"Tumbuh sekuat mawar, kehujanan. Tumbuh seindah mawar, menyakitkan. Mawar yang indah, hanya bunganya."
Kepulan asap yang menguar setelah terkurung dalam rongga mulut seolah menjadi pelepas dahaga dengan versi berbeda. Saat kepulan itu memenuhi udara di atas kepala, perasaan lega yang hanya sementara kembali dihempas jauh. Seperti kepulan yang kian samar dalam hitungan detik, kelegaan itu pun hilang dalam hitungan detik.
Mengapa seseorang sangat mengandalkan berbatang-batang rokok untuk menemukan tenang? Padahal ia sadar setelah satu batang habis disesap, ketenangan itu juga akan lenyap secepat asap yang dimakan udara, lalu tak kasat mata. Kemudian, sebatang dinyalakan lagi, disesap lalu dihempaskan, habis lagi.
Segiat itu ia mencari tenang, bahkan hingga sekotak rokok habis dibakar, tenang itu tidak akan menetap lama.
Apa yang terjadi pada seorang manusia yang kini tengah duduk termangu di tengah samarnya lampu teras gudang? berbekal sekotak rokok yang sedang ia nikmati dengan tatapan kosong, ini sudah rokok ketiga selama ia duduk di sana.
"Payah!" Dia berdecak kesal, rokok ketiganya habis. Putung rokok di tangan ia lempar, diinjak dengan marah hingga hanya tersisa bercak hitam di lantai. "Payah banget, tinggal gugurin aja apa susahnya sih?"
Apa susahnya? Dia bertanya-tanya. Perempuan yang kini tengah mencari-cari jawaban atas keraguannya meminum seduhan jamu penggugur janin yang ia beli dari seorang teman jauh, ia sudah menunggu barang itu dengan hati berdebar. Namun saat barang itu datang dan ia seduh, seluruh kepalanya migran. Ia terduduk dengan ngos-ngosan, seperti habis lari marathon. Ghea, tidak pernah memahami dirinya sendiri. Atau lebih tepatnya, ia tak ingin paham.
Jika ia bisa bertanya pada seseorang mengapa ini bisa terjadi, mungkin ia akan menemukan jawabannya. Namun ia tak ingin, sebab ia tak ingin tahu jawaban itu, sebab ia tahu namun pura-pura tak tahu. Terlalu sulit ternyata membuat hati seperti mati dan kehilangan fungsi sebagai manusia. Padahal, beberapa orang bisa.
Bukankah beberapa pembunuh bisa menghilangkan kemanusiaan? Mereka pasti membuat hatinya mati entah dengan dendam atau kecewa, Ghea juga ingin bisa seperti itu. Seperti yang dilakukan laki-laki yang pernah menusukkan sebilah pisau tepat ke tenggorokan ibunya, di depan mata Ghea yang menangis histeris.
Di tengah lamunan, ia mematik koreknya lagi setelah meraih sebatang rokok dari kotak, mencoba kembali mencari tenang yang sementara. Menyala, mengepul, lalu disesap.
"Sialan!" Ghea yang baru membuka mulut untuk menyelipkan sebatang rokok ke mulut, terkejut dengan sumpah serapah yang datang entah dari mana, disusul sambaran tangan pada rokok yang ia pegang. "Lo ngerokok?"
"Jonathan?" Perempuan itu bermonolog, setengah tertegun.
"Sial, dapet darimana lagi?!" Saat tangan Jonathan ingin meraih kotak rokok di tangan yang lain, Ghea bangkit dari duduk. "Kasih ke gue atau gue rebut paksa, Ghea."
Ghea tidak tahu laki-laki itu datang darimana, begitu tiba-tiba, seolah disetiap langkah dan tempat yang Ghea tuju, Jonathan ada di sana untuk mengawasinya.
"Nggak usah ikut campur, Jonathan!"
"Berisik!" Jonathan tak ingin mengalah. Setelah menginjak-injak rokok yang sempat ia rampas, ia mendekati Ghea dan ingin merampas yang lain, begitu terlihat serakah dan marah. "Kasih ke gue atau gue ambil paksa, Ghea!"
KAMU SEDANG MEMBACA
5. Bintang Senja [END]
Любовные романыBAGIAN KELIMA 'Semesta dan rumahnya' "Akulah bintang senja yang bersinar paling terang, namun tak bisa melihat cahayaku sendiri." Bahkan, seindah rupa pun tak bisa menjamin manusia bahagia, seperti Jonathan. Dia tak peduli dengan kata 'tampan' yang...