Indira

32 1 0
                                    

Ruang kelas 11 IPS 4 itu bising. Guru hari ini rapat jadi kami bebas melakukan apa saja. Aku hanya tertidur di bangku mejaku, males nimbrung dengan yang lain. Laki-laki sebagian bermain uno, sebagian keluar ke kantin, sebagian lagi mabar ML.

Mataku masih tertutup rapat sampai sesuatu menusuk telingaku. "Jun bangun, tidur mulu." Itu Indira dia mengganggu tidurku. Tapi tak apa Aku tidak merasa terganggu. Aku merasa senang.

"Ih kamu mah udah dibangunin malah ngelamun." Indira tertawa pelan menutup mulutnya. Aku tersadar sepenuhnya tersenyun canggung sambil menggaruk tengkuk. Indira hanya membalas senyum tipis.

"Oh iya besok kan ada praktek debat bahasa indonesia." Indira merapikan rambutnya. "Kamu mau ya ajarin aku debat. Kamu kan jago kalau soal debat" Matanya menatapku penuh harap.Aku memperbaiki kacamata dan mengangguk sebagai jawaban.

Aku memang hebat soal debat. Bahkan sekolah mengusungku menjadi ketua ekskul debat dan perwakilan sekolah di  Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI).

Indira terlihat senang atas jawabanku.

Kami janjian belajar bersama di rumah Indira. Kebetulan rumahnya sejalan dengan rumahku. Aku menawari tumpangan dengan sepeda dan diterima dengan senang hati oleh Indira.

Rumahnya tidak terlalu besar tidak pula terlalu kecil, cukup.

Indira mempersilahkan aku masuk. Dan kami mulai belajar di ruang tengah.

Aku mengajari Indira dasar-dasar dalam perdebatan. Seperti apa itu mosi? Apa itu tim pro? Apa itu tim kontra? Apa itu interups?

45 menit berselang sudah satu mosi kami perdebatkan. "Ih kamu mah jahat. Kasar." Indira sebal karena aku menang telak berdebat dengan dia.

Aku tersenyun tipis. "Biarin salah sendiri argumen kamu nggak kuat." Indira melipat tangannya, kesal.

Baru kali ini kalimat "Wanita selalu benar" tak berlaku.

"Kamu kalau mau buat argumen sorot dulu kata kunci dari mosinya baru kalau bisa kaitin sama banyak bidang kayak ekonomi,sosial budaya." Aku memberi saran. Indira hanya manggut-manggut.

***

Keesokan harinya di kantin aku duduk sendirian menyeruput kuah mie varian spicy soup korean.

Tiba-tiba Indira duduk di sampingku aku sedikit terkejut. Dia hanya tersenyum manis.

"Makasih ya kamu udah ngajarin aku semalam. Nilai praktek debat aku A." Indira menyuruput milo pesanannya

"Siapa dulu dong yang ngajarin. Jun gitu loh." Aku menaik-turunkan alis merasa hebat.

Indira hanya memutar bola mata gentir sambil tersenyum paksa. Tak lama kemudian Lia datang. "Wedehh ada yang berduan doank nih." Indira mengaduh sakit ditabrak Lia si paling Social butterfly. "Gw nimbrung yah."

Lia teman sekelas kami yang paling banyak bicara dan suka mengobrol dengan banyak orang. Baterai sosial dia seakan tak habis-habis. Lia mengoceh banyak hal mulai dari tugas kian menumpuk, guru yang tidak ia sukai, dan banyak hal.

"Dir." Indira menoleh "Kamu sabtu kosong?" Indira mengangguk sebagai jawaban.

"Aku mau ngajak kamu jalan mau?"

"Ohh gw cuman jadi nyamuk doank nih yak hadeh." Lia memutar bola malas. Aku dan Indira tertawa.

"Boleh kok Jun." Indira mengiyakan ajakan ku aku berseru senang di dalam hati. Akhirnya aku bisa jalan berdua dengan Indira.

Tak lama kemudian bel pun berbunyi penanda kami harus kembali ke kelas.

Kami bertiga jalan beriringan. Tiba-tiba seorang anak laki-laki menghalangi kami. "Hi Indira." Sapanya. Terlihat raut wajah Indira tidak menyukai laki-laki tersebut. "Kamu kosong nggak sabtu? Rencananya aku mau ngajak jalan bareng." Laki-laki tersebut menaik turunkan alis seolah menggoda. Padahal keliatan freak.

"Apasih, Indira tu sabtu udah ada janji sama Jun mau jalan lu gak usah sok asik." Lia berseru.

Laki-laki tersebut menoleh ke arah ku. Menatap tajam. Aku hanya membalas tatapan datar. "Boleh juga lu kutu buku. Awas aja lu." Laki-laki tersebut berseru meninggalkan kami.

Aku tak takut diancam seperti itu. Dia Rasya ketua osis SMA kami. Lagaknya memang seperti itu merasa paling ganteng sedunia padahal tidak. Dimataku dia hanya seorang munafik, berseru-seru soal menegakkan kedisiplinan padahal sendirinya melanggar. Guru-guru tak tahu hanya karena dia bermain "rapi" murid-murid pun tak ada yang berani melaporkan. Ketakutan duluan jika ada yang berani melaporkan dia.

"Kamu jangan kayak dia ya Jun." Indira menatapku. Jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya ini perasaan yang aneh. Dia selalu tau cara menenangkan hatiku.

"Ekhem masih ada gw lohh." Lia menggoda kami, tangannya terlipat.
Tawa kami pun pecah.

***

Hari sabtu.

Aku menaiki sepeda merah kesayanganku menjemput Indira jarak rumah kami tak begitu jauh hanya berbeda gang.

Aku sampai di depan rumahnya, memanggil. Tak lama kemudian wanita paruh baya keluar. "Eh Jun mau jemput Indira ya, bentar ya dia lagi siap-siap. Biasa anak gadis lama banget." Wanita itu tersenyum tipis. Itu mama Indira, ia cantik seperti anaknya.

Tak lama kemudian Indira keluar. Ia mengenakan crop top hitam dibalut cardingan dengan warna senada memakai celana jeans gelap.

 Ia mengenakan crop top hitam dibalut cardingan dengan warna senada memakai celana jeans gelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia tak masalah jika kami cuman naik sepeda. Itu yang paling aku sukai dari Indira cantik namun sederhana.

Kami mengahabiskan malam ini dengan penuh tawa. Angin menerpa wajah. Kilauan cahaya dari gedung dan jalan menghiasi kota.

Kami sangat bebas mengayunkan sepeda di jalan khusus pengendara sepeda. Itu juga yang aku sukai dari sepeda kami tidak perlu terkena macet jalan.

"Duh capek nih dir." Aku berseru. menyeka sedikit keringat di pelipis.
"Kita ke taman itu dulu yuk." Indira mengiyakan. Kini kami sudah duduk di salah satu bangku taman dekat air mancur. Remang-remang lampu taman terlihat romantis. Tidak terlalu sepi masih ada dua-tiga pasangan yang menikmati malam ini.

Kami meminum es cekek yang tadi aku beli.

"Ciptaan Tuhan indah ya jun." Indira menatap langit melihat bintang-bintang. Aku menoleh. "Iya." Ku jawab singkat

"Kok kamu nengok aku terus ih." Indira tersenyum tipis,memukul lengan ku pelan. Aku tertawa. Suasana lengang. Tak ada yang memulai pembicaraan.

"Makasih ya dir." Indira menoleh. Kebingungan.

"Buat?"

"Udah lahir." Indira tersenyum ia sejujurnya bingung maksud perkataanku.

Aku memperbaiki posisi kacamata. "Semenjak aku kenal kamu, aku jauh lebih bahagia." Aku tersenyum. Indira tersipu malu.

"Aku harap kita bisa kayak gini selamanya ya dir."

Dari kejauhan sepasang mata menatap tak suka. "Awas aja lu jun bajingan."

***


Pengagum IndiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang