Aku berada di sebuah ruang kosong. Sepi, hanya sendiri dan itu membuatku amat ketakutan. Suaraku entah kemana, mulutku hanya bisa terbuka tanpa mengeluarkan apa-apa. Air mataku pun tak menetes, padahal hatiku teriris jelas, tangisku seharusnya tumpah ruah membekas.
"Aysha." Mataku melebar. Seseorang muncul dari kejauhan. Lama-lama sosok itu semakin mendekat sambil berlari kearah ku.
Alisnya bertaut, rahangnya menegang sempurna sambil memegang bahuku erat.
"Aysha-ku, tolong bangun, Sayang." Tanganku dipegang olehnya dengan halus. Ia mengecupnya perlahan dan amat tulus.
Saat itulah aku membuka mata sekuat tenaga hingga peluh menetes di wajahku dengan derasnya.
"Aysha! Alhamdulillah kamu sadar, Sayang!"
"Mas Rey."
"Sayang. Laa ba'sa." Reyhan mengecup keningku amat lama. Aku hanya dapat memejamkan mata sambil gemetar saat ia melakukannya.
"Aku kenapa, Mas?" tanyaku setelah ia kembali duduk di hadapanku. Aku melihat jelas selang infus di tanganku yang ia genggam terus sedari tadi.
"Tadi kamu pingsan, Sayang. Aku kaget saat kamu menelepon dan langsung berlari pulang lalu membawamu ke rumah sakit ini," jelasnya.
"Oh." Aku sangat lemas sampai tak punya kemampuan untuk menanggapi penjelasan Reyhan lebih dari itu. "Kata dokter aku kenapa, ya, Mas?"
Reyhan menatapku sendu. Tapi kemudian senyum kecil terbit seolah ingin aku tetap tenang.
"Kamu harus di rawat di sini lebih lama, Sayang. Dokter akan memeriksa lebih tentang kondisimu." Reyhan lalu memegang permukaan perutku dengan lembut.
"Apa masih sakit di sini?" tanyanya seraya mengelus perutku amat perlahan.
Aku sedikit meringis. "Iya, lumayan."
"Aku minta maaf, Aysha." Sambil menunduk lalu kuperhatikan ia meneteskan air mata.
"Mas, kenapa malah nangis. Aku gapapa kok," gelengku lalu meraih pipinya.
Ia menatapku dengan sisa air mata yang menetes di pipinya. Kemudian ku seka hingga mata merahnya kembali menumpahkan kesedihan.
"Jangan nangis. Aku jadi sedih," kataku.
"Kamu pasti lelah selama ini di pesantren. Kamu kecapean sampai sakit. Aku salah, Aysha. Haruskah, haruskah kita pindah dari pesantren saja?"
Aku masih tak mengerti sebenarnya apa yang sedang aku derita. Reyhan kelihatan amat cemas dan sepertinya juga takut tentang kondisiku sekarang. Padahal aku tak ingin Reyhan mencemaskan ku berlebihan.
"Aku gapapa kok. Kamu nggak salah, Mas. Jangan nangis ya, jangan cemas aku sehat." Aku menegaskan padanya sebisaku agar ia tidak khawatir berlebihan lagi.
"Kata dokter itu tumbuh sebab kamu kelelahan." Reyhan meremas jari jemariku lemah.
"Tumbuh?" Aku melayangkan tanya.
"Iya. Ada sesuatu di rahimmu, Sayang. Kata dokter itu harus disingkirkan," jelas Reyhan.
"Sesuatu apa Mas?" Suaraku bergetar.
Ya Allah ada apa dengan rahimku? Kenapa Reyhan menangis seperti aku akan mati sebentar lagi. Tidak mungkin! Apa aku terkena penyakit mematikan dan umurku sudah tidak lama lagi? Aku pun jadi ikut menangis saking takutnya.
"Tapi kata dokter itu hanya tumor jinak yang akan menghilang setelah dilakukan operasi. Kamu akan baik-baik saja bahkan lebih baik setelahnya." Reyhan mengelus pipiku yang basah karena air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)
RomansaFOLLOW DULU SEBELUM BACA Rate 18+ Rumaysha terpaksa harus menerima perjodohan dengan seorang pemuda bernama Reyhan. Gus dari pondok pesantren Al-Faaz. Rumaysha awalnya menolak, tapi ayahnya mengancam akan memasukkan dirinya ke pesantren jika menola...