Di sebuah kamar pada siang hari yang cerah, cahaya matahari menyelinap lewat tirai yang setengah tertutup, menciptakan bayangan yang menari di sekitar ruangan. Udara terasa sangat segar, dengan aroma harum perpaduan dengan hembusan membuat dari AC mengalir halus menciptakan perasaan nyaman di udara.
Di tengah kamar, terdapat sebuah tempat tidur yang nyaman, di atasnya terbaring seorang gadis dengan damai. Wajahnya masih tertutup oleh selimut yang hangat. Suasana tenang dan damai serta suara lembut dari AC menjadi latar belakang yang menenangkan.
Namun, ketenangan hanya sampai di situ saja sebelum suara seorang Ibu meneriaki nama anaknya.
Mendengar teriakan sang ibu memanggil namanya, gadis itu memutuskan untuk bangun dari tidurnya. Dengan gerakan yang lembut, menggeliat dan membuka matanya secara perlahan. Rambutnya yang sedikit berantakan menambah pesona alaminya.
Anin mengenakan piyama yang nyaman dan berjalan dengan langkah malas keluar dari kamarnya. Wajahnya masih sedikit terlelap, tetapi senyumnya mengembang ketika dia melihat anggota keluarga lainnya berada di meja makan terkecuali ayah.
Melihat arah jarum jam yang sudah menunjukan pukul setengah sembilan lantas ia mengangguk karena jam seperti ini pastinya kepala keluarga itu sudah berangkat kerja sejak pukul tujuh pagi.
Ia mulai bergabung dengan kedua kakaknya di meja makan. Yunita melihat kedatangan putri bungsunya lantas tersenyum kemudian memberikan segelas susu putih kepadanya.
"Sugeng enjing, ndoro putri sampun tangi," sapa wanita itu dengan nada sangat lembut dan senyum khas menghiasi wajahnya.
Mendengar sapaan itu membuat si kembar terkekeh dengan ucapan sapaan yang lebih dominan dengan sarkasme. Anin pun hanya mengembangkan senyum kemudian meneguk segelas susu putih hingga tersisa setengah.
"Gak usah ketawa-ketawa, habis sarapan kalian mandi bersih-bersih kamar. Jangan lupa tolong sirami tanaman Ibu," ujar Yunita yang sedang mencuci piring dengan sesekali melirik ketiga anaknya.
"Yah, padahal Izaz mau tidur-tiduran aja," keluh Izaz sambil menghela napas.
Pagi-pagi sekitar pukul enam pagi, siswa-siswi tiba-tiba di sambut pengumuman dari group kelas yang menjelaskan tentang libur pada hari Kamis ini. Mendengar kabar ini seluruh siswa-siswi menyambutnya dengan antusiasme memberikan mereka ruang untuk bersantai dan melepaskan sedikit tekanan dari rutinitas harian mereka.
"Jangan malas-malasan. Dari pada libur gak ngapa-ngapain, mendingan bantu Ibu," ujar Yunita yang mau tidak mau mereka semua harus menurutinya.
Sepertinya apa yang diucapkan oleh seorang ibu, setelah sarapan selesai mereka langsung menuju kamar masing-masing untuk membersihkan diri dan kamar. Kemudian ketiga saudara itu melangkah beriringan menuju taman yang terdapat beberapa macam bunga milik ibunya.
Anin dengan senyum cerah di wajahnya, mengambil selang air dari keran di taman belakang. Shindu dan Izaz menyapu pada bagian yang terdapat daun-daun kering. Dengan hati-hati, ia menyirami bunga-bunga yang berwarna-warni dengan gerakan lembut, memperhatikan setiap tanaman dengan penuh perhatian
Di sela-sela mengerjakan pekerjaan masing-masing tidak jarang mereka akan mengobrol untuk menghilangkan keheningan serta kecanggungan.
"Orang yang kemarin gangguin lo mau minta maaf, " ujar Shindu memberi tahu.
"Terus?" Mendengar itu Anin langsung mengecilkan keran air sambil melihat ke arah kakak tertua.
"Ya mau minta maaf lah, ege!" seru Izaz melempar kerikil kecil hingga terkena sandal yang dipakai adiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Traces (COMPLETED)
Teen FictionMenceritakan tentang sebuah keluarga Baskara dan Yunita yang memiliki tiga orang anak. Dua anak kembar laki-laki dan satu anak perempuan. Si kembar Shindu, Izaz, dan Anin sebagai anak bungsu. Keluarga yang harmonis bahkan tidak menjamin adanya konf...