Bagian 1

36 6 1
                                    

Deo berjalan dalam diam, membiarkan seorang pemuda dengan penampilan urakan mengikuti di belakangnya. Situasi ini bukan yang pertama kali. Ini sudah yang kesekian kalinya. Sampai-sampai Deo merasa situasi ini memang sudah seharusnya terjadi. Terbiasa.

Senyum tipis muncul di bibirnya ketika Deo berbalik dan melihat pemuda itu juga ikutan berbalik. Merasa lucu Deo berbalik lagi dan melanjutkan jalannya tapi kemudian berbalik lagi dan melihat pemuda itu yang masih mengikuti tingkahnya. Tawanya terdengar membuat pemuda itu langsung berbalik.

Keduanya saling memandang. Deo menutup mulutnya yang masih mengeluarkan tawa. Pemuda itu menarik sudut bibirnya. Pemandangan di hadapannya ini benar-benar memanjakan mata.

"Jelek," ucapnya.

Deo merengut. Tangannya berpindah posisi menjadi berkacak pinggang. Menatap dengan marah. Pipinya mengembung. "Kamu yang jelak! Kayak monyet!"

"Jelek."

"Ih! Nakal banget sih jadi orang! Aku nggak jelak, kamu yang jelek! Jeleknya kayak monyet di hutan!"

Pemuda itu semakin menarik sudut bibirnya. Deo yang melihat langsung merasa bersalah karena ucapannya baru saja berisikan hoaks.

"Maaf~ aku nggak jadi bilang kamu jelek. Tapi kamu jangan bilang aku jelek ya? Aku kan nggak jelek."

"Jelek."

"IH MONYET JELEK!"

Pemuda itu sontak saja tertawa. Ada sedikit rona merah di sekitar matanya. Deo mengulum bibirnya ke dalam, menyaksikan pemuda itu tertawa. Menurutnya tawa pemuda itu enak didengar.

Masih dengan sisa-sisa tawa, pemuda itu menawarkan sesutau kepada Deo. "Es krim?"

Deo memiringkan kepalanya, tatapannya penuh pertimbangan. Papanya melarangnya menerima sesuatu dari orang asing. Seolah mengerti, pemuda itu mengulurkan tangannya.

"Namaku Damian Jetro. Panggil Sayang."

Mata Deo melotot, kemudian tawanya terdengar dengan nyaring. "Sayang~ gitu?"

Jetro tidak membalas tapi wajahnya penuh dengan senyuman. "Iya, Sayang."

"Ih geli! Aku nggak mau manggil sayang."

"Jadi kamu mau manggil aku apa?"

"Hm ... Dami?"

"Iya, Roya."

Deo bertepuk tangan karena antusias. "Boleh, boleh! Belum ada yang manggil aku Roya!"

Tangan Jetro terulur mengusak rambut Deo yang membuat si empunya rambut tertegun. Tidak ada yang pernah menyentuh rambutnya dengan lembut seperti Jetro. Biasanya Papanya melakukan kebalikannya.

Deo menatap Jetro dengan linglung.

"Manis banget Roya ini."

"Aku ganteng," bisik Deo pelan. Dia masih sedikit bingung dengan perasaannya barusan.

"Iya, Roya ganteng."

Melihat senyum teduh Jetro entah kenapa membuat mata Deo panas dan berkaca-kaca. Jetro panik. Dengan spontan dia menarik tubuh Deo ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap rambut bagian belakang Deo dengan pelan, sembari bertanya dengan hati-hati

"Kenapa? Aku ada salah bicara?"

Deo mengangguk pelan. "Kamu bohong."

"Bohong?"

"Tadi kamu bilang aku jelek, terus bilang manis, sekarang bilang ganteng. Bohong kamu banyak!"

Jetro yang sedari tadi tanpa sadar menahan napas, kini langsung bernapas dengan lega. Kemudian dia terkekeh. Karena gemas, dia menarik hidung Deo sampai merah.

"Sakit ih! Jelek!"

"Kamu bohong ya?"

"Nggak~ aku mana pernah bohong."

"Ini jelas-jelas bohong, bilang aku jelek padahal aku kan tampan."

Deo menggeram kesal. Tangannya terulur menabok dada Jetro yang mudah terjangkau. Karena jika ingin menabok kepala Jetro dirinya harus melompat!

Jetro berpura-pura kesakitan, sampai-sampai tergeletak di jalan raya. Untung saja sedang sepi. Deo mengikuti drama Jetro. Mulutnya terbuka lebar, menampilkan raut wajah panik. Dia segera berlutut di samping tubuh Jetro.

Tangan Deo mengguncang tubuh Jetro. Matanya berair. "Dami! Hum .... bangun, jangan tinggalin aku~"

Jetro tetap menutup matanya meskipun dia ingin sekali tertawa karena tingkah Deo. Tapi keinginan tawanya diganti menjadi panik karena tiba-tiba ada seorang pria paruh baya terlihat menghampiri mereka dengan nada suara panik.

"Ini kenapa? Ini kenapa? Bawa ke rumah sakit, ayo saya antar pakai mobil saya."

Jetro langsung bangun dan berdiri di sisi Deo yang juga sudah bangun dari posisinya. Keduanya menampilkan raut wajah bersalah yang membuat Pria paruh baya itu mengernyitkan dahi.

"Terima kasih, Pak, tapi maaf kami hanya sedang bercanda."

Pria paruh baya itu menghembuskan napas panjang. Tangannya berkacak pinggang. Memarahi keduanya dengan nada dibuat-buat yang membuat Jetro dan Deo menahan tawa. Setelah Pria paruh baya itu pergi, keduanya kompak tertawa.

"Jahil banget kamu ih!"

"Kamu juga jahil," balas Jetro sembari menyolek sedikit hidung Deo.

"Kamu lebih jahil!"

Berakhir keduanya saling mengejar karena tidak ada yang ingin mengalah.


Ingatan itu terulang kembali di pikiran Deo. Ingatan indah itu harus dia ingat dengan air di mata.

"Kenapa menangis? Masih memikirkannya?"

Sontak saja Deo mengusap wajahnya yang basah. Setelah yakin tidak ada lagi jejak tangisan, dia mendongak, menatap ke arah suaminya kemudian menggeleng.

Fabio menampilkan raut wajah datar. Dia merasa kesal di dalam hatinya. Setelah berhasil menikahi Deo kenapa Deo masih tetap memikirkan Jetro?!

Dengan marah, Fabio memaksa Deo berbaring di temoat tidur dan mulai dengan kasar membuka pakaian Deo. Deo memberontak. Air matanya keluar tanpa bisa dicegah. Fabio membuatnya takut.

"Kamu memberontak?!"

Deo tersentak. Dia segera mengulum bibirnya dan menutup mata. Tubuhnya tegang karena mencoba pasrah membiarkab Fabio melakukan apa pun pada tubuhnya. Sekali pun Fabio melukainya, dia tidak punya pilihan.

"Dami ... aku takut ...."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WATER IN THE EYESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang