44. Masa Lalu

55 5 0
                                    

Akhirnya, aku bisa lanjut lebih cepet dari biasanya.

Selamat membaca‼️jangan lupa supportnya buat cerita ini. Tinggal like dan komen aja yang banyak. Gratis kok.

Makasih ❤❤❤




••••



Dania sedikit canggung duduk berdekatan dengan Saguna seperti sekarang. Namun, satu sisi ia juga sangat bahagia. Walau sekarang hubungannya harus sembunyi-sembunyi dulu.

"Apa cara penyelesaian kamu buat lepas dari Rigo?" pertanyaan itu terlontar dari Saguna tanpa menatap Dania.

Dania spontan menoleh, lalu menggelengkan kepala. "Belum tau."

"Masih ingat tempat kejadian itu?" kini Saguna menatap Dania.

"Inget, tapi dulu pernah diselidiki polisi. Di sana nggak ada sama sekali CCTV. Itu yang membuat gue nggak punya bukti buat ngebela diri. Rigo yang juga ada di situ bersaksi kalau gue yang mendorong Andin." Dania menghela napas dan menatap lurus ke depan, "Rigo nggak mau terlibat dan dia membuat kesaksian palsu."

Saguna membenarkan posisi duduknya. Ia menegakkan punggung dan menghadap ke Dania.

"Coba cerita kenapa Andin bisa meninggal?"

Dania menelan air liur dengan susah payah. Tenggorokannya seketika menyempit ditatap serius seperti itu oleh Saguna. Gadis itu memerhatikan sekeliling taman. Anak-anak yang bermain serta orang-orang berlalu-lalang tidak ada yang peduli dengan kehadiran mereka di situ.

Spontan Dania ikut membenarkan posisi duduknya, "Jadi..."

Seketika ingatan Dania berkelana ke enam bulan yang lalu. Dimana peristiwa tragis itu terjadi.

"Andin itu temen satu ekstrakurikuler gue, dulu. Kami nggak sekelas. Sering ketemu karena satu ekskul aja. Andin anaknya super ambisius. Kegiatan apa pun yang ada di Paskibraka pasti dia ikutan. Tibalah pada seleksi anggota Paskibraka yang akan diutus ke Istana Presiden untuk menjadi petugas memperingati 17 Agustus. Ketika itu gue ikut seleksi karena disarankan oleh kakak pembina. Singkat cerita, gue lulus dengan 4 peserta lainnya termasuk Andin."

"Terus?"

Dania menatap Saguna dengan mata yang mulai berkaca-kaca, "Ada kabar burung yang bilang kalau gue serta Kak Fajar yang akan pergi ke istana. Hasil seleksi pun keluar. Bener aja, gue lulus bersama Kak Fajar. Sedangkan poin yang Andin dapet hanya selisih lima angka dari gue. Andin nggak terima sama kekalahannya. Ia menyalahkan gue karena harusnya gue nggak ikut seleksi itu."

Saguna menepuk-nepuk pelan bahu Dania saat gadis itu menundukkan kepala dan air mata satu-persatu jatuh membasahi celana jeans-nya.

"Gue harusnya memang nggak ikut seleksi itu. Dari awal gue memang nggak mau, tapi Kakak pembina mengubah cara pandang gue. Gue pikir ini kesempatan untuk menambah pengalaman." Dania bercerita dengan suara bergetar, "Andin menyalahkan gue terus-terusan. Dua hari sebelum berangkat ke Jakarta, Andin mengirim pesan dan sand location juga. Gue datang ke gedung terlantar yang Andin perintahkan. Gue udah merasa nggak enak. Maka itu minta antar Rigo. Ternyata Andin memaki-maki gue. Dia bilang juga lebih baik gue mati karena udah ngerebut impian dia. Kami bertengkar di sana. Rigo nggak bantu sama sekali. Dia malah pergi hingga gue yang bermaksud membela diri menyebabkan Andin terjun bebas dari lantai tiga."

Saguna memberikan sapu tangan miliknya. Dania menerima itu dan lantas menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Itu bukan salahmu. Kamu juga korban di sini." Dania mengangkat wajah yang matanya menyisakan sedikit air, "Apa pesan dari Andin masih ada?"

Senyum dari SagunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang