“Nggak bisa ini, nggak bisa, Ca.” keluh Renner sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke kemudi.
Di sore itu, Renner baru menjemput Sabila dari Rumah Sakit. Mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran favorit mereka untuk makan malam.
“Kenapa sih? Syarla udah gede, sampe kapan kamu mau larang dia pacaran?” tanya Sabila, heran dengan kekasihnya yang masih sangat posesif ke adik perempuannya itu.
“Duh, tetep aja. Nggak bisa.” balas Renner. Ia sebenarnya tidak punya alasan lain. Sedikit menyesali ucapannya beberapa minggu lalu.
“Kan kamu yang bilang nggak apa-apa, selama dia bisa tanggung jawab sama kerjaan dan keluarga.” ucap Sabila.
“Yah, itu dia. Aku nggak nyangka dia tiba-tiba udah punya pacar aja?”
Sabila tersenyum. Mungkin Syarla memang selama ini sudah punya pacar, tapi menyembunyikan dari Renner? Jadi ketika Renner memberi lampu hijau, Syarla langsung mengambil kesempatannya. Tadi siang, Syarla mengirim pesan ke Renner bahwa ia ingin mengenalkan pacar barunya itu ke Renner. Dan tentu, Renner langsung kebakaran jenggot seperti ini.
“Lagian, terus dia harus gimana kalo nggak pacaran? Langsung nikah?” tanya Sabila balik.
Renner menoleh ke gadisnya itu, tajam, “Kita aja belum, masa dia duluan.” ucap Renner.
“Ya makanya, gak masuk akal. Jadi udahlah, biarin aja. Kamu harus open-minded dong. Lagian pacarnya kan polisi juga katanya.”
“Justru itu. Orangnya siapa ya? Aku harus cari tahu nih.” jari-jari Renner makin semangat diketukkan ke kemudi.
“Dia tuh udah itikad baik mau kenalan sama kamu. Nanti aja kamu tanya-tanyanya pas ketemu.” sahut Sabila.
Renner sebenarnya ingin mencari tahu siapa orang ini dan menemuinya sebelum pertemuan lusa nanti. Ingin rasanya ia gunakan taktik interogasinya untuk mengulik semua detail tentang pacar Syarla, tapi adiknya itu mengancam akan membatalkan pertemuan kalau Renner berlebihan.
“Mas, udah dong…kasihan adiknya.” ucap Sabila lembut, mengelus tangan tunangannya itu yang berada di persneling mobil.
Renner merengut, sambil menatap Sabila. Titik terlemahnya adalah panggilan ‘Mas’ dan nada lembut perempuannya.
“Yaudah, iya…Aku nggak akan cari tahu tentang dia sampe ketemu lusa.” sahut Renner akhirnya.
“Gitu dong, aku salut sama dia loh, berani banget langsung ketemu Tim Shadow sekaligus.”
“Nggak tahu, deh. Biar kalo digeprek, sekaligus langsung sama empat orang kali.” ucap Renner asal.
Sabila hanya menggelengkan kepalanya. Entah seperti apa pertemuan mereka lusa nanti. Yang jelas ia harus hadir dan memastikan Renner tidak berbuat yang kelewat batas.
⏳⏳⏳
Dua hari kemudian.
Kedai Koboy. Sebuah kedai kecil di mana Tim Shadow sering berkumpul. Tempatnya cukup luas dan restoran ini self-service jadi meminimalisir adanya waiter yang mencuri dengar pembicaraan mereka.
Renner dan Sabila tiba lebih cepat dari yang diperkirakan. Mereka melihat sekeliling, kemudian menemukan seorang pria berseragam polisi yang sedang duduk di samping ruangan, di meja panjang. Ia sendirian. Syarla memang mengirim pesan bahwa ia akan telat selama lima belas menit. Sementara Tim Shadow yang lain sudah merespon bahwa mereka akan segera sampai.
Sabila yang daritadi menahan pipis di mobil, terpaksa berbelok dulu ke toilet. Tapi ia tak lupa mengingatkan Renner, “Ren, beneran ya, jangan macem-macem. Tunggu Syarla dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tim Shadow dan Perintilannya
General FictionOne-shots. Cerita pendek seputar Tim Shadow, Renner, dan Sabila. Sekuel dan prekuel dari "Two Worlds Colliding". Nggak urut.