01

40K 1.3K 9
                                    

Disclaimer:

Alur dan konflik dalam cerita ini saya yang atur. Sekian terimakasih







Hari ini adalah perayaan kelulusan SMA trimurti, Gika sejak tadi sudah berkeliling mencari seseorang yang belum ia lihat keberadaannya sejak pagi.

Mungkin dia sibuk dengan teman-temannya merayakan kelulusan. Gika adalah siswi SMA kelas  XI yang baru saja tampil bersama group nyanyinya diatas panggung sebagai penyambutan untuk para orang tua dan siswa siswi kelas XII yang hari ini merayakan kelulusan.

Bahkan Gika tadinya hilang semangat karena diantara banyak penonton yang bertepuk tangan, dia tidak ada disana. Gika memang tidak pernah memintanya datang, bahkan mereka sebenarnya tidak saling mengenal. Namun hari ini adalah kesempatan terakhirnya. Dan Gika sudah bertekad akan melakukannya.

Dia disana, di tengah lapangan bola yang sepi karena acara sudah selesai berjam-jam yang lalu, sudah banyak orang yang memilih pulang apalagi melihat langit yang mulai menggelap dan sesekali mengeluarkan suara guntur.

"Kak Aric, selamat ya untuk kelulusannya" senyum Gika yang cantik nan tulus itu tidak tertular pada pria tinggi di depannya. Ia hanya menatap Gika dengan datar dan mengangguk satu kali.

"Makasih" jawabnya singkat lalu hendak berlalu namun lengannya di tahan oleh si perempuan.

Dia, Altezza Alaric. Menatap datar Gika dan tangannya yang di tahan secara bergantian hingga Gika sendiri sadar lalu melepaskannya sembari tersenyum tak enak.

"Ada yang mau aku sampaikan ke kakak" ucap Gika setelah dua tahun mempersiapkan diri.

"Apa? Cepet, gue harus pulang". Suaranya terdengar sangat datar dan..tidak minat. Gika jadi agak takut, padahal semalam ia tidak bisa tidur hanya karena sibuk merangkai kata yang tepat

Ia tidak benar-benar mengenal Alaric, yang ia tau hanya Alaric adalah ketua osis sekaligus murid cerdas dan berprestasi terutama di olimpiade matematika. Gika tidak tau sifat selain wajahnya yang rupawan.

"Aku...aku sebenarnya___

Jeda itu lumayan lama, Gika nyaris kewalahan dengan degup jantungnya sendiri. Namun, jika tidak sekarang kapan lagi kesempatan ini akan datang. Gika yang mulanya menunduk memberanikan diri menatap Alaric yang masih memandangnya datar

"Aku suka sama kakak, aku sebenarnya udah lama suka sama kakak" Alaric tidak menampilkan reaksi apapun, banyak perempuan dari sekolahnya maupun dari luar sekolahnya yang pernah mengatakan hal yang sama. Dan kini, anak SMA yang sebelumnya tidak pernah ia ketahui keberadaan bahkan sekedar namanya, sedang menatap gugup kearahnya.

"Lupain aja, gue gak tertarik sama lo" jika mungkin Gika punya riwayat sakit jantung, ia pasti sudah merasa sakit di dadanya sekarang. Senyumnya pelan-pelan menghilang menatap sedih pada Alaric yang nada suaranya tadi terdengar agak jengkel.

"Tapi___

"Gue gak mungkin tertarik sama cewek kayak lo! Jangan mimpi"! Ucapnya jengkel, raut wajahnya yang semula datar berubah menjadi penuh emosi seolah Gika baru saja menjabarkan surat perang.

Suara gemuruh dari langit yang makin mendung seolah memberi sinyal bahwa Alaric menjadi sangat marah atas apa yang baru saja Gika sampaikan.

Selama ini, orang-orang di sekitarnya mengatakan bahwa Alaric adalah orang yang baik. Shandy selaku teman sekelas Alaric juga mengatakan hal yang sama padanya berulang kali. Tapi apa ini? Dia bilang "cewek kayak lo" seburuk itukah dia?

Kedua netra Gika berkaca menatap Alaric yang nampak sedang sangat berusaha mengendalikan emosinya, tanpa mengatakan apapun  lagi, pria dengan rambut hitam itu berlalu dari hadapan Gika bahkan menabrak bahunya keras.

Ternyata..sakit rasanya.

Menyukai atau mungkin bahkan mencintai pria yang sama selama dua tahun dan berakhir di tolak rasanya lebih buruk dari mimpi buruk.

Harusnya Gika biarkan saja rasa sukanya itu terus terpendam. Harusnya ia tetap menjadi pengagum rahasia, harusnya ia tetap menyimpan rasa sukanya untuknya sendiri.

Gika, gadis berusia delapan belas tahun itu menangis dibawah derasnya hujan yang seakan hendak membantu menyamarkan air mata pedih bercampur sakit hatinya setelah di tolak secara kasar oleh Alaric.

Keesokan harinya, sebenarnya Gika tidak ingin masuk sekolah karena masih terluka akibat insiden kemarin, namun apa boleh buat, ayahnya melarang ia bolos sekolah.

Namun harusnya, Gika memang sebaiknya tidak usah sekolah saja hari ini. Karena ternyata, entah bagaimana caranya, satu sekolah mengetahui soal dirinya yang di tolak mentah-mentah oleh Alaric.

"Cewek kaya lo nembak kak Aric? Lo sehat? Apa udah gak waras?" Cibir salah satu teman kelasnya, Gika malu jujur saja. Ia tidak bisa melakukan pembelaan apapun. Jujur saja ia tidak mengerti mengapa sangat malas mengeluarkan suara untuk sekedar membela dirinya. Gika hanya diam duduk di bangkunya dengan pandangan kosong. Tapi Gika tidak tuli, ia dengar semuanya.

"Kak Aric yang gak waras kalau sampai nerima dia" mereka kemudian tertawa, tawa yang menjadi saksi bagaimana mulai hari ini dan seterusnya ia membenci pria sombong bernama Altezza Alaric itu.

Dia pria yang tidak punya hati dan perasaan. Harusnya Gika tidak jatuh hati pada pria seperti dia. Dimana seandainya memang ia tidak suka padanya dan tidak bisa membalas perasaannya tidak bisakah dia berbicara dan menolaknya dengan halus? Tanpa perlu melukai hati dan membuat harga dirinya hampir luruh?

"Makanya ngaca! Belagu banget jadi orang!" Gika memejamkan matanya yang mulai berair, kapan guru datang agar mereka semua berhenti mengejeknya?

"Ada apa sih?" Gika melirik pada Agni, teman sebangku sekaligus teman paling akrabnya di sekolah ini. Ia datang dengan wajah penuh kebingungan

Gika dalam hati memohon, ia berharap Agni membelanya. Ia berharap Agni menghentikan dan membubarkan kerumunan kecil orang-orang yang mengejeknya ini karena selain temannya, Agni juga adalah ketua kelas.

"Kak Alaric abis cerita ke Shandy kalau Gika nembak dia kemarin" ucapan Ririn itu turut memuaskan rasa penasaran Gika.

Oh, ternyata Alaric sendirilah yang menjadi penyebab semua orang tau meski Gika telah berusaha mencari waktu yang sepi. Namun memang pria itu sendiri yang mengumbar dan sepertinya memang berniat mempermalukan dirinya. Gika tidak menyangka, ternyata selama ini pria seperti itulah yang ia sukai.

Gika menatap penuh harap pada Agni, berharap gadis yang kini memakai bandana berwarna pink itu mengerti isyarat permintaan tolong darinya.

Agni tertawa pelan, ia menatap Gika dengan tatapan..remeh? Agni tidak mungkin tidak membelanya kan? Mereka adalah teman selama ini.

"Gak tau diri" ucapnya pelan namun amat menusuk Gika hingga relung hati

Ucapan Agni barusan di setujui oleh yang lain, mereka kembali mengejek dan mencibir Gika tanpa ampun.

"Harusnya lo yang sama Aric kan, kenapa sih di tolak?" Ujar Stefani, si bendahara kelas yang sangar ketika tiba waktunya meminta iuran kelas.

"Kasi tau Ni, kalau tipe kak Alaric kayak lo bukan yang terlalu percaya diri kayak Gika" Theana menyambung sambil tertawa-tawa.

Aric? Dan Agni?

Agni menolak Aric? Kemana ia selama ini hingga tidak tau soal itu. Gika kemudian sadar bahwa selama ini yang menganggap pertemanan mereka hanya dirinya saja. Agni tidak.

Ia ikut tertawa dan mengejeknya sama seperti yang lain, hanya dirinya sendiri ternyata yang menganggap mereka berteman. Nyatanya Agni sama dengan yang lain.

BORN TO BE OVERLOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang