47 Don't want to lose

1.1K 35 0
                                    


Tidak ada yang lebih menggetarkan hatinya belakangan ini selain fakta bahwa dirinya tengah hamil. Namun, berita kali ini, berita di siang menjelang sore yang dihiasi hujan badai tiada henti, sukses membuat Zara merasa telah kehilangan segalanya.

Pikirannya kosong. Dadanya sakit. Ia hampa kini. Zara ingin menangis, meraung sejadinya, tapi air mata takkunjung turun meski ia harus menyaksikan sesosok mayat terbaring lemah di depannya.

Seluruh tubuhnya lemas, otaknya seolah tidak lagi bekerja. Zara tumbang. Terduduk lesu memperhatikan kulit ayahnya yang memucat. Kepala pria tua itu sudah bersih. Tidak ada satu helai rambut pun tertinggal. Wajahnya yang keriput membiru.

Zara merangkak, menggenggam tangan ayahnya. Dingin takterbilang. Zara rasanya akan menggigil. Bagaimana bisa rumah sakit memberikan selimut yang begitu tipis untuk seorang pasien berumur kepala enam? Ini keterlaluan.

"Ayah, Zara di sini." Suaranya hampir tidak terdengar. Zara mencicit tepat di sebelah telinga Riyan, "bangun, Ayah."

Jangan begini aku mohon, batinnya. Melihat ayahnya hanya diam sembari menutup mata. Akhirnya air mata yang Zara ingin keluarkan mulai jatuh dengan sendirinya. Menderas dan takterhentikan.

Sekali lagi, Zara meminta, "Ayah, bangun. Tolong sekali saja dengarkan aku. Bangun, Ayah."

Tangis tidak bersuara itu mulai menimbulkan isak. Hingga pada detik selanjutnya, Zara tanpa sadar meraung. Memeluk ayahnya dengan erat.

Biarkan dinginnya ia rengkuh. Biarkan ia ubah dengan hangat yang menggetarkan. Biarkan sakitnya ia sembuhkan dengan cinta. Biarkan ia lebur dan hilang bersamanya.

Sebuah suara tahu-tahu datang. Memecah tangisan Zara yang makin mengeras. Zara tidak bisa mendengarkan dengan jelas, yang pasti, tubuhnya diseret menjauh oleh orang-orang yang Zara kenal, tapi bukan orang yang ingin ia temui sekarang. Zara mendongak, menyaksikan Erwin berdiri di sebelahnya dengan tatapan tidak suka.

Tatapan itu, apa maksudnya?

Lalu, apa maksud Erwin menyuruh Ian untuk menjauhkannya dari brankar?

Tidakkah dia tahu kalau Zara sedang melepas rindunya? Tidakkah Erwin tahu kalau Zara sedang takut-takutnya? Tidakkah suaminya itu mengerti kalau Zara sedang ingin merengkuh sosok ayahnya seerat yang dia bisa?

"Bawa dia pergi."

Perkataan itu berhasil membuat Zara tersentak. Dia berteriak memanggil ayahnya berbarengan dengan tubuhnya yang diseret keluar oleh Ian dan Zeff.

Sementara di luar sana Zara sudah disambut dengan keberadaan Darren dan Sanji yang telah bersiap dengan sebuah suntikan aneh, Erwin dengan wajah datar menatapnya tanpa mengatakan apa pun. Tampak takterpengaruh oleh teriakan, raungan, serta permohonan Zara.

Hal terakhir yang Zara lihat sebelum dirinya jatuh pingsan adalah sekilas wajah Erwin yang berubah muram.

***

Ketika terbangun di sebuah ruangan, Zara langsung bangkit dari ranjang. Dia tidak menghiraukan keberadaan Erwin yang tengah terduduk di sofa. Langsung menuju pintu dan mencoba membukanya. Namun, pintu itu terkunci.

Zara memukul pintu itu berkali-kali sampai tangannya terasa sakit dan panas, tapi tidak dia hiraukan. Ada yang lebih penting baginya sekarang. Jauh lebih penting ketimbang dirinya sendiri.

"Hentikan, Zara." Erwin memegang kedua tangan istrinya itu. Meski sudah mencengkeramnya dengan kuat, Zara tetap tidak mau tenang. Perempuan itu memberontak, bahkan tidak ragu untuk memukul Erwin sekuat tenaga. Dengan sedikit membentak, Erwin kembali menyadarkannya, "hentikan!"

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang