Bibi Chai memeluk Leon sangat erat bahkan mengusap punggung anak kecil itu berkali-kali. sedangkan Phuwin hanya memalingkan wajah berusaha melihat kearah lain, sembari menunggu salam perpisahan yang mendadak menyedihkan "nanti disana Leon jaga Mommy-nya, jangan lupakan Bibi Chai, jangan lupa sarapan juga yah?"
Leon cego namun sedetik kemudian mengangguk semangat "Bibi Chai jangan menangis, kami hanya sebentar disana, lagipula Daddy akan marah jika kami terlalu lama"
Phuwin mengangguk kemudian tersenyum kecil mengusap rambut putranya sayang, jika dilihat lagi mata kecil polos itu, rindunya semakin dalam. Entah mengapa ia mengambil jalan sejauh ini, tak pernah ada yang baik-baik saja sejak Pond mengingkari janji "Leon akan jadi anak baik kan?"
"Humm..." Si kecil mengangguk "tentu saja, Leon akan jadi anak baik untuk Mommy dan Daddy"
Phuwin menghela nafas, menyamai tangan putranya dengan erat "Bibi, tolong jaga rumah ini. saat Pond datang dan menanyakan kami, jangan bilang apapun. jika dia ingin tinggal di rumah ini tolong layani dia seperti melayaniku, perusahaan yang kakek wariskan akan tetap dia pegang, aku mempercayainya..." sosok manis itu menunduk, menggenggam tangan Leon semakin erat "aku telah mempercayainya, sebagai sahabat... dan tolong berikan surat ini"
Bibi Chai hanya bisa mengangguk dengan air mata tertahan "tuan muda, biarkan aku ikut"
"Tidak, Bibi disini saja, biarkan aku dan putra kecilku menikmati kehidupan kami" Senyumnya miris, kenyataan yang menyakitkan. Sampai pada saat dimana ia harus melangkah dari rumah ini, meninggalkan kenangan lampau saat kedua orang tuanya masih hidup.
Phuwin menggendong putra kecilnya, menarik koper lumayan besar keluar dari rumah saat sang supir sudah menunggu dengan raut wajah sedih luar biasa di halaman.
Pria paruh baya itu menaikkan koper baju dengan hati-hati, dengan mata yang tak berhenti memandang sang tuan dan sosok kecil secara bergantian, harus menahan sesak luar biasa disana, namun apalah daya ia tak punya wewenang sama sekali untuk mencegah.
"Ayo berangkat paman"
"Baik tuan..."
.
.
.
.
.Pond memarkirkan mobilnya dipekarangan rumah, dia berjalan ragu ke arah teras. jujur saja hati lelaki itu berdebar tak karuan entah karena apa, tapi ini sangat menjengkelkan.
Saat pintu utama dibuka semua nampak sepi seperti biasa, hari minggu pagi jam segini Phuwin dan Leon seharusnya ada dikamar untuk sekedar membantu anak mereka mengerjakan tugas atau hal lain,
Pikirannya kacau, rasa bersalah lebih tepat untuk mengutarakan semua kebimbangan ini. Helaan nafasnya menderu kencang, seolah dada pria tampan itu memompa lebih cepat dari biasanya.
Belum sempat juga dia menaiki tangga, suara Bibi Chai menghentikan langkah besarnya.
"Tuan Pond?"
Mencoba mengatur wajah yang kacau, Pond menoleh dan tersenyum tipis "Bibi Chai tak perlu se formal itu"
"Apakah tuan baru sampai dari bandara?" Wanita paruh baya itu bertanya meski sebenarnya dia tau bahwa Pond sudah ada di Thailand sejak kemarin.
"Ahhh, iya Bibi..." Jawabnya mencoba tenang "lalu, dimana Phuwin dan Leon?"
Ekspresi wajah itu tak sepenuhnya baik, dia tak membalas ucapan lagi melainkan hanya mengambil sesuatu dari kantong celemek. sebuah kertas berukuran lumayan kecil memberikannya kepada Pond "besok pagi saya akan kembali lagi tuan, ada pesan dari tuan muda. jika anda ingin tinggal disini, silahkan. tuan muda menyuruhku melayani anda seperti caraku melayaninya, tolong jaga rumah ini, saat anda bertanya saya dilarang mengatakan apapun tentang dia dan Leon, perusahaan akan tetap di pegang oleh anda, dia mempercayai anda sebagai sahabatnya" Bibi Chai merasakan kelu pada lidah, tangisan pilu ada diujung bibirnya. Namun terakhir dia hanya bisa menunduk hormat dan berlalu,
Ada hal yang lebih buruk namun Situasi mulai kacau, dia masih berusaha memproses dengan baik maksud perkataan itu.
Pond memegang tiang-tiang tangga, mengatur nafas tercekat yang tiba-tiba sangat berat. apa ini? Seperti tak ada angin tak ada hujan petir Menyambarnya, di buka lah surat itu dengan cepat.
"Pond maafkan aku jika ini terlalu terburu-buru, aku membawa Leon bersamaku. aku tidak bisa menunggumu karena jika dia melihatmu dia tak akan mau pergi, maafkan aku jika terlalu memaksakan perasaanku. Aku memohon jangan sungkan denganku, kau bisa memegang perusahan itu. kau adalah orang yang baik, lindungi Maggie kekasih hatimu. aku tau kau sangat mencintainya dan dia juga hebat telah menemanimu sejauh ini. jika tidak keberatan, aku akan meminta pengiriman setengah dana hasil keuntungan perusahaan setiap bulan, aku hanya ingin memberikan uang itu untuk biaya sekolah Leon dan tidak membuat kakekku curiga. bagaimanapun kami masih membutuhkan uang dari perusahaan itu, pimpin perusahaan dengan baik, jangan bermalas-malasan saat pagi, sampai ketemu di lain waktu, aku janji tak akan meminta lebih darimu"
Pond melempar surat yang terkoyak dilantai, dia sempat memegang dadanya yang sesak luar biasa. cobaan apa ini? Demi apapun dia tak sanggup, kemana perginya semua kebahagiaan yang telah ia rencanakan? Dimana dua malaikatnya akan menghabiskan hidup? Tanpa dirinya.
Pond mengerang berteriak emosi, air matanya mengucur deras tanpa jeda. sakit teramat sangat di ulu hatinya, hingga tak sadar Bibi Chai telah menghampiri.
"Tuan Pond? Anda baik-baik saja?"
Dia terhenyak menatap wanita itu dengan serius "dimana mereka?"
"Maksud anda?"
"Katakan padaku" Teriak Pond emosi "Bibi, dimana kedua malaikatku?"
"Maaf tuan Pond itu tidak termasuk dari perintah, saya tak bisa mengatakannya"
Ini gila, Pond memegang kuat pada lututnya, bersimpuh dihadapan wanita paruh baya dengan sungguh-sungguh, tak ada harga diri, dia benar-benar berada di ambang batas hidup nyata "aku tak akan hidup lagi tanpa mereka"
Bibi Chai menunduk dalam, menahan dirinya untuk tak menangis dan ikut lemah. terus menahan air bening di kelopak mata sangat menyakitkan "maafkan saya tuan"
"Kenapa seperti ini? apa Phuwin berfikir yang ku butuhkan darinya hanya harta dan perusahaan?" Amuk Pond kini sudah meninju tembok sangat keras "kenapa begini? aku tak bisa" Seolah tak Terima dia terus menyalahkan diri.
"Tuan Pond tenang saja, tak perlu merasa bersalah. perusahaan itu memang diberikan kepada Anda, sekalipun tuan Phuwin ingin memimpin perusahaan itu, dia tak akan pernah bisa"
Lelaki tampan itu terdiam, menatap marah pada Bibi Chai menuntut pernyataan "kenapa? Katakan padaku kenapa?"
"Dia hanya lelaki manis kesayangan kami yang lemah, sejak dia sakit kami bahkan tak merasa dia bisa hidup lagi" Senyum tipis terpatri disana, bibi Chai mengangguk-angguk menahan air mata "sejak Leon dan tuan Pond hadir, aku tak bisa berhenti mengatakan terima kasih. Tuan Phuwin semakin semangat menjalani pengobatan, dan dia benar-benar antusias untuk hidup"
Tapi kini, segalanya telah hancur "lalu... Bagaimana phuwin-ku sekarang?" Bak mayat hidup, dia menjatuhkan tubuh terduduk di atas lantai dengan wajah nanar.
"maafkan saya tuan, tapi tuan muda berkata tolong lanjutkan hidup anda, dia akan pergi dalam waktu dekat. Leon akan baik-baik saja, tuan besar sangat penyayang"
Pond menggeram emosi, dia berlari cepat keluar rumah. Langkahnya tak santai buru-buru memasuki mobil untuk menyetir. Sepanjang jalan secepat kilat tangannya terkepal. air mata hanya bisa mengucur deras, rasanya begitu terluka.
Suara dentuman mengiringi tangis pilu, saraf tubuhnya begitu ringan tanpa rasa. Pond mencoba membuka kelopak mata dengan aroma hangus di sekitaran, didepan sana tiang pembatas telah patah. Bercampur sudah rasa sakit dengan nyeri di dadanya, Pond meneguk saliva terasa anyir darah.
"Kecelakaan lalu lintas, tolong kirim ambulance"
Kencang suara teriakan panik di sekeliling membuat Pond semakin tak berdaya, lelaki tampan itu mengendus tertawa sejenak seolah puas dengan hukuman yang baru saja ia dapat.
"Phu... kenapa kau tidak dipersilahkan bahagia saja?" Lirih Pond memejamkan mata, pada akhir rasa rasa sakit semakin menyelimuti dirinya.
.
.
.
.
.
.
.To be continued
Jangan lupa follow komen dan vote buat bikin author makin semangat nulisnya 💙🙏🏻😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Wishes And Dreams [Pondphuwin]18+[END]
Fiksi Penggemar"Lonceng sepeda apa?" Wajah manisnya kebingungan, mengapa dia menyusun alur yang bahkan tak pernah hadir dalam ingatannya? "Apakah ada legenda tentang dua malaikat muncul di permukaan salju? Aku selalu memimpikannya" Kerinduan menguliti tubuhnya, ka...