18 🌻

9 5 4
                                    

Hari Senin, berbeda dari Senin minggu lalu, sekarang para siswa sangat bersemangat. Sekarang adalah hari ulang tahun sekolah. Kegiatan ini akan diadakan selama lima hari mulai dari hari Senin hingga hari Jum'at. Linn merasa bahagia bisa terbebas dari matematika selama satu minggu ini.

Tapi Linn juga sedikit panik, karena dia ikut lomba melukis. Sedangkan, di sampingnya ada Ralu yang tetap santai karena penampilannya ada di hari terakhir.

Setelah mereka berkumpul di lapangan outdoor untuk pembukaan acara, tepat pada jam setengah delapan Linn harus berkumpul disalah satu ruangan khusus lomba melukis itu.

"Semangat," ucap Ralu menyemangati.

Linn mengepalkan tangannya, menerima ucapan semangat dari Ralu. Linn mulai berjalan menjauhi Ralu. Sesampainya di ruangan itu, pandangannya menuju seorang gadis dengan rambut hitam.

"Milli!" sapa Linn sambil mendekat ke arah gadis itu.

"Kamu juga ikut lomba? Wah, minggu ini kita musuhan dulu," gurau Milli sambil tersenyum.

"Wah, semoga beruntung musuh," jawab Linn dengan bercanda.

Mereka saling bertatapan dan tertawa bersama. Linn mencari tempatnya, dia menaruh peralatannya dan bersiap.

Hingga beberapa menit kemudian, lomba itu dimulai. Banyak siswa yang mengikuti lomba melukis, Linn tidak yakin bisa menang.

Di sisi lain ....

Ralu bosan berada dikeramaian, sekarang dia berada di pinggir lapangan bola basket. Lomba bola basket dimulai sejak satu jam yang lalu. Benar-benar ramai, Ralu juga tidak memiliki teman untuk menemaninya.

Jika bertemu dengan Ola, Ola akan sibuk dengan ekskulnya. Kalau dengan Noe, Ralu tidak terlalu dekat, bahkan tidak dekat sama sekali. Jika menemui Zev, pasti Zev sangat sibuk karena dia pergi mengelilingi sekolah untuk promosi. Lagi pula, sejak kapan dia dan Zev dekat. Teman ekskulnya juga sudah pergi entah kemana, benar-benar sendiri di tengah keramaian.

Dengan bosan, Ralu melangkahkan kakinya pergi dari pinggir lapangan menuju kafe kucing yang diselenggarakan oleh ekskul memasak dengan kolaborasi ekskul kewirausahaan.

Ralu tidak benci kucing, tapi benci dengan cakaran maut kucing. Saat kecil, Ralu pernah tak sengaja tercakar kucing saat dia berusaha mendekati kucing yang sedang kesakitan. Alhasil, Ralu menjauh dari kucing itu dan membiarkan kucing itu kesakitan.

Dia berdiri di depan pintu masuk tempat itu, dengan melihat dari kaca pintu disana Ralu dapat menyimpulkan bahwa di dalam sana juga banyak siswa.

Ralu memutuskan masuk ke dalam sana, karena dirinya juga lapar. Saat membuka pintu, siswa-siswa di sana lumayan diam, karena sudah ada peraturan dilarang berbicara telalu ramai. Terdengar suara kucing-kucing di sana.

Ralu duduk di salah satu kursi dan melihat menu yang berada di meja. Setelah selesai memilih menu, seorang siswa yang bertugas menjadi pelayan datang dan mencatat pesanan Ralu.

Seekor kucing berbulu oranye yang cukup besar datang dan duduk di atas pangkuan Ralu. Ralu cukup kaget dengan hal itu.

Seperti kucing lainnya, sebuah kalung dengan tulisan menghiasi leher kucing itu. Gendut, nama yang tertulis di kalung kucing itu.

Ini nama kucing aneh bener, batin Ralu setelah membaca nama kucing itu.

Dengan ragu, Ralu perlahan mengelus kucing itu dengan pelan. Kucing itu merasa nyaman dengan perlakuan Ralu.

Sedangkan sang pemilik kucing tengah sibuk melayani pelanggan. Setelah Zev mempromosikan kafe kucing mereka, dia langsung ikut membantu mengantar makanan.

"Zev, noh anter sana," ucap seorang perempuan yang menyerahkan nampan beserta pesanan seseorang.

"Baru juga istirahat," keluh Zev, dia berjalan mengantar pesanan itu.

Meja nomor dua, meja yang ditempati oleh Ralu. Zev mengantar pesanan gadis itu.

Ralu mengalihkan pandangannya dari kucing oranye itu pada seseorang yang mendekat ke arah mejanya.

Ralu menatap orang itu yang tak lain adalah Zev. Zev terlihat lelah karena tatapannya, sedari tadi dia sudah mengelilingi sekolah beberapa kali.

Mirip gembel, batin Ralu setelah melihat penampilan Zev.

Berbeda dengan pikiran Ralu, Zev berpikir Ralu terpesona dengan wajah tampannya itu. Zev menaruh pesanan Ralu pada meja itu dan tersenyum.

"Gausah natap aku, aku emang ganteng kok," ucap Zev dengan percaya diri.

"Dih. Pergi sana, bau," jawab Ralu sambil menatap sinis Zev.

Sepertinya Zev baru sadar dengan kesalah pahamannya itu, dia menggaruk kepalanya yang tak gatal dan melangkah cepat pergi dari sana.

Zev menutup pintu itu agar kucing-kucing tidak keluar. Rasanya wajah Zev sedikit memerah mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Zev tersadar oleh suatu hal, dia membalikkan badannya dan melihat kucingnya tengah berada di pangkuan Ralu.

"Sejak kapan kucing itu jadi suka caper," ucap Zev dengan suara kecil.

Zev sudah bersama kucing itu dari lama dan memahami sifat kucingnya itu. Gendut, kucing itu tidak suka dengan orang asing, kecuali dia merasa tertarik. Namun, kucing itu selalu tertarik pada perempuan, dasar kucing.

Di sisi Ralu, dia menatap makanan yang dia pesan dengan berbinar. Sepiring waffle dengan saus cokelat dan es krim vanila di atasnya. Lalu di sebelah kanan waffle tersebut, terdapat puding susu berwarna putih dengan bentuk kucing. Ralu juga memesan milkshake rasa matcha yang terlihat enak.

Ralu menikmati makanannya sambil mengelus kucing oranye yang berada di pangkuannya. Kucing itu merasa nyaman dan tertidur di pangkuan Ralu.

Setelah beberapa menit, Ralu selesai menghabiskan makanannya. Sekarang,  Ralu bingung untuk memindahkan kucing itu dari pangkuannya.

Lukisan Linn sudah selesai sekitar tujuh puluh lima persen. Rasanya punggung Linn sangat sakit. Linn tidak sengaja melihat karya milik Milli yang terlihat bagus, membuat Linn tidak percaya dengan karya miliknya.

Bisa pasti bisa, batin Linn memberi semangat pada dirinya sendiri.

Jam telah menunjukkan pada pukul 11.00, Linn dan peserta lainnya keluar dari ruangan itu. Lukisan mereka akan dilanjutkan besok pada jam 08.00. Besok adalah hari terakhir pengerjaan, ruangan itu sudah dijaga agar tidak ada kerusakan, pencurian ataupun kecurangan, Linn tidak perlu khawatir pada lukisannya.

Linn tidak menemukan Ralu, dia melangkah menuju lantai  tiga yang merupakan rooftop. Dia tidak menemukan Ralu disana.

"Anu, permisi."

Linn membalikkan badannya ke belakang dan melihat seorang perempuan dengan kacamata dan mata sedikit memerah.

"Iya?" tanya Linn.

Linn menatap kasihan pada perempuan itu, dia bisa menebak dia adalah korban perundungan. Dengan wajah yang terlihat bekas tamparan, rambut yang sedikit berantakan, tangan yang terlihat bergetar, dan bercak kemerahan pasa sudut bibirnya.

"Kamu, Linn Amaretha?" tanya gadis itu dengan kepala yang menunduk.

"Itu aku ..., kenapa?" jawab Linn dan dilanjutkan dengan pertanyaan.

Gadis itu mendekat ke arah Linn, Linn merasakan bahaya yang akan datang kearahnya. Linn mundur perlahan, badan Linn menatap pembatas di pinggir rooftop.

"Katanya, jika kamu pergi dari sini, aku bakal dapat hak punyaku yang telah mereka rebut," ucap gadis itu sambil mengangkat kepalanya perlahan dan menatap lekat Linn.

『Informasi gak penting

- Zev sering mendapat sindiran dari guru
- Ola memiliki bakat dalam menjahit』

Suka dengan ceritanya? Vote cerita ini!

Ya semoga Linn aman sentosa(^-^)

EDELSTENEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang