7 – Kemping
Menatapnya dari jarak sejauh sepuluh meter saja, jantungku sudah merasa tidak aman.
—
"Dasar tukang maksa!" umpat Renjani pada Inggit yang tengah memasukan carger pada tas, trevel sebagai benda terakhir yang masuk ke sana, sebelum Inggit menutup resleting. Sahabat Renjani itu malah tertawa.
Renjani melempar bantal ke wajahnya. "Apaan, sih kemping, Git. Gue gak biasa ikut acara begituan," ujarnya sambil memainkan handphone. Apalagi jika bukan untuk menscroll sosial media.
Hanya menscroll-scroll saja tanpa menanggapi komentar dari postingan yang muncul di beranda. Renjani bukan tipe orang yang akan meninggalkan komentar apa pun di beranda orang. Ia hanya akan mengangguk jika setuju, dan bicara sendiri jika ia tidak setuju pada pendapat orang di kolom komentar. Menurutnya, itu hanya akan membuang energi saja. Jika jarinya meninggalkan ketikan, memberikan pendapat, hal itu belum tentu disetujui oleh mereka yang membaca ketikannya. Yang ada justru akan menambah kericuhan di kolom komentar beranda orang.
"Lo bakal nyesel kalau gak ikut, Renja." Inggit menurunkan trevel bag Renjani ke atas lantai. "Ini tuh kemping akbar. Udah jadi kepastian dari setiap kelas, anak-anak bakal ngikut. Lo jangan jadi satu-satunya orang yang nggak ikut. Paham?"
"Gue gak paham." Renjani mencebik. Inggit memutar bola mata jengah. "Apa sih bedanya kemping akbar sama kemping yang biasa diadain, pasti juga bakal gitu-gitu aja, kan? Tidur di tenda, cari kayu bakar terus malam ketiga api unggun."
"Ih Renjaaaa..." Inggit gemas sekali pada cewek itu. Lantas ia memutuskan untuk berdiri, menghampiri Renjani yang duduk bersandar di kepala dipan lalu mengapit kedua pipinya. "Bedanya tuh, ini kesempatan kita buat seru-seruan sama anak-anak Tunas Bangsa yang lain."
"Gue tahu sih otak lo, Git. Gak mungkin hanya seru-seruan doang. Lo pasti ada maksud lain, kan? Ayo ngaku?!" Renjani melepaskan apitan Inggit. Kembali pada layar handphone yang menyala. Lalu sebuah notifikasi masuk pada akun instagramnya.
Jika tidak salah melihat, mata sebening embun itu melihat ada akun baru yang memfollow-nya. Belum Renjani melihat, Inggit mengambil handphonenya secara paksa. "Pokoknya lo gak boleh protes lagi. Ngikut aja, udah!"
"Inggit stress, balikin handphone gue!" Renjani berdiri mengikuti langkah Inggit yang berlari.
"Kagak mau. Lo iyain dulu mau ngikut. Lihat tuh, udah gue packingin semua. Lo tinggal nurut aja. Ngikut pokoknya. Biar muka lo segeran dikit, Ja. Sumpek lama-lama gue lihat muka lo yang kayak benang kusut gini, Renjani Senja."
Renjani menengadahkan telapak tangan. "Balikin hp gue, gila!"
"Bilang mau ikut dulu, tapi," kata Inggit sambil mengetuk layar handphone Renjani, lalu menyala dan layar itu masih menunjukan akun istagramnya. "Gila..." Teriak Inggit ketika ia menekan tanda love sebelah atas ujung kanan.
"Balikin, Inggit gila! Gue ganti juga nama lo jadi Inggit stress."
"Serah lo dan, Ja, serah. Tapi sumpah ya, gue penasaran ama ini orang, ngapain pake segala ngefollow ig lo, Ja?" Mulut Inggit tidak mau berhenti mengumpat. Entah apa artinya umpatan itu, kasar atau sebagai pujian. Karena selanjutnya yang Inggit katakan berhasil membuat Renjani terdiam. Wajahnya merah. Bukan merona, melainkan ada raut kemarahan yang disembunyikan Renjani.
"Raga_Anata ngefollow lo, anjir." Ucap Inggit begitu heboh sampai mulutnya terbuka. Lalu tertawa. Menunjukan hal itu pada Renjani agar tidak dikatakan berbohong. "Lihat nih, Ja. Ini si Raga Anata berandalan itu bukan, sih? Omegat omegat, Renja... gue gak bisa nafas. Bentar-bentar." Inggit mengatur nafasnya pelan. Seperti orang yang mau melahirkan, nafasnya naik turun. Diembuskan lalu ditarik. Begitu saja sampai beberapa kali Inggit mengulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raga Renjani (Terbit Cetak)
Teen FictionDi tengah kehidupan remaja yang penuh dengan harapan dan impian, Renjani Senja seorang gadis berusia 17 tahun, dirinya harus di hadapkan pada satu kehidupan yang sulit. Ia hamil di saat dirinya masih status siswi Tunas Bangsa. Siswi yang enam bulan...