Kukira, saat papa mengatakan kami akan pindah rumah, hidupku akan sepenuhnya sepi. Sebab itu artinya aku akan berpisah dengan teman-teman 'seperkompeksan'. Bersedih dan menangis sejadi-jadinya, aku mengiba pada papa agar tidak usah pindah. Tapi permohonanku ia tolak dengan halus, "Gak bisa sayang, Papa dimutasi. Jadi kita akan tinggal di tempat baru. Udah jangan nangis, ya, nanti juga kamu akan bertemu teman baru di sana." Ucapnya yang diakhiri mengelus pucuk kepalaku.
Mutasi. Aku yang saat itu masih berusia 6 tahun, tentu tak mengerti arti kata mutasi. Yang kutahu adalah: aku, papa, mama, dan kakak tetap mengosongkan rumah keesokan harinya.
Sesaat sebelum keberangkatan, aku punya kesempatan untuk sekadar mengucapkan salam perpisahan pada teman-teman kecilku yang terdiri dari bocah perempuan semua. Kami berlima menangis, saling memeluk, dan mengucapkan janji konyol yang biasa anak kecil ucapkan. "Nanti kalau udah besar, jangan lupain kita, ya?"
Aku mengangguk polos sembari sesenggukan, kemudian suara kakak mengudara. "Dek, ayo," ajaknya yang sudah membuka pintu belakang mobil, sementara papa dan mama sudah menempati kursi depan.
Mobil yang papa kemudikan melaju dengan kecepatan normal. Suasana dalam mobil cukup tenang, tak ada satu orang pun yang mengeluarkan suara, selain alunan lagu lawas milik Ruth Sahanaya favorit mama yang diputar cukup kencang. Aku hanya menatap ke luar jendela, mengamati setiap objek yang terlewati dan memikirkan akan seperti apa hariku di sana kelak? Di saat kesedihan menyelimutiku, kakak malah tidur pulas di sisi kanan. Bocah laki-laki yang berumur lima tahun di atasku itu sepertinya tidak sesedih yang kurasakan. Bahkan, dia sama sekali tak menolak.
Kira-kira 3 jam lamanya, kami pun sampai di sebuah perumahan yang terletak di Kota Kembang. Rumah dengan cat putih dan pagar hitam yang menjulang tinggi itu akan menjadi tempat tinggal baru kami. Besarnya memang tak jauh beda dari rumah sebelumnya, tetapi halamannya tidak begitu luas——— kiranya hanya cukup untuk menyimpan tanaman hias.
"Kak, tolong bawa box-nya." Pinta Mama saat turun dari mobil.
"Iya, Ma."
Aku hendak membantu, tetapi Mama melarang dengan alasan, "Berat, kamu gak akan bisa bawanya." Jadilah aku hanya menggendong ransel pink bergambar unicorn berisi buku-buku cerita milikku.
Setelah semua barang dan beberapa perabotan dapur diturunkan dari mobil pick-up, papa mengajak kami masuk. Ternyata, ruangannya sudah diisi sofa, meja, televisi, dan hiasan dinding. "Kamar kalian ada di atas. Masing-masing sudah Papa beri nama di pintu."
Kami mengangguk. "Ayo Dek, kita lihat." Ajak Kakak semangat.
Benar kata papa. Aku berdiri di depan pintu kamar dengan bertuliskan Kanaya, sedang kakak berdiri di depan pintu kamar bertuliskan Aditya. Lalu ia masuk, begitu pun aku. Aku ingat sekali, catnya berwarna pink dan putih, lalu dindingnya ditempeli wallpaper buah strawberry, ranjang dengan sprei bernuansa sama, dan beberapa boneka—— persis kamarku di rumah sebelumnya. Sepertinya, papa sudah menyiapkan rumah ini sejak lama.
Seperti yang sudah kubayangkan, hari-hariku terasa sepi. Tak banyak anak kecil seusiaku yang bisa diajak main di sini. Kebanyakan anak seusia kakak, di atas usia kakak, dan ada pula yang masih bayi. Setiap hari aku bermain boneka barbie di kamar, masak-masakan di teras depan rumah, atau membantu mama untuk beres-beres. Sore harinya baru aku ditemani kakak untuk sekadar bersepeda di sekitar rumah. Oh, jika bertanya apa kegiatan kakak, dia biasanya menghabiskan waktu selama berjam-jam dengan membaca buku, belajar bermain gitar, atau ikut papa untuk bertemu dengan kerabat kerjanya. Kuakui memang kakak lebih rajin dibanding aku. Dia selalu mendapat peringkat pertama di sekolah, selain itu pula dia selalu punya prestasi tambahan lainnya yang tentu membuat papa dan mama bangga. Dan karena itulah, aku jadi merasa terancam. Takut nanti akan dibanding-bandingkan dengannya.
******
Di suatu sore, aku pergi bersepeda sendirian sebab kakak sedang pergi bersama papa. Sebenarnya aku diajak, namun aku tidak berminat sama sekali untuk ikut. Jelas saja aku menolak, mereka hanya akan menemui teman lama papa, bukan mengunjungi mall atau taman rekreasi.
"PENCURI!" teriakku ketika melihat seorang anak laki-laki di atas pohon jambu dan sedang berusaha memetik buahnya.
"Eh?" anak itu menoleh, jika dilihat dari matanya yang terbelalak, kuyakin ia terkejut.
"Pencuri!"
"Jangan teriak!" Ucapnya sesaat sebelum buru-buru turun. Aku melangkah mundur, takut-takut dia akan menerkamku sebab aku memergoki aksinya. "Aku bukan pencuri."
"Itu pohon jambu punya kamu?" tanyaku.
Dia menggeleng, "Bukan,"
"Berarti kamu pencuri."
"Aku gak nyuri, aku minta. Tapi belum bilang aja." Sangkalnya polos. "Nih, aku kasih satu untuk kamu. Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya?"
Aku menatap buah jambu itu, kemudian kembali menatapnya. "Ambil."
Dengan sedikit ragu, aku menerima pemberiannya. "Ingat, jangan bilang siapa-siapa. Oke?" dan atas berkat kepolosan anak kecil, aku balas menganggukkan kepala tanda setuju.
Sejak kami berdua memakan jambu itu tepat di bawah pohonnya, aku tak pernah kesepian lagi. Kami berkenalan, saling menyebutkan nama dan alamat rumah. Yang paling membuatku leluasa untuk bermain dengannya ialah karena kami seumuran——— berbeda bulan tetapi lahir di tahun yang sama. Aku banyak tertawa atas candaannya, sesekali aku pun ikut menjahilinya hingga ia kesal namun belum ke tahap marah.
"Faisal," panggilku saat itu—— saat ia hendak pulang setelah kami selesai memakan jambu.
"Iya?"
"Ayo kita berteman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Telah Mencintaimu
RomanceAku tak pernah berpikir buruk mengenai cinta yang tak terbalas. Karena bagaimanapun kita sama-sama jatuh cinta, hanya saja jalanku dalam mencintainya terlalu terjal, landai, dan menukik tak terkira-kira. ~Faisal