“Ada waktu untuk kita memilih dan ada waktu untuk kita dipilih. Saat kamu sudah yakin akan satu pilihan, jangan memilih yang lain. Karena sesungguhnya pilihanmu adalah suatu kebenaran yang telah lama kamu nantikan.”
_
“Perkenalkan. Bram Pamungkas. Suami sah Melina,” ucap Bram dengan tampang penuh kewibawaan.
Semua orang tampak kaget mendengar kejujuran Pria keturunan bule itu. Bahkan Naima saja sempat menyenggol lengan suaminya, saking tidak percayanya dengan ungkapan Pria asing yang kini tengah berhadapan dengan mereka.
“K-kau sudah menikah?” tanya Fahmi sedikit ragu.
Melina menganggukkan kepalanya seraya menggandeng lengan Bram yang kini tengah menggendong anak bayi laki-lakinya. “Sudah. Bahkan kami sudah mempunyai momongan, perkenalkan. Bayiku dan Bram. Namanya Cesare.”
“Cesare?!”
Semua pasang mata tertuju kepada seorang gadis yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu.
“Ferani!” Naima langsung berlari ke arah Ferani, memeluknya erat sambil mengucapkan kata maaf berulang-ulang kali.
“K-kamu nggak papa 'kan sayang?” tanya Naima penuh kekhawatiran.
Ferani menggeleng singkat, sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Naima.
Gadis itu menghela napas panjang. Sebelum ia kembali ke rumahnya, Ferani sudah lebih dulu mengetahui fakta itu di balik pintu rumahnya. Namun saat ia menangis, Vegalta menahannya, seakan-akan tahu rasa sakit yang kini Ferani pendam seorang diri.
“J-jadi apa saja yang kalian sembunyikan dariku? Selain aku anak yang tidak diinginkan. Apa aku juga seorang anak yang ingin kalian buang? Tidak ada waktu untuk kalian mengelak lagi. Karena aku, sudah tahu semua rahasia-rahasia kalian.”
Semuanya langsung menggeleng. Begitupun dengan Fahmi yang langsung mendekat ke arahnya.
“S-sayang. Jangan bicara seperti itu. P-papah tidak tahu-menahu tentang diri kamu. Tapi setalah malam ini... Papah menyadari akan satu kesalahan besar... P-papah khilaf...”
Hendra menepuk-nepuk pundak Fahmi menguatkan. “Semua bermula karena pesta dahulu, andai saja kita tidak menghadiri tempat haram itu. Hal ini tidak akan terjadi.”
“Yang berlalu, biarlah berlalu. Ayok kita mulai dari hal-hal yang baru,” sahut Melina menatap Ferani penuh menyesalan.
“Kamu mau 'kan kembali sama Ibu? Hidup bersama keluarga baru, Ibu bersumpah akan membahagiakan kamu, Ferani.” Janji Melina dihadapan semua orang.
Belum sempat menjawab, Naima sudah lebih dulu berucap. “Ferani akan tetap tinggal di rumahku. Karena mau sampai kapanpun dia tetap anak gadisku!”
Fahmi mengernyit. “Tidak-tidak. Ferani anakku, dia akan tinggal bersamaku.”
Tiga kubu keluarga itu memperebutkan hak asuh Ferani. Sedangkan Ferani memundurkan langkahnya, sehingga tidak sengaja ia menubruk dada bidang Vegalta.
Laki-laki itu tersenyum miring, berbisik tepat di telinga kanan Adiknya. “Jangan takut. Mereka menginginkan yang terbaik untuk Anak gadisnya.”
“Kak—”
“Kita selesaikan masalah ini sekarang, Fer.”
“Kakak mau ngapain?” tanya Ferani tersentak kaget ketiga Vegalta melangkahkan kakinya, merelai perkelahian orang dewasa tersebut.
“Stop! Disini yang berhak memutuskan hanya Ferani. Dia yang akan menentukan dimana ia akan tinggal.”
Vegalta menarik penggalangan tangan Ferani agar berdiri di tengah-tengah kericuhan. Semua orang yang berada di sana saling melempar pandangan.
“Benar kata Vegalta. Semua keputusan berada di tangan Ferani.” Hendra ikut menghakimi.
“Ayok, Nak. Pilih orang tua mana yang akan kamu ikuti,” ujar Hendra seraya tersenyum tipis.
Ferani terdiam lama. Menatap Vegalta beberapa saat. “A-aku pilih...”
Ferani menjeda ucapannya. Membuat semua keluarganya diselimuti rasa penasaran dan juga was-was.
“Aku tidak akan pilih siapapun.”
Semua keluarganya mendesah lemas. Menghela napas kasar, menatap Ferani berbarengan.
“Apa yang kamu katakan Ferani? Kamu harus pilih di antara kita bertiga. Siapa yang akan kamu ikuti?”
Ferani menggeleng, Melina terlalu mendesak dirinya sehingga Ferani muak akan sikap egois Ibunya itu.
“A-aku gak punya pilihan. Terserah!” Ferani hendak meninggalkan kediaman Aglanarta. Namun ditahan oleh Vegalta.
“Tunggu, Fer.”
“Kalian dengar. Ferani sudah memutuskan. Dia tidak akan pilih siapapun. Mohon dimengerti! Ferani hanya butuh ketenangan, bukan kegundahan!” tegas Vegalta terkesan bijak dalam memecahkan suatu permasalahan keluarga.
Semua keluarganya tidak berani bersuara. Semuanya hanya mampu terbungkam tanpa berniat untuk berkomentar.
Vegalta menghela napas panjang. “Oke. Kita ambil jalan tengah. Ferani akan ikut kemana saja, dimana ia tinggal akan dibuatkan jadwal khusus. Misal hari ini dan besok Ferani tinggal bersama Ibu Melina dan Pak Bram. Lalu hari selanjutnya Ferani akan tinggal bersama Pak Fahmi, dan kemudian Ferani akan tinggal bersama keluarga Aglanarta. Jadi impas, semua kebagian. Ferani akan hadir di antara kalian semua, jadi untuk ikatan kekeluargaan. Kita tidak akan terputus, walau kenangan pahit mungkin tidak bisa semudah itu untuk kalian hapus.”
Ferani mengerjap-ngerjapkan kedua bola matanya. Merasa takjub atas ucapan yang disampaikan Vegalta kepada ketiga keluarga yang berbeda latar belakangnya itu.
“Kak—”
“Saya setuju dengan pendapat kamu,” ucap Fahmi tersenyum bangga.
“Oke. Ibu juga setuju, dengan begitu Ferani berada di dalam jangkauan kita.”
Naima hanya mampu menangis, terharu akan penjelasan Vegalta malam ini. Jauh dari apa yang ia kira, ternyata Vegalta mempunyai sisi yang berbeda.
“Mamah bangga sama kamu, Nak.” Batin Naima berkata demikian.
____
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Teen Fiction14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...