10 - Cobaan Apa Lagi?

73 41 5
                                    

Kedatangan Nana di UKS membuat kepalanya pusing. Bagaimana tidak? Gadis itu terus-terusan menanyakan hal yang sama setiap detiknya.

"Oke, Na. Stop it." Anin membungkam mulut Nana dengan tangannya menahan agar gadis itu tidak lagi mengeluarkan suara. "Udah ya, mendingan kita ke kelas. Sebentar lagi ada kelasnya Pak Karso, lo mau di hukum karena telat masuk?"

Nana menggelengkan kepalanya pelan. "Makanya, dari pada lo tanya-tanya mulu. Mendingan kita ke kelas," ajak Anin.

Seperti terkena sihir oleh suara lembut Anin hingga mampu membuat Nana menuruti permintaannya yaitu kembali ke kelas. Tepat apa yang diperkirakan olehnya, lima menit kemudian Pak Karso sudah memasuki kelas dengan membawa setumpuk buku mata pelajaran Biologi serta kacamata yang menghiasi wajah beliau.

Kedatangan guru Biologi itu membuat kelas yang tadinya sejuk kini mendadak menjadi panas. Banyak siswa-siswi yang mengeluh karena merasa bosan dengan teknik mengajar oleh guru biologi tersebut. Tapi mau tidak mau mereka harus memaksakan agar mendapatkan nilai yang memuaskan.

"A-anindhita Sher—" Seperti yang di duga Anin sebelumnya, guru berusia lebih dari setengah abad itu pasti kesusahan dalam menyebutkan namanya.

"Anin aja, Pak." Pak Karso mengangguk kemudian melanjutkan mengabsen setiap anak kelas X MIPA 1.

"YES!" Seluruh kelas X MIPA 1 dengan kompak mengatakan satu kata itu setelah mendengarkan suara bel istirahat kedua berbunyi. Setelah berkutik dengan mata pelajaran Biologi dua jam lamanya, akhirnya mereka terbebas dari itu semua.

Pak Karso langsung mengucapkan salam mengakhiri kelasnya pada siang hari ini sebelum benar-benar keluar dari ruang ini. Siswa-siswi kelas ini langsung berhamburan keluar kelas untuk bergegas menuju kantin yang agar mendapatkan tempat duduk.

Walaupun area kantin yang luas tapi hal itu tidak mampu menampung semua jumlah murid yang ada di SMA Mandala.

"Kantin, kuy," ajak Nana langsung menarik pergelangan tangan temannya itu agar cepat bergegas ke kantin. "Jangan main hape mulu, nanti keburu gak dapet tempat."

Anin memasukan ponsel pada saku roknya. "Tenang aja, gue udah booking satu meja untuk kita mukbang seblaknya teteh."

"Halah, booking-booking, gaya bener lo."

Di tengah teriknya matahari yang mulai merayap, suara pedagang dan anak-anak sekolah yang riuh menciptakan melodi khas, bersama aroma masakan.

Kedua gadis itu mulai memasuki area kantin sembari merangkul satu sama lain jalan beriringan menuju stand seblak milik wanita berdarah Sunda itu.

"Teteh," sapa Anin berdiri di depan Teh Anggun yang dihalangi oleh pembatasan kaca.

"Eh, ada neng geulis. Seblaknya mau berapa?" tanya Teh Anggun yang sudah akrab dengan Anin.

Anin mengulas senyum tipis lalu berkata, "Mau 2 Teh, punya Anin level 5, ya."

"Kamu mau level berapa neng?" tanya Teh Anggun ke arah Nana.

"Samain aja, Teh kaya Anin."

"Minumnya kaya biasa, ya, Teh." Anin berucap kemudian Teh Anggun langsung memberikan dua jempol lalu membuat pesanan dari kedua gadis itu.

Sambil menunggu pesanan mereka selesai, keduanya langsung menduduki meja yang tepat berada di depan stand seblak itu. Di tengah-tengah suara riuh itu Anin juga tidak kalah heboh menceritakan kejadian saat kakak kelasnya melabraknya.

"Jadi ini alasan lo di UKS dan muka lo merah?" tanya Nana dibalas oleh anggukan.

Teh Anggun berjalan ke arah mereka dengan membawa nampan berisi pesanan kedua gadis itu. Tidak lupa Anin dan Nana mmengucapkan terima kasih.

Unspoken Traces (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang