SUDAH sepuluh menit berlalu sejak Sabian membuka seporsi nasi goreng yang dipesankan Daffa lewat aplikasi online sebelum dimintai tolong untuk mengantarkan Dahlia pulang beberapa saat lalu. Tidak banyak pilihan menu ketika sudah memasuki tengah malam seperti ini, selalu nasi goreng yang akhirnya menjadi comfort foodnya. Semenjak hari kecelakaan, Sabian hampir tidak bisa menelan apapun. Ia hanya sesekali menenggak air mineral dan terlihat mengisap rokok, menyendiri dalam diam.
Luka-luka di punggung tangannya masih basah. Telanjang tanpa perban karena Sabian baru saja membasuh tubuhnya setelah melalui hari yang sangat melelahkan. Rasa perih, kaku dan nyeri sepertinya sudah lewat, namun pikirannya masih betah mengulang-ulang kejadian nahas itu.
"Kenapa, Bang? Nggak enak?" Sabian hanya melirik Daffa yang mucul, menyeret kursi dan duduk di hadapannya. Pemuda yang rambutnya terlihat kusut itu menyodorkan ponsel keluaran lawas sebagai pengganti miliknya yang raib tanpa diminta. "Mau gue pesenin yang lain?"
Yang diajak bicara hanya menggeleng seraya memutar-mutar sendok plastik yang sejak tadi tak kunjung masuk ke mulut.
"Pake handphone lama gue dulu nggak apa-apa ya, Bang. Nanti kalau lo udah baikan bisa deh tuh ganti baru. Yang penting nomor lu udah aman."
Sabian hanya menghela napas pelan. Seakan tidak memiliki energi barang hanya untuk mengobrol singkat dengan Daffa.
"Gue kaget sih pas ngeliat Dahlia separno itu waktu dapet kabar lo kecelakaan. Syukur deh, tadi pas gue anterin udah kelihatan tenang," ujar Daffa sambil membuka sekaleng kopi dingin yang ia beli di minimarket komplek. "Lo bener nggak apa-apa, Bang? Harus ke dokter lagi nggak? Gue temenin ya?"
"Lo udah tanya Hera?"
Daffa melihat lelah dan frustasi terpampang jelas di wajah bos nya. Pertanyaan barusan mungkin terucap begitu pelan, akan tetapi sanggup membuat dirinya tercekat.
"Hah?"
"Udah sampe apart belum?"
"Oh, iya sebentar ini gue tanyain."
Buru-buru Daffa merogoh saku celananya dan mencari nama Hera di daftar kontak. Kali ini, wajah pemuda itu mendadak pucat pasi. Lewat ujung mata ia mengintip Sabian yang tertunduk menunggu jawabannya. Dan setelah beberapa baris pesan yang tak di gubris serta panggilan yang tak tersambung, akhirnya Sabian menyela.
"Lo tidur, Fa, udah malem." Ujar Sabian pelan, ia menyuap sesendok nasi goreng lalu menutup kemasannya kembali dengan malas.
"G-gue samperin aja deh." Balas Daffa penuh sesal karena sudah membiarkan Hera pulang sendirian di waktu yang sudah larut ini.
"Nggak usah." Sabian meneguk habis segelas air di tangannya, kemudian melangkah gontai ke ke lantai dua menuju kamarnya. "Thank you Fa, udah beresin semuanya hari ini."
Daffa melongo keheranan. Ia kira Sabian akan mulai mengomel lagi, akan tetapi bos nya malah membiarkannya, menyuruhnya tidur dan mengakhiri malam dengan ucapan terimakasih yang tidak pernah Daffa sangka sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave Out All The Rest
FanfictionLima tahun berlalu seharusnya tidaklah sulit bagi seorang Sabian untuk mencari pengganti sang istri yang telah pergi mengkhianatinya begitu saja. Di usia yang hampir mendekati kepala empat, wajah tampannya masih bisa sesekali membius kaum hawa yang...