CEKIKAN di lehernya masih terasa sakit. Napasnya tercekik, wajahnya kini memerah. saling memberikan tatapan tajam kepada satu sama lain, saling membenci tindakan satu sama lain. Maria mencengkeram keras pergelangan Antonio dengan menusukkan juga kukunya ke kulit Antonio.
Antonio meringis kesakitas, darah ikut menetes dari pergelangannya. Cengkeraman di leher Maria terlepas, itu adalah kesempatannya untuk menumbangkan Antonio. Maria menghajar wajah Antonio dan menjambak surainya. Tangannya yang menjambak surai Antonio kini menabrakkan wajah Antonio pada dinding.
"Kau memang dapat dibilang bahwa kau ayah tiriku saat dahulu. Namun, aku telah bertemu semua keluargaku. Ayah, ibu, kembaran, bahkan selingkuhan ayahku. Dan kau tahu, semua berjalan sangat berantakan."
Antonio yang sebelumnya terbaring kini mencoba bangkit. "Keluarga? apa mereka benar-benar keluargamu setelah ibumu membuangmu hingga kita bertemu? Dan kau sudah menghancurkan Rumah 413! Ada anak yang tumbuh sempurna seperti dirimu, tetapi ia mati akibat ledakan konyol yang kau lakukan. Namun, sebanyak apa pun upayamu untuk menghancurkan Rumah 413, panti tersebut akan terus aku bangun."
Wajah Maria dihajar dengan keras, tubuhnya sedikit terpental. "Dan kau! Kau adalah projek paling sempurnaku! Apa kau tahu, bahwa aku dan Vincent melakukan kerja sama?! Dia akan mengembalikanmu saat kau berumur tujuh belas! Lalu lihatlah, kau bahkan merusak kerja samaku dengannya."
Antonio menarik kerah gaun Maria. "Aku sudah mendirikan panti bahkan tiga tahun sebelum kau lahir! Kehadiranmu memang membawa pengaruh baik kala itu, tetapi tidak dengan tindakan konyolmu itu."
"Ambisimu memang kuat, tetapi kau juga terlalu ambisius. Ada kalanya kau perlu memikirkan apa yang kau lakukan."
"Lalu bagaimana denganmu?! Apa kau juga memikirkan tindakan yang kau lakukan, hah?!" bentak Antonio. Napasnya tersengal-sengal, sudut bibirnya terangkat. "Kau tidak jauh seperti anak kandungku. Dibesarkan menjadi sempurna, tetapi selalu memberontak."
Maria memiringkan kepalanya. "Wah ... tidak dapat dibayangkan betapa menyedihkannya kehidupan anakmu yang dibesarkan oleh dirimu." Maria mendekat, menjambak surai Antonio. "Sudahi main-main seperti ini. Mari tentukan saja, siapa yang akan bertahan hidup pada dunia tak bermakna ini. Mari bertarung tanpa kenal lelah, sama seperti dahulu kau memaksaku untuk menjadi sempurna. Mari kita biarkan salah satu dari kita mati tak bermoral."
Antonio terkekeh kecil. "Sungguh? Kau menyuruhku melawanmu? Baiklah, tetapi—Marielle, pada surga atau neraka, atau bahkan di kehidupan selanjutnya, akan kupastikan kau berada di genggamanku menjadi yang paling sempurna."
"Tentukan kalimat terakhirmu, ini adalah waktu terakhirmu." Tangan Maria masuk ke dalam saku gaunnya. "Karena aku dan kau, kita dan manusia di muka bumi, hanya lahir untuk kembali mati."
Antonio tertawa terbahak-bahak. Namun, Maria mengambil kesempatan tersebut. Ia mengeluarkan pisau lipat, lalu mencoba menusuk kepala Antonio. Naas, Antonio jauh lebih cepat. Antonio menghajar dagu Maria dan mencoba berdiri tegak. Maria terbaring dengan mulut yang mengeluarkan darah, tangannya mencengkeram kuat pisau lipatnya.
Antonio menodongkan revolver. "Akan aku pastikan sekali lagi, pada surga dan neraka, aku akan terus mengejarmu tiada henti."
Pelatuk ditarik.
Maria menggeser tubuhnya, peluru mendarat ke tanah. Maria menghajar selangkangan Antonio hingga Antonio terjatuh. Revolver miliknya terlempar, Maria menangkapnya dan kembali menghajar Antonio hingga terbaring tak berdaya.
Maria duduk di atas tubuh Antonio, menodongkan ujung pisau pada leher Antonio dan revolver pada keningnya. "Mengapa kau menjadi lemah seperti ini, Tuan Antonio Zivkovie?"
Antonio berdecak kesal, tangannya menjambak surai Maria hingga kepalanya mendongak ke belakang. Antonio merebut pisau tersebut, kini mereka bertukaran senjata. Maria yang menyadarinya kini menarik pelatuk. Entah nasib buuk apa yang menimpanya, peluru revolver sudah habis.
"Keparat," gumam Maria dan membuang revolver tersebut sembarang arah. Antonio berlari ke arahnya, pisau tersebut mengarah pada perut Maria. Saat jarak mereka menipis, Maria menggeser tubuhnya dengan cepat dan telapak tangannya diarahkan pada pisau tersebut. Pisau menembus telapak tangannya, darah segar mengalir deras.
"Kau tidak lagi takut untuk terluka, ya?" Antonio menarik paksa pisau tersebut hingga tak lagi menusuk telapak tangan Maria. Ia hendak kembali menusuk pisau tersebut ke arah Maria.
Saat tangan Antonio yang mencengkeram pisau sudah semakin dekat dengannya, Maria mencengkeram pergelangan Antonio. Ujung pisau yang semula mengarah padanya, kini Maria memutar tangan Antonio hingga ujung pisau mengarah pada wajah Antonio. Maria mendorongnya, dan darah segar mengalir di wajah Antonio.
Bola matanya tertusuk pisau, tubuh Antonio melemas. "Sudah kubilang, tentukan kalimat terakhirmu." Maria menarik paksa pisau tersebut dan menusuk leher Antonio. Tubuh Antonio terbaring bersimbah darah, dan Maria belum puas dengan tindakannya. Ia menusuk berkali-kali wajah Antonio hingga tak berbentuk. Melampiaskan segala amarahnya, melampiaskan segala dosanya hingga membentuk dosa yang baru.
"Pada surga dan neraka, bahkan di dunia pun kau mati tak bermoral."
***
Tubuhnya masih bersimbah darah, penampilannya berantakan, bahkan tangannya yang bolong akibat tusukan hanya diberi kain agar darah tidak terus mengalir. Tubuhnya duduk di atas kursi nyaman dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, energinya terbuang sangat banyak saat mencoba membawa satu jasad ke Heimvo.
"Aku seperti mengenal manusia yang kau bawa," ujar Lucius yang sedang melihat satu jasad manusia di atas meja. Seorang pria dengan pakaian seperti dokter seperti sedang membedah tubuh manusia tersebut. "Mirip seperti Antonio."
Maria hanya diam, ia sendiri melepas semua pakaian Antonio agar identitas Antonio tidak diketahui. "Sudahlah, jadi berapa bayaran yang aku dapatkan?" Maria melirik Lucius.
"Cukup banyak, tetapi belum aku tentukan." Lucius mendekati mayat Antonio. "Jika ini benar-benar Antonio, aku tidak begitu keberatan, sih. Tubuhnya sendiri pasti akan terjual dengan nominal besar dibanding anak-anak yang ia bawa."
Lucius berjalan ke mejanya, ia duduk dikursinya dan berkutik pada uang yang bertumpuk sangat banyak. Maria melihat gerak-geriknya, enggan menatap ke arah mayatt Antonio yang sedang dibedah. Rasanya seperti ingin muntah setiap kali ia mencoba melihatnya.
"Ambil." Lucius menyodorkan tumpukan uang yang sangat banyak di mejanya. "Ini bayarannya. Kurang dari dua miliyar. Jangan mengeluh, kau membawanya dengan kondisi yang sudah menyedihkan."
Netra Maria berbinar, ia melihat ke arah tumpukan uang tersebut. Ia berdiri dari duduknya dan menghitung uangnya. Ini benar-benar di luar dugaannya, hanya dengan memberikan satu manusia dapat menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Bagaimana jika aku gunakan Heimvo sebagai sumber uang? Atau justru mengambil alih, ya? Ide bagus.
"Tuan, aku ingin bertanya. Apakah jual beli di Heimvo laku keras? Apakah ada pelanggan yang lokasinya jauh hingga pemesanan menjadi rumit?"
Lucius mengangguk. "Banyak, bahkan beberapa penjualan harus dihentikan perihal pengiriman barang. Jika memberikannya secara langsung dengan pergi ke lokasinya pun, pasti memakan waktu beberapa hari. Mereka itu tidak sabar, jika datang dengan jangka waktu yang lama, mereka akan berakhir tidak membayarnya."
Maria duduk di atas meja, menatap Lucius dengan tersenyum manis. "Begitu, ya ... susah sekali. Lantas, jika aku menawarkan sesuatu, apakah Tuan akan menyetujuinya?"
"Tawaran apa?"
Maria semakin melebarkan senyumannya, memberikan raut wajah yang menarik. "Aku akan memberikan Heimvo sebuah kapal sebagai alat pengiriman kalian. Namun, dengan pemberianku itu, aku ingin sebuah imbalan."
"Imbalan?"
Maria mengangguk. "Benar. Aku ingin menjadi asistenmu, dan ikut menguasai Heimvo. Bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐂𝐡𝐫𝐨𝐧𝐢𝐜𝐥𝐞 𝐨𝐟 𝐍𝐚𝐦𝐞𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐆𝐢𝐫𝐥 (END)
Ficção Histórica{Prequel The Chronicles About Us} Terbaring lemah, tak menjadi milik siapa pun. Kota bagaikan neraka bersama manusia dengan kasta tinggi bagaikan pendosa besar. Kemiskinan dan ketidakadilan sosial membuatnya menjadi korban dari semua nasib buruk yan...