Joyce

2 1 0
                                    

Joyce Michelle Latukarlutu, berayah Ambon dan beribu Jerman. Memiliki kecantikan yang sulit untuk ditandingi. Lucunya, dari awal ia sudah naksir dengan adik kelasnya, Milo Narendra, yang berkulit gelap tetapi tampan itu. mirip-mirip gambaran sang ayah. Bedanya, ayahnya orang Ambon, dan Milo orang Jawa.

Saking naksirnya, biar kata Milo akhirnya telah resmi berpacaran dengan Katherine, sahabat baiknya, Joyce tetap menempatkan Milo di dalam hatinya. Joyce gadis yang lumayan populer. Itu sebabnya tidak sulit baginya untuk mendapatkan kekasih. Sejak SMA sampai sudah bekerja dan menjadi wanita karir seperti sekarang ini, ia sudah berganti-ganti pasangan lebih dari sepuluh kali. Tidak ada yang awet. Alasannya sederhana, ia telah menempatkan Milo sebagai standar tertinggi dalam memilih pasangan. Makanya, setiap ia berpacaran, bayangan sifat dan gambaran fisik Milo tak pernah lepas dari pelupuk matanya.

Ketika Katherine wafat, Joyce merasa terpukul dan bersalah. Bukan mengapa, Kath adalah sahabat baiknya. Di sisi lain, ia menginginkan Milo sebagai pasangannya. Jelas-jelas merupakan sebuah kejahatan bila ia bersyukur ketika Kath telah tiada, yang mana itu berarti Milo telah menjadi lajang kembali.

Itu sebabnya, untuk menghapus semua rasanya yang bertentangan tersebut, setelah beberapa masa wafatnya Kath, ia pergi jauh-jauh dari Milo. Ia bekerja di kota yang berbeda, negara yang berbeda. Namun, ketika mendengar bahwa proposal yang mereka ajukan beberapa tahun yang lalu lolos, Joyce tak tahan untuk ikut ambil bagian. Ia tak berharap Milo ikutan dalam proyek mereka kali ini. Bukan karena ia sudah melupakan Milo, melainkan, ia sudah berusaha mati-matian untuk tidak lagi menempatkan Milo sebagai standar ideal pasangannya itu. Maka, Milo ikut maupun tak ikut, tidak jadi perkara baginya.

Itu yang pikirkan sebelumnya.

Namun, pikirannya hampir saja buyar seutuhnya ketika sosok Milo sudah berdiri di hadapannya. Ia datang bersama Danan, yang kemudian tak lama Mark muncul.

Milo sama sekali berubah. Bukan, bukan ke arah negatif, sebaliknya ia semakin mempesona. Kulitnya yang gelap semakin memperkuat kesan maskulin sekaligus manis yang campur aduk, membuat perasaan Joyce kembali campur aduk tak keruan.

"Hi, Joyce. Lama di Vietnam, baru kali ini kita ketemu setelah sekian lama," sapa Milo.

Joyce berhasil membuat responnya normal. "Hai, Mil. Lama juga nggak ketemu. Gimana kabarnya? Masih ngajar?"

Milo menggeleng. "Nggak, saya resign. Sama kayak kalian semua," ujarnya sembari tersenyum lebar. Senyum yang meruntuhkan semua pertahanan Joyce.

Perempuan yang umurnya lebih tua dua tahun dari Milo itu jelas masih terlihat mempesona. Ia malah menjelma menjadi lebih cantik dan dewasa, dengan perpaduan wajah unik Maluku dan Eropa. Joyce yang dewasa dan menyala itu tidak semerta-merta menguburkan diri di dalam karir dan pekerjaan, tetapi tetap saja, sepertinya hidup percintaannya selalu dibayang-bayangi oleh sosok Milo Narendra.

Maka, empat pendekar sejarah yang sudah akrab di masa lalu itu kini sama-sama menggapai keinginan dan impian mereka walau sudah dalam keadaan yang berbeda.

Dalam waktu dua bulan, setelah pelatihan dan pemantapan persiapan, bersama beberapa orang anggota tim lainnya, Milo, Dananjaya, Joyce dan Mark berangkat ke Belanda. Ada tiga museum utama yang bakal mereka kunjungi disana. Pertama, Tropenmuseum yang berada di kota Amsterdam, Museum Volkenkunde di kota Leiden, dan yang terakhir yaitu Museum Afrika – juga memiliki koleksi barang-barang sejarang asal Indonesia – di kota Nijmegen. Di ketiga kota itulah pekerjaan awal tim pengembalian barang-barang peninggalan bersejarah Indonesia itu dimulai.

Tropenmuseum atau bila diterjemahkan menjadi Museum Tropis, adalah sebuah musim antropologis atau budaya, yang berlokasi di Amsterdam, Belanda. Museum ini didirikan tahun 1864. Museum ini adalah museum terbesar di Amsterdam dengan 175.000 buah benda koleksi. 155.000 lembar foto, dan 10.000 lembar aneka gambar, lukisan serta dokumen.

Dengan bersemangat, para tim mengkurasi benda-benda bersejarah milik Indonesia tersebut, memilih dan memilah, serta memeriksa keadaan benda-benda tersebut. Mereka mencatat, melakukan semua analisis dengan detail dan melalui proses yang luar biasa kompleks. Tidak hanya itu, komunikasi dengan museum serta pemerintah Belanda – belum lagi dengan berbagai macam pihak tidak hanya di Belanda dan Indonesia, tetapi juga negara-negara lain – membuat Milo bergitu sibuk.

Tak terasa sudah lebih dari tiga bulan Milo melakukan pekerjaan ini. Sudah beberapa benda peninggalan bangsa yang berhasil kembali dibawa pulang, meski itu belum seberapa mengingat benda-benda yang masih harus diurus seluruhnya.

Milo sungguh tersita waktunya. Ia tenggelam dalam pekerjaannya. Ini membuat Joyce lega Milo masih merupakan Milo yang dahulu, passionate di dalam apa yang ia kerjakan. Joyce sendiri tak berharap apa-apa dengan Milo. Hanya saja, karena telah berbagi masa lalu dengan Milo melalui Kath yang merupakan sahabat baiknya dan kekasih Milo, tidak mungkin untuk tidak memiliki banyak pertanyaan dan perhatian untuk Milo.

"So, sorry to ask, Mil. Kamu nggak berniat pacaran lagi? Jangan tersinggung ya, Mil," ujar Joyce ketik ia dan Milo berdua sedang memeriksa berbagai macam dokumen serta memastikan kecocokannya dengan barang-barang peninggalan sejarah yang ada di depan mereka.

Milo menatap Joyce di sebelahnya, kemudian tertawa. "Kok mendadak tanya kayak gitu, Joyce? Kamu sendiri?"

"Kok aku, sih? 'Kan aku yang tanya. Kalau aku memang belum beruntung aja. Sebelum kita ke Amsterdam, bahkan sebelum aku pulang ke Indonesia, aku udah putus."

"Masih beruntung, dong itu namanya. Aku setelah wafatnya Kath masih sendiri aja," balas Milo.

Joyce bahagia mereka bisa berbicara mengenai mendiang Kath dengan cara yang santai seperti ini. Itu berarti Milo tidak dirundung kesedihan berlarut-larut, dan dia juga tidak traumatis.

Namun, untuk dapat lebih meyakinkan, ia tetap menanyakan kepada Milo. "Apa karena masih belum bisa move on dari Kath?"

Milo tertawa lagi. "Ah, nggak, Joyce. Aku menghargai masa lalu, kok. Tapi Kath sudah damai di sana. Sepertinya aneh aja kalau kita yang masih hidup harus terus mengganggu mereka yang sudah mendapatkan tempat yang lebih baik. Serius, aku sudah lama berdamai dengan ini. Cuma, seperti yang kamu bilang tadi, aku belum beruntung."

"Hmm ... masak nggak ada yang lewat di pikiran dan kehidupan kamu, Mil? Nggak ada cewek yang menarik perhatian kamu, gitu? Model seorang Milo gini, jujur, pasti banyak yang suka (termasuk aku, ujar Joyce di dalam hati), jadi nggak mungkin nggak ada yang deketin kamu."

Milo berhenti tertawa, tetapi kini tersenyum kecut. "Ah, apaan, sih, Joyce. Aku nggak semempesona yang kamu pikirkan. Tapi, ya memang sempat ada yang aku sukai sih, jujur." Milo menghela nafas panjang. Wajah cantik Rachel yang tertawa lepas sehingga matanya yang sipit tertutup oleh sepasang pipinya yang memerah, kembali muncul di benaknya.

"Wanna tell me the story? Cerita deh sama aku, Mil. Gini-gini aku juga sahabat lama kamu, lho."

Milo tersenyum lebar, kemudian mengedikkan kedua bahunya. "Entahlah, Joyce. Mungkin aku akan cerita ke kamu. Soalnya selama ini, sepertinya aku memang tidak punya teman untuk cerita-cerita."

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang