Bab 10 - Bersama dalam keputusan

70 17 1
                                    

Layar monitor tengah mempertontonkan bagaimana para siswa SMA Ganesha Indonesia larut dalam ribuan pertanyaan, setiap potongan kolase video rekaman menampilkan ketujuh ruang kelas dua belas yang satu persatu penghuninya mulai masuk. Kepadatan lorong yang perlahan ditinggalkan juga nampak pada rekaman camera 3 dan dari sudut kamera pengawas yang sama pula, layarnya menampakkan bagaimana gelagat seorang siswa di pintu ruang ketiga yang menginstruksikan pada teman sekelasnya untuk cepat masuk, hal itu berhasil menyita perhatian para penonton.

Berlanjut pada tampilan kamera yang dipasang di sudut kelas XII IPA 3, sosok siswa yang sama menutup pintu dengan gusar kemudian berbalik dan bersandar pada daun pintu bersama nafasnya yang tak beraturan, hingga terlihat satu persatu tudingan menyasar padanya dari ketinggian sudut kamera.

"Jika sebuah keadilan harus ditegakkan, berarti akan ada satu hukuman untuk mereka yang melanggarnya."

Delapan manusia yang duduk di antara satu meja saling menatap layar yang sama, ruang remang itu kian dingin ketika suara muncul dari setiap telinga yang terpasang earphones, suara itu terdengar berat dan penuh penekan. Sesingkat itu kalimatnya, namun mampu menaikan ketegangan dari setiap jiwanya.

"Apa saya benar, kepala sekolah?" suara yang sama kembali menguasai mereka.

Tak ada tanggapan dari ucapan itu, semuanya bungkam di tengah ketegangan. Harja, sang kepala sekolah yang duduk di ujung meja hanya bisa bisa menatap layar tanpa berpaling sedikitpun, begitu juga dengan ketujuh guru yang duduk bersama.

"Sekarang, di hadapan kalian sudah ada dua pilihan," ucap tuan pemimpin dari seberang sana. "Kotak merah pertama berisi kunci yang mungkin dapat membuka pintu untuk kalian semua keluar, sedangkan kotak kedua berisi hukuman untuk mereka yang melanggar. Saya serahkan semuanya pada kalian, dan, lima menit dimulai dari sekarang."

Sesaat setelah suara itu pergi layar monitor bertukar tampilan, latar belakang hitam dengan angka-angka putih yang silih berganti menyita perhatian para penghuni ruangan, hitungan mundur dimulai. Di antara meja yang sama mereka saling memandang atas pernyataan penuh pilihan, hingga semua tatapan itu berakhir menusuk sang kepala sekolah yang berada diujung meja. Harja hanya bisa terdiam tanpa mengucapkan apapun, ia tertahan beberapa saat pada dua kota terbuka yang menampilkan isinya itu.

Seperti kalimatnya, kotak pertama ditempati sebuah kunci ruangan yang mengkilap dengan warna khasnya. Sementara kotak kedua memiliki selembar kertas berwarna biru gelap dengan tulisan berwarna emas menyala di atasnya, berisi satu buah kata yang dapat merubah segalanya.

~~~~~

MATI!

~~~~~

"Apa yang harus kita lakukan dengan pilihan ini, Pak?" pertanyaan itu datang dari Daniel yang duduk berseberangan dengan Ria.

"Kita harus cepat, waktu terus berjalan," timpal Regan bergantian menatap layar, kemudian sang kepala sekolah.

Tak ada jawaban apapun dari Harja, ia hanya terdiam membungkam seakan tak ingin memperdulikan setiap kalimat yang menyasar padanya, tatapan pria berjas rapi itu seolah hanya tertuju pada dua kotak di hadapannya. Namun, sesekali ia angkat pandangannya pada arah layar yang terus berganti angka dalam setiap detik.

"Mana yang harus kita pilih, Pak?" pertanyaan itu kembali datang, kali ini dari Dian yang duduk bersebelahan dengan Daniel.

"Tapi kita juga gak bisa nyakitin anak-anak hanya untuk kepentingan kita sendiri," sergah Falicia menyusul ucapan Dian, guru disebelahnya itu.

Night Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang