Membosankan.
Hampir setengah hari berjalan, Nio sama sekali tak menemukan sesuatu atau kalau bisa, seseorang yang cukup menarik untuk ditantang. Sehari tanpa baku hantam bagi Nio tak lebih dari sayur asem tanpa belimbing wuluh. Tidak ada cita rasa asam sesuai dengan tajuknya.
Angga sama sekali tak menghiburnya, malah dia lebih tak menarik seperti kelihatannya. Secara visual mungkin tampak lebih menonjol dari populasi yang baru-baru ini berpapasan dengannya. Tapi, jika ditinjau dari kegiatan, dia mungkin bisa menghabiskan seluruh waktunya di sekolah hanya untuk berkencan dengan buku-buku tebalnya.
“Di sini soal peraturan kayaknya strict banget sampai ngegosip soal sekolah lain aja nggak dibolehin,” tutur Nio datar sembari menghela napasnya berat. “Kalau begini apa bedanya sama di asrama, coba?”
Sembari mengunyah setiap biji kuaci, Nio pandang matanya lurus ke depan. Duduk di salah satu dahan pohon tua yang rimbun akan dedaunan ternyata tak buruk juga. Ia bisa lihat banyak orang berlalu-lalang dari atas sini. Rata-rata terlihat seperti tengah mengobrolkan sesuatu yang seru, padahal sependengaran Nio mereka tak lebih dari berbasa-basi semata.
“Sky?”
Merasa terpanggil, Nio turunkan atensinya ke bawah. Dimana ada Angga yang berdiri tak jauh dari pohon yang dinaikinya tadi. Obsidian pemuda itu menyorot heran menggunakan kedua alis yang bertaut. “Ngapain nangkring di situ? Asal tahu aja, tuh pohon udah punya penunggu asli sejak lama. Mending lo turun sekarang daripada kenapa-napa.”
Nio tak merespon. Ia tatap lekat-lekat akan figur Angga yang berdiri tegap dibawahnya. Sorotnya seakan mengintimidasi dengan air muka dingin sebagai pelengkap.
“Gue bener-bener ngerasa buntu di sini. Kayak lagi berada di penjara. Nih sekolah payah banget. Nggak ada indikasi ancaman sama sekali. Semua orang di tempat ini ternyata satu tipe sama lo, ngebosenin dan kurang menarik dalam aspek menjalani hidup. Sekarang better lo kasih tahu gue jalan kaburnya di mana, biar gue pergi nyari mangsa sendiri daripada berdebu nungguin lawan nyerahin diri.”
Angga justru masih hanya berdiam diri di sana. Netra terbingkai kacamata bulat itu fokus memandangi gerak-gerik pemuda yang sebelumnya berbicara kepadanya dengan nada seperti orang habis mengonsumsi minum keras. Walaupun, dia sadar bahwa sedari awal, Nio memang terlampau terang-terangan dalam menghinanya.
Perlahan, Nio sandarkan kepalanya pada inti batang pohon yang dinaikinya. Maniknya masih menerawang kosong ke atas menuju terik matahari yang menyinari area di bawahnya. “Gue nggak bisa turun,” gumamnya secara tak sadar memancing Angga untuk berangsur pias.
“Lo bisa naik, tapi nggak bisa turun?” ulang Angga, sekedar memastikan bahwa pendengarannya tak salah tangkap akan kalimat Nio sebelumnya. Yang mana langsung dijawab anggukan lemas oleh pemuda itu.
Angga mendengkus pelan. “Ya udah, lo lompat aja, biar gue yang tangkep.”
“Nggak, ah. Dari muka lo aja udah kelihatan nggak meyakinkan. Gue berani taruhan daripada berhasil, ujung-ujungnya lo alesan kenapa gue kebelet nyari tukang urut setelah ini,” Ia berujar sembari melemparkan kulit kuacinya hingga mengenai dahi Angga.
Decakan sebal meluncur dengan mudah melalui birai Angga. Dalam hati ia terus merafalkan kalimat yang sama agar meminta diberikan kesabaran yang seluas lapangan bola hanya untuk menghadapi segala bentuk hinaan yang dilontarkan oleh Nio yang punya senyum manis terkesan polos, namun sayangnya juga harus bermulut sampah.
“Turun aja,” katanya lembut tanpa indikasi adanya emosi sama sekali. Kedua tangannya telah terulur menyambut Nio yang sudah ancang-ancang ingin melompat indah ke arahnya. “Bentar! Lo turunnya jangan lompat, gue—”
“Siap-siap!”
Selanjutnya, Angga justru dibuat menderita dengan Nio yang sudah duduk manis di atas perutnya. Lagi-lagi ia tersenyum tanpa dosa, seolah-olah menimpa Angga hingga ia terjatuh ke atas rerumputan bukanlah hal yang terlihat fatal baginya.
“Nggak nyangka kalau cowok cupu kayak lo ternyata punya sifat gentle juga. Untung gue bukan cewek. Kalau gue baper, ‘kan bisa panjang urusan kita,” tandasnya luar biasa menyebalkan teruntuk Angga saat ini.
Nio terkekeh geli didalam hati melihat wajah masam yang tengah dipasang oleh Angga. Selepas ia beranjak dari tubuhnya, Angga sesegeranya menyapu setiap sisi dari bajunya yang dikiranya pasti kotor karena bersentuhan langsung dengan rumput-rumput yang ada di bawahnya. Nio pun dengan bijaksana membantunya, walaupun lebih mirip dikatakan tidak niat karena alih-alih menyapu, dia justru terasa seperti hanya mengipasinya saat ini.
“Beneran, ya?” Setelah sekian menit berlalu, Nio tiba-tiba mengeluarkan suara lagi. “Karena sekolah ini mayoritas diisi kaum elit, makanya pemberontakan jarang ditemukan di sini.”
“Nggak juga.” Selesai membenahi pakaiannya hingga rapi kembali, Angga tatap figur Nio yang setia menyoroti. Menanti akan maksud sanggahannya tadi. “Kayak yang lo bilang barusan. Karena berasal dari kaum elit, makanya cara yang diterapin bukannya langsung main jotos gitu aja.”
Nio mengernyit. “Maksud lo, perkara berantemnya cuma adu bacot terus banding-bandingan kerjaan orang tua? Kayak anak kecil banget. Ini sebenernya gue masuk ke sekolah khusus cewek apa khusus cowok, sih?”
Angga memutar matanya jengah. “Begini, Skylar. Anggap saja status kita ini di atas puncak hierarki karena secara ekonomi kita jauh lebih unggul. Mereka yang berada jauh di bawah piramida menganggap kita sebagai pantangan karena mau kita yang salah sekalipun, dimata sekitar, kaum elit tetap jadi pemenangnya. Penyelesaian yang diterapin oleh kaum elit itu bukan tentang siapa yang paling banyak bikin musuh tumbang. Kekuasaan dari segi materil adalah alesan kenapa kita jarang dapat penyerangan.”
“Jadi, kaum elit itu adalah tipe yang kalau kalah tinggal main sogok, gitu? Oh, gue ngerti sekarang kenapa temen gue suka bilang kalau kalian itu termasuk ‘tikus’ yang menghinggapi kerajaan.”
Merasa sedikit tersentil, Angga lantas mendesis kecil. “Intinya, seorang elit itu dinilai nggak pantes buat sekedar nyentuh kasta di bawahnya. Bahkan cuma buat natap sekalipun. Apa istilahnya? Nggak level?”
Kepalanya terasa panas mendengar ungkapan Angga. Nio sedikit tersinggung. Walaupun terbilang kelewat mampu, dia tetap dianggap hina oleh mereka cuma karena status sekolah yang disebut-sebut tidak sebanding tersebut. “Asal lo inget, ya. Gue pernah jadi bagian dari yang tadi lo sebut sebagai kasta terbawah dan itu masih berlaku sampai sekarang.”
Gelengan kepala yang mengindikasikan penyanggahan diterima. “Dengan lo injakan kaki di sini secara nggak langsung lo udah jadi bagian dari kaum elit,” tegas Angga dengan air muka datarnya.
Nio berdecih tak sudi. “Gue nggak pernah punya niat sama sekali buat ikut kelompok pengecut kayak kalian. Dan kalau emang pandangan di sini segitu remehnya ke sekolah lain, mungkin memberontak sedikit bisa bikin lo sadar soal gimana rasanya harga diri kalian gue injak-injak.”
“Sky—”
“Berarti, lo musuh gue juga, ‘kan?” tanya Nio skeptis. Sorot pemuda itu memancarkan kemarahan yang kentara. Sedangkan Angga tampak tak bergeming dengan pertanyaan yang diutarakan olehnya. Seakan mengiyakan dengan tersirat bahwasanya benar mereka seharusnya begitu.
Nio berdecak ketus setelahnya. Memicingkan matanya yang sudah sipit itu dalam kurun waktu singkat, pada akhirnya ia putuskan untuk meninggalkan tempat itu dalam langkah gontai. Membawa punggungnya menjauh, sementara Angga masih terus memperhatikannya dari kejauhan hingga perlahan menghilang ditelan jarak.
“Gue bukan termasuk keduanya.”
୨୧
sebenernya aku ragu mau up ini, tapi yaudahlah kan dibuang sayang juga :'D
KAMU SEDANG MEMBACA
CARAT CAKE +jaeno
FanfictionJatuh cinta itu musuh akal sehat, katanya. [Jung Jaehyun - Lee Jeno]