10. tentang luka

55 6 0
                                    

"Jangan panggil gue dengan nama itu.” Chaya sampai menggertakkan gigi saking geramnya dengan Jay.

“Gue tau ini terlambat, tapi gue minta maaf, Ra.” Ucap Jay tulus. “Gue tau maaf gue ga bisa mengubah fakta masa lalu, atau dosa gue ke lo yang bakal gue bawa sampai mati  ga akan terlupakan begitu aja. Tapi, lo ga usah maafin gue, Ra. Tapi, maafin diri lo sendiri. Gue harap kita bisa mengubah hubungan kita masa kini dan masa depan. Gue tau, gue manusia paling sampah di bumi ini dengan ngomong ngajak lo ikhlasin semuanya setelah semua yang lo lewati, berat banget ya, Ra?”

Chaya diam saja membiarkan Jay satu-satunya yang berbicara, ia fokus untuk menguatkan diri agar serangan paniknya tidak menguasainya.

“Setelah kejadian itu dan lo menghilang tanpa jejak, gue selalu berusaha cari lo dimana pun. Gue terlalu muda dan bodoh waktu itu, Ra. Tentu itu bukan alasan, gue ga tau gimana bisa komunikasi sama lo, sampai beberapa waktu lalu Hira manggil lo ke sekre. Pantas aja gue ga ngenalin lo lagi karena lo udah berubah. Lo ganti nama panggilan, rambut lo dulu yang selalu panjang sekarang udah pendek, dan lo dulu yang punya aura ceria dan selalu positif berubah jadi gelap gini, semua itu karena gue kan, Ra? Gue sadar dampak traumatis yang lo alamin dari insiden itu sangat parah, karena gue dengar Jake pas nonjok Hira gara-gara lo katanya hampir sekarat karena serangan panik, padahal yang pantas ditonjok bahkan dibunuh Jake itu gue, lo bukan serangan panik gara-gara digangguin Hira, tapi karena lo liat gue disitu. Neraka aja ga cukup buat gue, Ra.”

Jay benar-benar sudah tidak tau harus bagaimana lagi menebus dosanya, jika harus memberikan nyawanya tapi seseorang bisa menghapus ingatan buruk Chaya dan mengembalikan lagi hidupnya yang indah, Jay rela.

“Sampai sekarang gue masih tetap self harm, kalau ingat lo, Ra. Tapi, gue ga mau mati, gue masih mau nyiksa diri gue untuk tetap hidup, untuk mimpi buruk tiap malam, membenci diri sendiri, dan nggak akan pernah ngerasa cukup seumur hidup.” Chaya memberanikan diri melirik Jay yang menatap lurus ke depan. Jay serius dengan perkataannya.

“Terus kita bisa apa, Jay?” Chaya akhirnya mencicit.

“Lo udah pernah nyoba ke psikiater?” Tanya Jay.

Chaya mengangguk. “Sampai sekarang gue pun masih dalam proses pengobatan.” Jay serasa dihantam godam puluhan kilo di kepalanya.

“Gue belum pernah, karena gue ga mau sembuh. Gue ga mau bahagia di atas penderitaan lo, Ra.”

Chaya adalah Chaya, sebesar apapun kebencian, luka, kecewa, dan traumanya terhadap Jay, ia masih bisa berempati. “Cukup nyiksa dirinya, sekarang gue izinin lo untuk berobat. Deep down, gue tau lo orang baik, Jay. Semua yang lo lakuin waktu itu karena berlandaskan kesalahpahaman. Tapi, tubuh gue masih mengingat dengan jelas ketakutannya yang udah melebihi batas, selama ini, jujur gue ga benci lo, karena gue tau lo sebenarnya orang baik, gue benci diri gue sendiri.”

Jay bahkan tidak kuasa menelan ludah. Kerongkongannya seakan tersumbat. Air mata yang sejak awal Jay tahan akhirnya meluncur. Chaya terlalu baik, dan itu makin membuatnya hancur.

“Tapi, gue mulai sadar kalau gue udah lama kehilangan diri sendiri. Gue udah lama menutup diri dan hidup dengan mindset yang salah, gue toxic banget sama diri gue sendiri. Akhir-akhir ini gue selalu merasa pengen berubah jadi lebih baik lagi, memulai semuanya kembali terlepas dari masa lalu gue gimana, karena gue menemukan alasan jantung gue berdetak kembali dan gue mulai punya keinginan lagi. mungkin alasan kita membahas semuanya di hari ini, juga merupakan pertanda dari Tuhan kalau jalan gue buat sembuh itu masih ada.” Chaya berkata demikian sambil menatap objek yang mulai perlahan mewarnai kanvas dunianya yang monokrom selama ini. Satu-satunya orang yang gigih mendobrak benteng pertahanannya yang setinggi langit.

“Gue turut suka cita, Ra. gue benar-benar mengharapkan sisi diri lo yang bersinar kembali lagi, persetan dengan semua trauma yang pernah lo alami, walaupun gue salah satu tersangkanya dan yang paling merusak hidup lo. Karena luka yang ditimbulkan dari rasa kecewa itu lebih sakit. Lo dulu pasti ga pernah ekspektasi gue adalah awal mimpi buruk lo.”  Jay tersenyum getir, semua perasaannya untuk Chaya bercampur jadi satu. Rasa cinta, rindu, rasa takut, semuanya campur aduk. Andai, ia bisa berada di samping Chaya, namun ia cukup sadar diri jika menginginkannya. Bagi Chaya sampai kapanpun Jay tetap mimpi buruk meski ribuan kali  ia bertobat sekalipun.

“Gue mau sembuh, Jay.”

“Gimana kalau gue nemenin lo setiap ke psikiater dan gue juga berobat ke psikiater yang sama dengan lo? Kita hadapi ketakutan ini bareng-bareng? Dan gue menanggung semua biaya pengobatan kita, please izinkan gue buat melakukan sesuatu buat lo, Ra.”
Chaya mengangguk. Ternyata ia cukup tegar.

“Pertama-tama, lo harus panggil gue Chaya.” Jay mengangguk paham.
“Makasih banyak, Chaya. Semoga lo bahagia sama Jake. Walaupun gue sering adu mulut sama tuh anak, tapi gue mengakui kalau dia orang yang baik. Semoga dia bisa mengembalikan lagi Chaya si queenka, vokalis dan gitaris Aespa yang bersinar.”

Aespa, sudah lama Chaya melupakan bandnya saat SMA dulu. Ya, dulu dirinya sangat bersinar sebelum semua itu redup. Sebelum bumi menjadi dingin dan tak bersahabat. Sebelum takdir mencambuknya tiap detik, sebelum ia kehilangan dirinya secara purna.

“Selama ini gue selalu bersembunyi, Jay. Kali ini gue pengen menghadapinya, gue pengen mengendalikan rasa khawatir gue. By the way, gue mau ke toilet dulu ya?”

“Gue temenin ya, wajah lo pucat banget.” Tawar Jay khawatir.

“Gue  mau sendiri dulu.” Tolak Chaya dan Jay tidak bisa memaksanya, namun Jay tetap berniat membuntuti Chaya siapa tau serangan paniknya kumat.

Belum selesai Jay menulis skenario di otaknya, Chaya telah jatuh pingsan di tangga turun dari tribun, membuat para penonton di sekitaran berteriak histeris.

Jay dengan sigap kemudian menghampiri Chaya, membelah kerumunan yang kepo dengan apa yang terjadi.

ENIGMA : Tanda Tanya (?) |wintkeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang