"Na, tunggu!"
Bukannya menoleh yang dipanggil justru kian mempercepat langkahnya, mengabaikan suara bariton yang terus memanggil dan mengejarnya, mengundang banyak tatapan heran terhadap keduanya.
Belum sempat dia memasuki kelas tapi tangannya dicekal lebih dulu, "Please, stop menghindar dari gua, Na."
Iya, lelaki itu tidak menyerah mengejarnya bahkan sampai tiba didepan kelas.
"Apa lagi sih?!" Sarkas Rena, berusaha melepaskan lengannya dari lelaki yang beberapa hari belakangan ini terus mengganggunya.
Ah, iya. Rena lupa, bahkan Haris dulu jauh lebih sering menganggunya, bedanya sekarang rasanya sudah tidak lagi sama. Banyak hal yang membuat Rena merasa bahwa membuat jarak dengan lelaki jangkung itu adalah sebuah keputusan yang terbaik.
"Gue udah bilang kan, kalau gue udah ngga peduli. Jadi stop, gue muak. Ris."
Cekalan Haris di lengan Rena melonggar, dan gadis itu berhasil menepisnya dengan kasar.
Netra itu, keduanya sudah tidak lagi menatapnya hangat, hanya tersirat bongkahan kecewa disana, yang menembus dan menusuk hatinya tanpa belas kasih. Dadanya berdenyut nyeri, Haris kembali merasa bersalah yang teramat sangat.
"Sekali ini aja, Na. Gua mohon, setelah itu terserah. Gua ngga akan ganggu lo lagi."
Rena menghembuskan napasnya kasar dan berlalu begitu saja meninggalkan Haris, bahkan hanya untuk menatap wajahnya saja Rena tidak sanggup, ntah mengapa rasanya saat ini dadanya berubah menjadi begitu sesak jika berhadapan dengan lelaki jangkung itu.
Kemudian saat sudah mulai beranjak, langkah Rena berhenti, tanpa menoleh dia berkata, "Hargai keputusan gue, Ris. Jangan bikin gue semakin benci lo."
Haris mengusap wajahnya kasar. Ntah harus dengan cara apalagi membujuk gadis ini, gadis yang tanpa sadar sudah dia beri banyak luka, dia menghembuskan napasnya kasar. Menatap sendu punggung rapuh itu yang kian memudar kedalam kelas.
"Woi bro, jangan didepan pintu dong, ngalangin jalan nih." Tegur salah satu siswa yang tangannya penuh dengan buku-buku tugas murid lain, yang langsung membuyarkan lamunannya. Ah! Haris jadi teringat, tugas Kimianya hari ini juga harus segera dikumpulkan.
"Oh ya, sorry."
"Ngapain sih, nyari Rena? Tuh anaknya ada didalem, kenapa ngga masuk aja, sih? Biasanya juga terobos aje." Tanya Alan berturut-turut, dia adalah salah satu teman sekelas Rena yang cukup akrab dengannya, keduannya kini berjalan beriringan dengan Haris yang membantu Alan yang kewalahan membawakan buku-buku tugas temannya itu, tak heran. Alan adalah ketua kelas jadi sudah biasa disuruh-suruh begini.
"Ini ditaro dimana?" Tanya Haris yang lebih ke arah menghindari pertanyaan Alan, dia lebih memilih untuk tidak menjawabnya.
Terdengar decakan keras sebelum akhirnya Alan menyuarakan kekesalannya, "Diruang Kurikulum, ya ruang Guru lah, cerdas. Baru berapa hari jadi murid baru sih, emangnya?" Sarkas Alan yang paham betul tentang maksud pengalihan topik temannya itu.
Haris hanya terus pokus berjalan sambil ber-oh ria saja menanggapi hal itu.
'Dasar tower listrik!' Batin Alan merutuki Haris yang badannya memang satu dua tingginya dengan tower listrik itu.
***
hehehe iya ngga salah, ini cerita baru lagi hehehehehehehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Sakit
Teen Fiction"Benci gua sepuas lo, Na. Tapi izinin gua buat memperbaiki apa yang udah gua rusak disini ya, Na?" - Harisiozal "Justru dengan baliknya lo kehidup gue, itu malah ngebuat semuanya sia-sia, Ris. Karena bahkan luka yang lo taruh disini aja belum sepenu...