Pada pukul setengah lima sore yang mendung, Theo baru saja pulang bekerja di sebuah perusahaan kecil tempat penyulingan pembuatan bibit parfum yang terletak di pinggiran kota.
Langkahnya terburu menuju sebuah satu-satunya minimarket yang letaknya hampir sangat jauh dari jalan raya, tapi sangat dekat dengan jalan setapak menuju tempat nya bekerja.
Di sana, dekat dengan bundaran yang memiliki taman kecil yang menghijau, lima gazebo kayu untuk berteduh dan selalu ramai pada malam hari meski letaknya cukup jauh dari kota utama.
Pabrik kecil yang memiliki seratus pekerja, dan letaknya dekat dengan hutan. Bangunan disana bisa dihitung dengan jari. Rumah penduduk memiliki jarak yang cukup jauh untuk di sebut sebagai tetangga.
Ia memegang divisi penting di perusahaan itu. Indra penciumannya bekerja sangat baik, beberapa sample parfum berhasil dirilis di pasaran berkat dirinya, meski ia harus menempuh waktu dua jam perjalanan untuk pulang ke rumahnya.
Dua kaleng minuman dingin bersoda ia timang di lengan kiri seperti bayi prematur yang baru lahir. Tangan kanannya sibuk mengobrak-abrik tas slempang di bahunya untuk mencari ponsel yang sedari tadi bergetar.
Prakiraan cuaca akhir-akhir ini tak tepat prediksi. Rintik air hujan menyerbu kecil-kecil pada lengan jaket sport yang ia kenakan. Membuat langkahnya harus di percepat menuju halte bus antar kota karena hari ini ia tak membawa motor besarnya.
"Aduh! Sialan!"
Ia menginjak tali sepatunya sendiri, terjungkal ke depan dengan kedua lutut menyentuh tanah basah yang membuat celana kremnya memiliki pola baru yang kotor. Satu kaleng minuman menggelinding jauh ke jalan, satunya lagi jatuh berdiri di depan ia berlutut.
Lelah dan kesal membuat hari ini seperti tak berpihak padanya, ia raih minuman itu tanpa memperbaiki posisinya dahulu. Merasa tak ada orang, ia merangkak seperti bayi kehausan dan bersyukur karena masih ada satu kaleng yang memilih berkubu dengannya.
"Terimakasih... Terimakasih... "
Berterimakasih dengan minuman kemasan, juga hujan yang tak terburu deras menghantam badannya.
"Hei... "
Sepasang sepatu putih penuh lumpur menyapa kedua matanya. Theo menengadah, sejak kapan...
"Kau penyembah kaleng soda ya? "
Tas belanja terlihat lebih besar dari pada yang menjinjing. Wanita berambut hitam kelam memakai jaket bertudung hampir tak memperlihatkan wajahnya, berdiri tepat di hadapan Theo yang menengadah dari posisi bersujud.
Theo segera memperbaiki posisinya, menepuk debu basah di lutut, berdiri segera tanpa mengabaikan kaleng soda.
"Ti...tidak! Sama sekali tidak. Aku bertuhan di kartu tanda penduduk ku"
Wanita itu hanya setinggi dadanya. Ia terlihat tertarik dengan tanah basah dari pada memperjelas jarak pandang lawan bicara. Theo sedikit penasaran dan sedikit mengintip, saat itu juga ia bisa melihat kantung mata lelah menghias mata didepannya.
Bibirnya penuh dan ranum, memiliki bekas lubang tindik di bibir bawah sebelah kanan. Berwajah kecil, rambutnya yang hitam itu sedikit kusut karena air hujan. Pandangan lelah tergambar dari kedua matanya, tapi Theo merasa tertusuk tombak dalam setengah detik setelahnya.
Tak ada kalimat berlanjut yang terucap dari gadis itu. Merasa jalannya terhalang, ia mencoba menerobos tubuh besar Theo.
"Hei, mau ku traktir es krim? " Theo berhasil membuat langkah gadis kecil itu berhenti, lalu berbalik, menghadap tubuh jangkung Theo dengan menengadah. Mereka berdua sama-sama tertimpa gerimis yang membuat dingin. Lalu Es krim, bukan menu yang tepat di cuaca mendung seperti ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/366499311-288-k521958.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LOREN
Mystery / ThrillerTheo jatuh cinta dengan seorang wanita yang menegurnya saat ia terjatuh di depan minimarket dekat bundaran kota. Wanita itu tampak seperti gadis berusia delapan belas tahun meski tujuh tahun lebih tua darinya. Wanita yang aneh, dingin dan misterius...