Tiga Puluh Delapan

36K 1.7K 34
                                    

"Raline? Bisa tolong jelaskan maksud kamu berbuat seperti itu pada Zayra karena apa?" Tanya Arya sedikit menuntut.

Menatap sejenak pada manik mata Arya, kemudian ia alihkan pada suasana keramaian yang di sekitar, "Aku cuma mau mengajak dia untuk merasakan kesedihan yang aku alami."

"Begitu?"

"Dia bisa hidup bahagia sama kamu dan sejahtera dengan kafenya, sedang aku terus menerus di ambang kesedihan, Ar."

Menghembuskan napasnya kasar seraya menyugar rambutnya, Arya berkata, "Luar biasa kamu Raline, perilaku kamu sangat kekanak-kanakan bagi aku. Sampai disini mungkin kamu bisa sejenak luangkan waktu kamu untuk memahami segala sesuatu yang kamu benci, tapi justru itu rencana Tuhan yang paling baik."

Arya mengangkat jari telunjuknya di hadapan wajah Raline, "Pertama, nggak menutup kemungkinan kita akan bahagia seratus persen jika kita menikah dan hidup bersama, Line. Kamu belum berada di fase yang bisa dikatakan dewasa apalagi fase yang dinyatakan siap menikah. Maka itu Tuhan pisahkan kita sebelum melangkah lebih jauh."

Lalu, Arya menaikkan jari tengahnya, melambangkan angka dua dengan tangannya, "Kedua, Tuhan ambil nyawa ayahmu di waktu yang berdekatan setelah hari pembatalan pernikahan kita. Itu karena Tuhan tahu bahwa kamu ternyata akan melakukan hal-hal bodoh seperti sekarang ini. Tuhan, nggak mengizinkan ayahmu untuk merasakan kekecewaan yang mendalam karena melihat tingkah putri kebanggaannya yang diluar nalar ini."

Selanjutnya, Arya mengangkat jari manisnya, "Ketiga, Tuhan jadikan ibumu stres, terganggu mentalnya, supaya kamu bisa jadi sosok yang matang dan dewasa. Ibumu masih Tuhan izinkan untuk menikmati hidup di dunia, supaya kamu bisa bersujud memohon maaf, Line. Minta segala restu supaya hidupmu jadi jauh lebih bahagia, Line. Ibumu jadi kunci kebahagiaanmu saat ini."

Arya masih melanjuti perkataannya, "Ketidakmauan aku untuk menjadikan kamu istriku, seharusnya membuat kamu berpikir dan introspeksi, Line. Kemudian berusaha mencari sosok laki-laki yang jauh lebih sempurna dari aku. Pasti ada, Line. Sesuatu yang indah itu akan selalu ada kalau kamu melakukan usaha yang benar dan diridhoi Tuhan."

Seolah perkataan Arya bak jarum yang menusuk-nusuk matanya, Raline menangis tergugu. Di tengah keramaian ia menurunkan hujan untuk dirinya sendiri.

"Line, aku mohon dengan sangat. Jauhi rumah tanggaku. Tolong jangan ganggu kebahagiaanku, Line. Aku selalu mendoakan kamu untuk segera merasakan kebahagiaan seperti yang kamu inginkan. Aku mencintai Zayra lebih dari aku mencintai semua orang yang singgah dihidupku. Tolong jangan benci istriku sebagaimana kamu membenci aku, Line. Tumpuk semua rasa benci kamu pada aku saja, Line. Jangan Zayra berikan setetes rasa benci itu. Aku nggak akan katakan soal perbuatan jahatmu kepada Zayra, supaya nggak semakin menambah orang yang membenci kamu. Tapi, aku mohon Line jadikan aku sebatas teman, kamu juga bisa anggap Zayra sebagai temanmu. Berhenti memuja dan mengagumi aku, Line. Kita sudah selesai."

Raline masih terdiam, namun telinganya tetap terpasang mendengarkan penuturan dari laki-laki pujaannya.

"Bagaimana rasanya dicintai, Ar?" Raline bertanya.

"Enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Line. Kalau kebahagiaan ada nilai takarnya, dicintai jadi suatu kebahagiaan yang nilainya nggak ada dalam takar. Rasa-rasanya selalu ingin terus memikirkan orang yang mencintai kita. Pikiran penuh dengan orang tersebut."

Dengan tangannya, Raline mengusap kasar wajah yang berlinang air mata.

"Aku mau pergi." Ucap Raline.

"Silakan."

"Kamu nggak tanya aku mau pergi kemana, gitu?"

Arya menggeleng. "Sudah bukan urusanku. Kecuali yang bilang begitu Zayra."

Raline berdecih.

"Aku mau ke Belgia tahu."

"Ya, silakan pergi ke Belgia."

"Ck! Kalau Zayra yang ngomong begitu, kamu jawab apa?"

Mengikuti kemauan Raline, Arya membayangkan jika Zayra betulan bicara seperti itu, "Lho? Kok kamu baru bilang ke aku, sayang?"

Lagi-lagi Raline berdecih. "Aku mau cari jodoh di Belgia. Kata pegawai-pegawaiku di toko, laki-laki Belgia banyak yang tampan rupawan dan kaya raya."

"Iya, semoga cepat dapat jodoh di Belgia."

"Nanti kamu mau nggak datang ke acara pernikahan aku sama jodoh Belgiaku?"

"Aku tanya Zayra dulu, dia mau ikut atau nggak."

Raline menghela napas kasar. "Kamu, kenapa kamu jual rumah itu, bukannya itu rumah impian kamu?"

"Aku sedang berusaha membahagiakan Zayra, menunjukkan rasa cinta aku dengan mencoba memulai kehidupan baru tanpa ada sisa-sisa kenangan dengan kamu. Di rumah impianku masih suka terdapat sesuatu yang ada kamunya, Line. Zayra selalu yang menemukan, jadi bikin hubungan kami keruh. Maka itu aku putuskan untuk pindah."

Arya rasa ia sudah tidak memiliki kepentingan apapun dengan Raline. Ia hendak pamit dan beranjak dari sana. Kemudian menemui Zayra yang mungkin saat ini masih di dalam kamar villanya.

"Aku pergi dulu. Laptopnya beneran nggak mau kamu ambil?"

"Enggak! Sorry, aku nggak nerima barang bekas!" Kembali Raline memasuki mode angkuhnya.

Memicingkan matanya, "Memangnya Zayra nggak ikut kesini?" Tanya Raline dengan suara yang cukup pelan.

Arya menggeleng.

Beberapa detik kemudian Raline memasukkan tangannya dalam tas yang ia bawa. Raline tampak mencari sesuatu di dalam clutch bag mahalnya. Meski tidak disuruh menunggu, tapi Arya penasaran, apa gerangan yang dicari oleh perempuan itu.

"Akhirnya ketemu!" Raline menjunjung tinggi sebuah kotak hitam berukuran kecil.

"Nih!" Raline memberikan barang yang dicarinya padanya.

"Apa ini?" Arya memutar-mutar kotak tersebut tanpa berniat membukanya.

"Bukan buat kamu! Buat Zayra itu!"

"Sesuatu yang berbahaya bukan?" Arya memicingkan mata.

"Iya! Bahaya banget! Bisa bikin jantungan kalau Zayra tahu harga barang yang di dalam kotak itu!"

Penasaran Arya membuka kotak tersebut. "Ini, bukannya ini gelang yang kamu jual di tokomu? Apa namanya? Aku lupa."

Sebuah gelang berkilauan tersembunyi di balik kotak tersebut. Mengalahkan sinar matahari saat ini kilauan cahayanya.

"Eternal bracelet seri Midnight! Yang kamu pelototin di etalase tokoku. Bilang aja kamu mau beli tapi nggak sanggup sama harganya, kan?!"

Memasang wajah angkuhnya, Raline lanjut berkata, "Dasar suami miskin! Beliin istrinya gelang aja nggak mampu!"

Arya terkekeh mendengarnya. Ia tahu Raline mencandainya.

"Pasti, kamu nggak secara cuma-cuma kan, kasih gelang ini ke Zayra?" Tebak Arya yang sudah paham bahwa Raline memiliki udang di balik kotak gelang.

Menatap nail art bewarna maroon yang baru ia buat di salon langganannya, Raline menimang-nimang untuk memberi jawaban atas pertanyaan Arya.

"Iya. Sebagai permintaan maaf aku. Big sorry for her. Sebetulnya kamu nggak perlu menyudutkan aku seperti tadi."

Arya tersenyum lembut.

"Big thankies for this. Akan aku berikan ke Zayra."

Arya menutup kotak kecil tersebut kemudian memasukkannya dalam saku celananya.

"Satu lagi." Ucap Raline.

Arya mengerutkan keningnya.

Raline melangkah mendekatinya. Tapi Arya sigap mundur menjauh. Tidak mengerti apa yang ingin perempuan itu lakukan.

"Mas!"

Suara panggilan perempuan yang amat dikenalnya berbarengan dengan mendaratnya bibir Raline yang menyentuh bibirnya kurang dari satu detik karena ia berhasil mendorong tubuh perempuan baik yang selalu berbuat kurang ajar tersebut.

"RALINE SIALAN!"

Call It What You Want (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang