000

58 7 4
                                    

"Kamu mau kemana lagi? Ngelayap kemana lagi kamu? Mau jadi pelacur juga kaya mama kamu?"

"DIANDRA! KAMU DENGERIN, PAPA?!"

Diandra Christyana Manunggal- cewek berparas manis dengan gigi gingsulnya yang masih berusia belasan tahun berhenti melangkah. Tangannya yang masih menyentuh handle pintu berwarna coklat tampak menguat. Bibirnya yang tipis melengkung ke bawah, sorot matanya yang sendu berpindah pandang pada pria paruh baya di ujung tangga. "Cabut," balasnya singkat.

"Apa katamu?!" sentak sang ayah tidak terima.

"Gue mau cabut."

"Mau sampe kapan kamu begini? Mau sampe kapan kamu bertingkah nggak sopan sama Papa?"

Diandra terkekeh geli, sikap kecil yang langsung menyulut amarah ayahnya dalam sekejap. Dia berniat menghampiri anaknya ketika tiba-tiba sebuah tangan menahannya dari belakang. "Udah, Mas. Biarin Diandra pergi. Besok 'kan hari libur, jadi ngga akan ganggu sekolah dia."

Diandra menatap perempuan itu, dia memiringkan kepalanya dan tersenyum kecil. "Saya tidak butuh pembelaan dari anda, nyonya. Anda tidak memiliki hak untuk ikut berbicara soal apa yang saya lakukan karena anda hanyalah istri kedua dari orang itu." Ia kemudian memandang ayahnya. "Dan, gue mau kemana pun itu urusan gue. Lo ngga ada hak buat ngatur karena lo bukan siapa-siapa, gue."

"DIANDRA!" Ayahnya berteriak, lagi.

"Ah, satu lagi. Kalian mau sampe kapan numpang di rumah bunda? Emang ngga malu, ya?'' sindirnya kemudian.

"Kamu keterlaluan, Di." Nyonya aka Tiara- perempuan sialan (sebutan yang Diandra sematkan padanya) meremas jemarinya, memasang wajah melas dan sendu. "Helen-"

"JANGAN!" Diandra membalikkan tubuhnya, melotot dan mengajukan jemarinya dengan emosi. "JANGAN BERANI-BERANINYA LO SEBUT NAMA NYOKAP GUE SEMBARANGAN!"

"DIANDRA!"

"DIEM, BANGSAT!" Diandra menarik napas, diam sejenak dan kembali memasang wajah senyum. Perubahan sekejap yang membuat sepasang suami istri di depannya termangu kaget. "Sial!"

Diandra langsung membuka pintu dan beranjak pergi, dia mengambil motor beat yang terparkir di garansi dan langsung melenggang pergi tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Jika dia berada di sana lebih lama lagi mungkin dia akan meledak lebih jauh dari ini.

Bisa-bisanya! Beraninya mereka! Dia ini masih hidup. Dia masih bernyawa dan beraninya mereka menampakkan wajah mereka tanpa tahu malu. Diandra ingin mengusirnya, dia ingin sekali menampar wajah ayahnya yang kurang ajar dan berengsek itu.

Tapi, tidak bisa.

Ibunya sudah berpesan, apapun yang terjadi. Biarkan mereka tinggal di sana. Biarkan mereka hidup bahagia.

Bahagia? Bahagia macam apa yang membuat ibunya mati dalam keadaan mengenaskan. Tanpa suami dan tanpa sahabat disisinya. Mereka berdua malah bersenang-senang seperti pasangan gila.

Diandra ingin mengamuk, dia ingin memaki mereka sepuasnya. Tapi bahkan itu tidak membuatnya lega sedikitpun. Kebenaran jika ibunya memisahkan mereka secara paksa dengan melahirkan dirinya membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Menyebalkan. Padahal ibunya tetaplah istri sah sekaligus istri pertama ayahnya, tapi sampai akhir dia tetap tersisihkan seperti orang ketiga.

Jantungnya masih berdegup kencang karena emosi. Amarahnya masih membumbung tinggi. Pandangannya kabur akibat air mata namun dia masih melajukan motor matic-nya dengan kecepatan di atas angka 60 km/ jam. Dia mendadak berhenti di depan pos satpam dengan napas terengah ketika melihat polisi tidur yang cukup tinggi di depannya, reflek yang tiba-tiba membuat stang sepeda motornya sedikit berbelok dan membuatnya seketika jatuh membentur aspal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

mari tetap saling jatuh cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang