#4

169 23 5
                                    

POV Wilona

Gundah gulana entah mengapa menyertai kegiatanku semenjak hari kemarin.

Pulang kuliah seperti biasa beristirahat di sekretariat, rasa-rasanya ada yang kurang sebab minggu ini kami tidak ada kegiatan apa-apa dan aku hanya memutuskan bermalas-malasan bahkan setelah melakukan pagelaran di tengah kota.

Menaiki bus untuk kembali ke tempat yang sama, tempat pulang baruku sejak 3 tahun yang lalu. Tempat dimana segala yang ku ingin coba bermula, tempat dimana aku mulai berani melawan seorang musuh yang telah lama bertengger di pelupuk mata.

Lama dipikir, durhakah aku sebagai seorang anak mengutuk orang tuaku sendiri? Bahkan ketika mereka melakukan kesalahan yang di mataku bernilai seperti seonggok tahi?

Terkadang waktu aku ikut kajian keagamaan, para ustadz, pastor, pendeta, biksu, semuanya mengdeklarasikan betapa berkah dan baiknya berbakti kepada orang tua dan betapa dosanya kita sebagai anak bilamana tidak menuruti perkataan mereka.

Semakin ku pikirkan, semakin pusing dibuatnya.

Selama ini aku mengutuk Hendra Handaya sebab ia bukan ayah yang baik. Semenjak aku hadir dalam rahim seorang wanita yang ku sebut Mama, Hendra tak hentinya gila perempuan. Mengetahui adanya aku di dunia tak lekas buat pria itu bertaubat atau sekedar bahagia mendengar kabar tersebut.

Kelahiranku disambut huru-hara perang antara keluarga Mama dengan Hendra. Di usia kandungan 8 bulan, diketahui Hendra menjadi pelaku KDRT, ia melakukan kekerasan dengan cara menghantamkan kepala wanita malang itu hanya karena dianggap mengganggu sewaktu baca buku di malam hari.

Kesalahan itu dibuat serta merta karena Hendra sering melakukan tindak asusila terhadap beberapa pegawai atau mengatur janji mesum dengan sekretarisnya di jam-jam tersebut. Bodohnya ia hanya karena tak ingin ketahuan, ia melakukan percobaan pembunuhan.

Akibatnya aku terlahir prematur dengan berat tak lebih dari 2.5 kg. Aku tumbuh dengan tubuh kecil dan mudah sakit, aku tak pernah bisa ingat sesuatu dengan kuat bahkan sampai sekarang. Dokter bilang ini akibat trauma yang aku terima sejak dalam kandungan, dan ini jadi bukti bahwa Mama sejak lama jadi korban sehingga memunculkan sangkaan-sangkaan negatif dari keluarga Mama di tanggal 1 Januari itu.

Mama dan Hendra hampir cerai. Tapi tak jadi sebab masih terikat kontrak bisnis diantara keluarga mereka.

Perihal itu yang semakin membuatku benci pada kehidupan kaum borjuis. Bahkan untuk seonggok cinta pun mereka perjualbelikan demi mempertahakan kekuasaan dan harta. Memang dasar kaum binatang, rakus dikedepankan sedangkan kebahagiaan urusan belakang.

Aku turut mengutuk Mama yang malah memilih bertahan. Entah ia kebanyakan menonton telenovela di televisi dan berharap si Hendra bertaubat kemudian jatuh cinta padanya atau karena memang dia sudah gila waktu itu.

Aku tak pernah dapat kasih sayang penuh dari kedua orang tua. Hendra bahkan tak pernah tahu dimana aku bersekolah dan menyerahkan aku pada seorang Nanny yang ternyata adalah kakak tiriku sendiri.

Nasib Mama pada akhirnya berujung di Rumah Sakit Jiwa. Aku hanya diberi kesempatan menengok sekali, itu pun waktu Mama sudah tidak bernyawa.

Ingatanku tentang Mama sebatas itu saja. Entah kehidupanku yang terlampau suram atau memang aku yang sangat amat pelupa soal keluarga.

Jadi, apakah salah jika aku menentang untuk berbakti pada ayahku sendiri? Yang tak sudi ku sebut ayah, karena memang kurasa ia tak layak dapat predikat tersebut.

Aku berjalan menuju markas LKM dengan lemas lunglai. Tubuhku mudah sakit kalau banyak kegiatan, tapi aku bosan bermalas-malasan jadi ku putuskan sedikit berjalan-jalan sekalian menelusuri Jakarta yang sudah lama tak ku perhatikan.

ALTER: Winrina FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang