4

525 35 4
                                    

Pemandangan paling indah menurut Davema adalah melihat istri dan anaknya tertawa bahagia. Ia tidak menyangka, impiannya terwujud.

Dinda, wanita itu cantik sekali saat tertawa. Lesung pipinya kelihatan, membuatnya gemas ingin mencium pipinya.

Dari yang ia lihat, istrinya itu semakin dewasa, aura keibuannya memancar sempurna, dan semakin cantik.

Davema terkekeh geli melihat Raja merangkak kesana kemari, anak itu aktif, dan sehat. Wajahnya sama persis seperti dirinya.

"Den Raja ini mirip sekali dengan den Dave, non Dinda cuma dapat hikmahnya aja" ujar bi Mery saat mencoba menangkap si kecil Raja yang merangkak.

Dinda tersenyum, "iya, rasanya nggak adil, saya yang hamil dan ngelahirin, tau-tau nggak mirip sama saya Bi".

Davema tersenyum tipis, "nanti kita buat yang versi kamu, pasti cantik banget".

Dinda memilih diam, enggan merespon. Bi Mery hanya tersenyum tipis, mengerti akan masalah tuannya, ia sudah lama menjadi pembantu keluarga Davema, tepatnya sejak Davema masih kecil.

Raja merangkak dan menarik ujung celana Davema, sang empu dengan gemas membawa Davema ke pangkuannya, Raja tertawa menyandarkan kepala mungilnya di dada sang papa.

Diam-diam Dinda iri, baru ketemu saja, Raja sudah sangat nempel dengan papanya, sementara ia mulai terlupakan.

"Kayaknya Raja udah ngantuk".

Dinda mengamati Raja yang mulai merengek, dan matanya mulai memberat. Dinda meraih Raja ke dalam gendongannya, "haus ya?? Langsung tidur ya nak, tidur ke kamar aja ya".

Dinda membawa Davema ke dalam kamar, tentunya ia berpamitan dengan Bi Mery dan baby siter anaknya. Sementara Davema mengikuti Dinda dari belakang.

"Kamu kenapa ngikutin saya??"

Davema mengangkat sebelah alisnya, "ini kan kamar kita, nggak ada ceritanya suami istri pisah kamar, apalagi ranjang, nggak efektif dan efesien, kalau saya lagi menginginkan kamu dan kamu menginginkan saya gimana?"

Dinda mendelik, percaya diri sekali Davema ini, "jangan ngomong kayak begitu di depan anak kecil" ujarnya sembari meletakkan Raja di ranjang disusul dirinya yang mulai memberikan ASI untuk Raja.

Davema menelan ludah, melihat putranya yang begitu rakus membuatnya mendadak iri.

"Pelan-pelan sayang" Davema mengelus pipi gembul putranya, ikut merebahkan diri, dengan posisi Raja berada di tengah dirinya dan Dinda.

"Awhhhh shhh, jangan digigit nak" Dinda melenguh, sementara Raja sudah memejamkan mata.

"Raja sering gigit gitu kalau lagi minum ASI??"

"Nggak sering".

"Sakit??"

Dinda mengangguk.

"Kalau digigit saya, rasanya gimana? Saya lihat, kamu malah ngedesah".

Dinda mendelik, "mending kamu keluar deh mas, kamu tidur di luar aja, kamu kenapa makin kesini makin mesum sih".

Davema terkekeh, "iya, iya, maaf".

Dinda memperbaiki pakaiannya saat Raja sudah terlelap dan melepaskan ASInya.

"Kamu nggak pulang??" Tanya Dinda hati-hati.

"Pulang kemana? Rumah saya disini".

Dinda mengelus pelan lengan Raja saat putranya merengek, tak lama kemudian, Raja kembali tertidur pulas. "Pulang ke rumah Maria".

Davema tersenyum miring, "rumah saya cuma disini, dari dulu dan sekarang".

"Kamu nggak lupa kan, kalau beliau juga istri kamu?"

"Maaf," ujar Davema merasa bersalah dengan cintanya, rasanya, ia sangat marah dengan dengan semua orang, termasuk dirinya sendiri, karena ia sudah menyakiti wanita yang sangat ia cintai-Dinda.

"Itu sudah berlalu, gimana kabar kalian??"

Davema memandangi wajah istrinya dengan tatapan terluka, kenapa Dinda selalu seperti ini, kenapa Dinda masih sempat menanyakan kabar orang lain, dan tak lain adalah sumber rasa sakitnya, kenapa? Ia sungguh semakin terluka, "saya nggak pernah baik-baik saja sejak kamu pergi".

Dinda hanya tersenyum tipis, menelan ludah kaku.

"Sekarang saya tanya, selama dua tahun ini, kamu ada dimana??"

"Di tempat yang aman, untuk saya dan putra saha. Saya nggak mungkin berada disisi kamu saat keadaan waktu itu nggak kondusif, saya ingin tenang".

"Tapi kenapa kamu nggak berpamitan? Kamu pikir, saya nggak seperti orang gila mencari kamu kesana kemari? Saya nggak bisa kamu tinggal Adinda, saya butuh kamu. Apalagi, kamu menyembunyikan kehamilan kamu, perasaan saya benar-benar campur aduk Adinda".

"Itu sudah berlalu mas, kedatangan saya kesini, saya sudah mempersiapkan semuanya, surat perceraian kita, surat itu sudah ada di tangan saya. Dan.."

Sarah sedikit kaget saat tiba-tiba Davema berdiri, menarik lengan Dinda agar turun dari ranjang dan membawanya keluar dari kamar menuju ruang kerjanya.

"Kamu bilang apa Din?" Tanya Davema dengan nafas memburu, dadanya naik turun dengan wajah memerah.

"Surat perceraian kita sudah ada di saya, kamu tinggal menandatanginya".

Davema mengetatkan rahangnya, kekesalannya menguap begitu saja, "sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menandatangi surat  itu,"

"Saya hanya ingin yang terbaik untuk kamu".

"Tahu apa kamu soal yang  terbaik untuk saya?"

"Mas, dimata semua orang, kita sudah bercerai, kamu nggak lupa kan? Bagaimana keluarga kamu mengatakan kalau istri kamu Maria, bukan saya, saya hanya mempermudah jalan kalian, kenapa kalian mempersulit jalan saya???" Kata Dinda dengan perasaan terluka, tapi untuk sekedar menangis pun, air matanya sudah tidak lagi keluar, mungkin, ia sudah terlampau lelah menangisi nasibnya selama dua tahun belakangan ini.

Davema menelan ludah, "tapi dimata saya,  kamu tetap istri saya Din, saya masih menginginkan kamu, cuma kamu,"

Dinda diam, sampai kapan ia akan berada dalam ikatan pernikahan ini? Pernikahan yang begitu sulit ia lalui. Menjadi istri yang dipoligami, tidak diakui oleh keluarga suami.

"Saya sudah lelah Davema. Tolong".

Davema menggeleng, "kamu bisa istirahat, bersadar dengan  saya, apapun itu, asal jangan pergi,"

Dinda diam, membiarkan Davema memeluk dirinya yang rapuh.


_____________
Jangan lupa vote dan komennya❤

Possesif Dema (Davema)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang