Satu : Hal yang Tak Kuharapkan

373 42 12
                                    

Jibun ga doko ni iru no ka wakaranai..
Nani mo mienai sekai de tohou ni kureteiru..
Docchi ni mukatte susumeba ii no?
Mou doko e mo arukitakunai..

Muzui, yo.

---

Musim Dingin, Kyoto.
21 Januari 1980.

Denting demi denting, terdengar jelas suara jarum jam yang berjalan dengan perlahan memecah kesunyian ruangan ini. Suara api perapian yang terletak di pojok ruangan pun juga tak luput menghiasi hening lagi menyapa hangat kesenyapan seisi rumah. Musim dingin sudah datang sejak awal Desember kemarin, namun akhir bulan ini adalah puncak benda putih lembut itu jatuh dan mewarnai hamparan tanah di bumi.

Seorang pria muda dengan netra Biru Sapphire menatap kosong kearah perapian yang terletak dipojok ruangan itu. Lalu dengan santainya, ia menyeruput pelan teh yang ada digenggamannya sembari sesekali melirik kearah luar jendela. Suasananya memang hening. Tidak ada suara apapun selain seruputan air, suara dentingan jam, dan bisikan kecil dari api perapian yang menenangkan. Benar-benar ketenangan yang absolut dan tak ada yang bisa menandinginya.

"Taufan? Doko ni imasuka?" [Taufan, kamu ada dimana?]

"Koko desu," [Disini]

Ya. Pria itu bernama Taufan. Murase Taufan. Pria berusia 16 tahun yang hidup sebatang kara di Kyoto, dan membiarkan takdir hidupnya untuk tinggal di rumah besar bergaya Victoria ini sepeninggal orang tuanya. Rumah besar dan bergaya Eropa itu memang jarang sekali ditemukan didaerah yang menganut sistem pemerintahan bersifat Kekaisaran. Hanya rimbun pohon Sakura di pelataran dan halaman yang memberi tahu orang-orang bahwa mereka masih orang Jepang dan sedang ada di Jepang.

Taufan memang terlihat seperti tak banyak berbicara. Hari-hari dirumah hanya ia habiskan untuk membaca manga dan juga tidur. Belajar? Itupun hanya dilakukan di rumah. Kalian benar. Hanya dilakukan di rumah besar ini. Sejenis Homeschooling. Homeschooling yang diajar oleh seorang guru kelas kepala yang selalu meminta feedback pada hubungan antar manusia.

Hei. Bukannya Taufan ingin mengada-ngada, tetapi menjadi manusia memang benar cukup merepotkan. Siapa coba yang ingin direpotkan dengan interaksi antar-manusia yang memuakkan? Ayolah. Semua orang hanya terfokus pada diri sendiri. Orang dewasa dengan wajah sok tahu memangnya bisa melakukan apa?

Taufan yang merasa ketenangannya akan segera terusik, menghela nafas. Manik mata birunya melirik ke segala penjuru, mencari wujud dari oknum yang memanggil namanya barusan. Sebenarnya, pria itu sudah mengetahui siapa empunya suara, namun ia hanya ingin memastikannya.

"Disini kau rupanya," celetuk suara itu lagi. Sebuah suara yang bersumber dari seorang wanita muda berusia tiga puluh tahunan sambil tersenyum hambar, Taufan kembali menghela nafas. Ia menemukan wanita sudah berada dihadapannya, tersenyum sambil memamerkan rentetan gigi yang tak lagi putih karena terlalu sering minum teh dan kopi. Taufan bergidik ngeri, wanita yang biasa ia panggil 'Oba-chan' itu sudah ada dihadapannya sekarang.

'Wanita gila itu, apakah tidak bisa dia tak menggangguku sebentar?' rutuk Taufan berbisik pada dirinya. Ditutupnya manga yang ia pegang, lalu kemudian ia menatap sinis kearah wanita yang ia sebut sebagai 'Oba-chan'. Bertahun-tahun, wanita itu mengajarinya ilmu Matematika, Bahasa, Ilmu Alam, dan segala hal tentang apa yang berlaku di dunia. Benar adanya jika realita kehidupan tanpa orang tua memang sangat menyakitkan. Apalagi ditambah dengan kehadiran Wanita Jelek yang harus dipanggil dengan kata 'Oba-chan' atau Bibi ini.

"Eh, Oba-chan? Ada apa?" tanya Taufan pada wanita itu dengan nada riang dan antusias. Namun, semua itu hanyalah pura-pura. Netra biru Sapphire miliknya tidak bisa menutupi kepura-puraan itu. Kali ini, Taufan sudah hampir muak dengan kehadiran wanita itu. Dunia penuh dengan kepalsuan.

Kuchisake-Onna: 口裂け女 [ Boboiboy ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang