"Apa lagi? Kamu bisa ngobatin lukamu sendiri, kan?"

"Aku kangen kamu."

"Aku har—

"Sebentar aja. Aku janji." Nigel memotong ucapan Rasi hingga gadis itu terdiam setelahnya.

Rasi menghela napas panjang dan menatap lekat wajah Nigel yang sejak tadi sama sekali tidak berpaling darinya. Laki-laki itu menatapnya sangat lama, mengganti dua tahun kerinduan karena perpisahan mereka pada satu malam yang sama.

"Ada banyak hal yang mau aku bicarain sama kamu," ujar Nigel. "Termasuk alasan kamu ninggalin aku dua tahun lalu."

"Kamu yang ninggalin aku, Nig," balas Rasi.

"Aku nggak pernah pergi. Bahkan setelah kamu hilang tiba-tiba, aku masih selalu nunggu kamu," bantah Nigel.

Andai saja Nigel tahu seberapa besar rasa sakit yang dialami Rasi dua tahun lalu. Dan andai saja Rasi memiliki sedikit saja keberanian untuk memberitahu Nigel seluruh luka yang ia miliki. Gadis itu mungkin akan menangis terisak di hadapan Nigel jika ia memiliki keberanian untuk mengatakan segalanya di hadapan Nigel.

Turning PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang